Jumat, 06 Maret 2009

STORY : Kisah Seorang (Aktivis) Mahasiswa


Aku dilahirkan pada bulan Desember 1985, pada masa kejayaan rezim Orde Baru. Di kota Solo, kuhabiskan masa kecilku hingga umur lima tahun. Menjelang aku bersekolah, keluargaku pindah ke kota Semarang. Di kota Semarang inilah kujalani masa – masa sekolahku, mulai dari Taman Kanak – Kanak hingga SMU.
Ketika duduk di kelas III SMU, di jurusan sosial, aku mulai suka membaca buku. Aku suka membaca buku - buku sosial , politik, filsafat, maupun sastra, tapi aku kurang tertarik dengan bidang ekonomi. Yah, kurasa aku memang takkan menjadi seorang ekonom. Dari buku – buku yang kubaca itulah pandanganku mulai berubah, terutama tentang politik dan ideologi. Bagiku politik adalah suatu hal yang kotor dan busuk. Kawan bisa menjadi lawan, dan lawan bisa menjadi kawan. Hal itu dilakukan hanya untuk melanggengkan kedudukan, dan kedudukan adalah alat untuk memperkaya diri sendiri.
Menjelang aku lulus SMU, aku mengalami kejadian yang juga merubah pandanganku. Sekolahku ketika itu berada persis di depan balaikota. Pada suatu hari, seusai pulang sekolah, aku melihat ada aksi demonstrasi mahasiswa di balaikota. Sambil membawa bendera organisasinya, mereka meneriakan tuntutan mereka. Jujur saja, aku kurang simpati, bahkan aku merasa terganggu. Dengan suara keras mereka berteriak – teriak, bahkan ada pula yang menghujat tokoh tertentu. Itukah gambaran mahasiswa, pikirku. Kelak ketika menjadi mahasiswa aku takkan seperti mereka, janjiku dalam hati.
Setelah lulus SMU, aku diterima di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik salah satu Universitas di Semarang.. Kadang aku sering tertawa sendiri, bagaimana mungkin aku yang tidak suka dengan politik masuk ke fakultas yang mempelajari politik. Di kampus aku mulai belajar tentang dunia jurnalistik dan tulis menulis. Inilah jalan yang akan aku pilih kelak, pikirku. Menjadi demonstran tidak harus turun ke jalan, kita bisa menyampaikan aspirasi melalui tulisan.
Aku pun mulai suka menulis. Beberapa tulisanku mulai sering dimuat di media, mulai dari surat pembaca, sampai artikel ilmiah. Bahkan tidak jarang kawan – kawanku di kampus mengajak berdiskusi setelah membaca tulisanku. Tapi aku juga mulai mempunyai musuh, tentu saja orang – orang atau kelompok yang tidak suka dengan tulisanku. Tidak jarang mereka adalah kawan – kawanku sendiri di kampus. Tapi aku tak peduli. Lebih baik aku diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, kata Gie.
*******************
Wahyu membaca tulisan milik Putra. Putra Baruna, sahabatnya, saat ini sedang berada di rumah sakit. Sudah tiga hari ia mengalami koma, akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam perjalanan pulang dari kampus ia ditabrak oleh sebuah mobil. Dan si pelaku rupanya juga tidak bertanggungjawab, ia melarikan diri setelah menabrak Putra.
Wahyu mengacungkan beberapa lembar loose leaf itu kepada Lina. Dari Linalah Wahyu mendapatkan tulisan Putra itu.
”Darimana kamu mendapatkan ini,” tanya Wahyu.
”Di dalam binder Putra,” jawab Lina.
Wahyu melanjutkan membaca.
*******************
Aku sering tidak habis pikir dengan kehidupan politik di kampusku sendiri. Di sini, di kampus, seharusnya kita mempelajari kehidupan politik yang baik, sesuai dengan idealisme kita sebagai mahasiswa. Tapi pada kenyataannya, kehidupan politik mahasiswa di kampusku tidak jauh berbeda dengan politik praktis di pemerintahan sana. Ada kawan, ada lawan, black champaigne, curi start kampanye, penggelembungan suara, bahkan tidak jarang konflik yang mulai menjurus ke arah kontak fisik.Oh man, bagaimana mungkin negara ini bisa maju kalau calon – calon politikus di kampus yang penuh idealisme sudah menerapkan politik kotor!
Pernah suatu kali aku menulis suatu artikel di media. Mengkritisi tentang kehidupan politik di kampusku itu. Salah satu yang aku angkat adalah peran senat mahasiswa. Dalam pemilihan, mereka mengatasnamakan jurusan atau program studi. Tapi setelah mereka terpilih, aku tidak pernah melihat mereka memperjuangkan kepentingan mahasiswa dari jurusan mereka. Bahkan, anggota senat dari jurusan yang sama tidak pernah berkoordinasi untuk memperjuangkan kepentingan konstituen mereka. Yang kulihat, mereka sibuk memperjuangkan kepentingan organisasi mereka masing – masing, yang notabene tidak ada dalam struktur intra kampus.
Dan tebak apa yang terjadi. Aku mulai dimusuhi oleh para politikus – politikus kampus itu, tak terkecuali para anggota senat mahasiswa. Hingga pernah aku diundang dalam suatu sidang senat untuk mempertanggungjawabkan tulisanku itu. Lucunya, tidak semua anggota senat hadir. Bahkan dalam pengamatanku yang hadir saat itu didominasi oleh anggota – anggota senat dari satu organisasi.
Aku pernah bertanya pada diriku sendiri. Bisakah anggota senat mahasiswa itu di-recall seperti halnya anggota legislatif di pemerintahan? Kalau memang bisa, lalu siapa yang berhak melakukan itu? Apakah dari mahasiswa langsung, atau dari Himpunan Mahasiswa? Sayangnya aku belum bisa menemukan jawabannya secara pasti. Seharusnya, karena mereka dipilih oleh mahasiswa, sebagai konstituen, mahasiswa bisa me-recall anggota senat yang dipandang tidak representatif dengan kepentingan mereka.
Tapi aku tidak sendiri. Tidak lama setelah insiden sidang senat itu aku diundang untuk menghadiri rapat Himpunan Mahasiswa Jurusanku. Mereka meminta pendapatku lebih lanjut tentang artikelku. Hingga dalam rapat diputuskan akan mengundang anggota senat dari jurusanku. Sayangnya rencana itu tidak berjalan lancar. Para anggota senat dengan didukung organisasi mereka, tidak setuju dengan rencana itu. Apalagi dengan adanya wacana, bahwa Himpunan Mahasiswa akan me-recall beberapa anggota senat yang tidak representatif dengan kepentingan jurusan. Mereka berpendapat, Himpunan Mahasiswa tidak berhak mengundang anggota senat, apalagi me-recall anggota senat. Tidak ada dasar yang kuat untuk itu, kata mereka. Sedangkan Himpunan Mahasiswa, sebagai konstituen merasa berhak untuk itu.
Permasalahan ini tidak ketemu jalan tengahnya. Bahkan konflik semakin meluas di kalangan mahasiswa. Pihak Dekanat sendiri berkesan masa bodoh. Menurut mereka mahasiswa sudah dewasa, sudah dapat menyelesaikan permasalahan sendiri. Lain halnya dengan pihak jurusan. Mereka masih berusaha untuk membantu meredakan konflik. Bahkan dengan difasilitasi Ketua Jurusan, kubu – kubu yang berseteru berusaha dipertemukan. Tetapi konflik semakin berlarut – larut. Di kampus sendiri kondisi sudah semakin panas. Setidaknya ada dua kubu yang berseteru saat itu. Pertama adalah Himpunan Mahasiswa didukung oleh mahasiswa – mahasiswa yang setuju dengan pemikiran mereka. Yang kedua adalah anggota senat yang didukung oleh organisasi mereka. Bahkan mahasiswa dari jurusan lain yang satu organisasi dengan mereka ikut pula mendukung.
*******************
”Aku nggak nyangka, apa yang dimulai Putra akan menjadi berlarut – larut seperti ini,” kata Lina.
”Ya, siapa yang nyangka. Kurasa nggak seorang pun,” sahut Wahyu.
“Bahkan dosen – dosen dibuat angkat tangan, nggak bisa apa – apa,“ tambah Wahyu.
Wahyu dan Lina sendiri adalah pengurus Himpunan Mahasiswa. Masih jelas di ingatan mereka, bagaimana situasi saat itu. Himpunan Mahasiswa menerima dengan baik keterlibatan dosen dalam menengahi konflik, tetapi anggota senat menolak dengan tegas. Permasalahan di lingkungan mahasiswa harus diselesaikan sendiri oleh mahasiswa, dosen hanya mengurusi permasalahan akademik, alasan mereka.
”Memang akhirnya dekanat turun tangan, setelah didesak oleh dosen – dosen jurusan kita. Tapi kayaknya keputusan yang diambil nggak pas deh,” kata Lina.
”Membekukan senat memang bukan keputusan yang terbaik. Tapi mau gimana lagi. Keputusan dekanat udah bulat. Walau diprotes sama anggota – anggota senat, toh jalan juga,”kata Wahyu.
”Tapi hasilnya... lihat beberapa temen kita dapet teror. Jelas teror itu berasal dari kelompok – kelompok yang mendukung senat. Bahkan Putra sendiri oleh mereka dianggap sebagai provokator dari kejadian ini semua,” kata Lina.
”Ya. Dan sekarang Putra kecelakaan,” kata Wahyu pelan.
”Kepikir nggak... jangan – jangan kecelakaan Putra itu rekayasa mereka,” kata Lina.
”Jangan berspekulasi lah. Toh kasus kecelakaannya Putra kan udah ditangani polisi. Yuk sekarang kita ke rumah sakit. Mudah – mudahan Putra udah sadar,” ajak Wahyu.
Mereka diam membisu dalam perjalanan ke rumah sakit. Putra adalah sahabat mereka. Sekalipun bukan pengurus Himpunan Mahasiswa, Putra sering memberi masukan kepada mereka tentang kegiatan – kegiatan Himpunan Mahasiswa. Sesampainya di rumah sakit, mereka bertemu dengan ayah dan kakak Putra. Ibu Putra telah meninggal ketika Putra kelas II SMU.
”Bagaimana keadaan Putra ?” tanya Lina kepada kakak putra.
”Belum ada perkembangan yang berarti. Tadi ada polisi datang ke sini. Katanya informasi tentang penabrak Putra tidak sesuai. Ternyata nomor polisi mobil si pelaku palsu,” jawab kakak Putra.
”Mungkinkah ada faktor kesengajaan dalam kecelakaan Putra?” tanya Wahyu.
”Polisi juga sudah menduga ke arah itu,” jawab kakak Putra.
*******************
Seperti prajurit mati di medan perang,
Seperti ksatria gugur di medan laga,
Akupun ingin mati untuk apa yang aku perjuangkan.
Bait puisi karangan Putra itu akan selalu diingat oleh Wahyu dan Lina. Saat ini mereka sedang bertakziah ke makam Putra. Putra Baruna, sahabat mereka telah tiada. Setelah empat hari koma, nyawa Putra tak tertolong. Pendarahan di kepalanya, mengakibatkannya meninggal. Dan pelaku penabrak Putra tetap saja tidak terungkap.

Tidak ada komentar: