Sabtu, 31 Oktober 2009

NEWS : PENDIDIKAN BIOETIKA DI KEDOKTERAN Belum Miliki Sistem Pengajaran Baku

Undang-undang dan peraturan hukum di bidang kesehatan masih sedikit, sehingga perlu ada bioetika dan etika profesi untuk menguatkan hukum kesehatan secara moral. Namun, dunia pendidikan kedokteran masih belum memiliki sistem pengajaran yang baku sehubungan dengan pelatihan perilaku profesional meskipun hal tersebut sudah mendapat perhatian.
Hal tersebut mengemuka pada Seminar Nasional “Kesadaran Bioetika dan Tantangan Hukum” yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jateng, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jateng bekerjasama dengan Program Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata di Ruang Teater Gedung Thomas Aquinas Kampus Unika Sogijapranata, Sabtu (31/10).
Menurut Ketua Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Prof Dr dr Soenarto Sastrowijoto SpTHT(K), pendidikan bioetika kedokteran di UGM dilakukan melalui pengembangan kurikulum di semua strata mulai pendidikan sarjana kedokteran hingga pendidikan praktisi medis.
“Sebelum tahun 1993, kuliah etika kedokteran diajarkan dosen senior yang dianggap mampu. Kurun waktu 1993-2002 kurikulum etika kedokteran lebih disempurnakan dan mulai 2004 etika kedokteran mengacu pada Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) IV,” kata Soenarto.
Berdasarkan KIPDI IV, lanjut Soenarto, terdapat tujuh area kompetensi dokter, yaitu komunikasi efektif, keterampilan klinis, dasar-dasar ilmu kedokteran, manajemen informasi, evaluasi dan pengembangan diri, serta etika, moral, mediko legal, profesionalisme dan keselamatan pasien. Khusus yang terakhir, menjadi tanggung jawab pendidikan bioetika.
“Dalam pendidikan bioetika, dosen harus memberi contoh. Jika ada dosen atau dokter yang berpeilaku tidak profesional dan disaksikan mahasiswanya, mahasiswa bisa menjadi toleran pada perilaku yang tidak etis dan secara tidak disadari mereka menerima perilaku yang tidak profesional sebagai standar pelayanan,” tambah Soenarto.
Sementara itu, Ketua IDI Jateng dr Bantuk Hadijanto SpOG(K) mengatakan, di tingkat rumah sakit, bioetika ditangani Komite Etika Rumah Sakit (KERS). Fungsi KERS, memberi pelayanan untuk meningkatkan citra rumah sakit sehingga menguntungkan pasien.
“Umumnya, tugas KERS ada tiga bidang, yaitu pendidikan, rekomendasi kebijakan rumah sakit dan pembahasan kasus, baik kasus lampau maupun kasus yang terjadi sekarang,” kata Bantuk.
Berdasarkan tugas KERS tersebut, tambah Bantuk, terdapat kasus-kasus, terutama yang berkaitan dengan etika, yang tidak bisa diputuskan oleh seorang dokter saja, tetapi harus melalui sidang KERS. Kasus-kasus tersebut antara lain euthanasia (bunuh diri medis), abortus, dan pemakaian alat bantu penunjang hidup.