Sabtu, 07 Maret 2009

NEWS : Pelaku KDRT di Jerman, Diadukan Langsung Ditangkap

Di Jerman, bila kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diadukan kepada kepolisian, maka polisi dapat langsung menangkap pelaku saat itu juga. Demikian aktivis perempuan dan konselor KDRT dari Jerman Petra Hafele, menyampaikan pada peserta “Diskusi Pemulihan Psikologi Bagi Perempuan Korban Kekerasan” yang diadakan Unika Soegijapranata Semarang bekerja sama dengan Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) di Gedung Mikael Unika Soegijapranata, Selasa (24/2).
Petra mengatakan, hukum di Jerman, terutama mengenai KDRT, mengatur secara tegas tindakan terhadap pelaku. Pelaku KDRT selain langsung ditangkap, juga dilarang kembali ke rumah dan menghubungi korban selama 10 hari. Hal ini sebagai bentuk perlindungan terhadap korban untuk menghindari kekerasan lanjutan. Selama proses hukum berjalan, korban akan didampingi konselor dan pengacara hingga keluar putusan dari pengadilan.
“Bila putusan dari pengadilan menyatakan terbukti terjadi tindak KDRT, maka pelaku tidak boleh menghubungi korban selama enam bulan”, tambah Petra.
Dalam diskusi tersebut mengemuka, permasalahan KDRT di Indonesia ada pada kurangnya perlindungan kepada korban. Hal ini menyebabkan masih enggannya korban KDRT melaporkan kasusnya, atau sudah dilaporkan kemudian dicabut kembali. Hal ini banyak dikeluhkan peserta diskusi yang rata-rata aktivis atau konselor KDRT. Di sisi lain, budaya patriarki yang masih dominan di Indonesia menyebabkan ketergantungan perempuan kepada laki-laki.
“Beberapa korban yang saya dampingi malah mencabut laporannya. Alasannya dia bingung, bila nanti suami ditangkap polisi atau mereka bercerai, bagaimana nanti menghidupi diri dan anak-anaknya”, ungkap salah satu peserta. Permasalahan itu tidak terjadi di Jerman. Petra menyatakan, pemerintah Jerman memberikan semacam jaminan sosial kepada korban KDRT, sehingga korban benar-benar bisa lepas dari pelaku.
Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Lita Widyo Hastuti, yang juga bertindak sebagai pembicara mengatakan, agaknya permasalahan ekonomi memang masih menghambat penyelesaian kasus KDRT di Indonesia. Korban merasa tergantung secara ekonomi oleh pelaku. Karena ketergantungan dan kekerasan yang terjadi terus menerus, kekerasan menjadi hal yang biasa bagi korban.
“Selain itu, selama ini kasus KDRT ibarat ‘kejahatan dibalik pintu’. Jadi masyarakat beranggapan, KDRT merupakan masalah keluarga yang sebaiknya diselesaikan oleh pasangan suami istri itu sendiri”, kata Lita.
Hal itu merupakan permasalahan budaya di Indonesia. Untuk merubah suatu hal yang sudah membudaya tentu tidak mudah. “Di Jerman, kasus KDRT baru diatur lebih ketat pada 2001, dan awalnya juga tidak mudah. Tetapi setelah berjalan delapan tahun saat ini, hokum itu sudah berjalan dengan baik. Yang penting adalah memberikan kesadaran kepada kaum perempuan tentang hak-hak mereka”, tutup Petra.

Tidak ada komentar: