Sabtu, 31 Oktober 2009

NEWS : PENDIDIKAN BIOETIKA DI KEDOKTERAN Belum Miliki Sistem Pengajaran Baku

Undang-undang dan peraturan hukum di bidang kesehatan masih sedikit, sehingga perlu ada bioetika dan etika profesi untuk menguatkan hukum kesehatan secara moral. Namun, dunia pendidikan kedokteran masih belum memiliki sistem pengajaran yang baku sehubungan dengan pelatihan perilaku profesional meskipun hal tersebut sudah mendapat perhatian.
Hal tersebut mengemuka pada Seminar Nasional “Kesadaran Bioetika dan Tantangan Hukum” yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jateng, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jateng bekerjasama dengan Program Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata di Ruang Teater Gedung Thomas Aquinas Kampus Unika Sogijapranata, Sabtu (31/10).
Menurut Ketua Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Prof Dr dr Soenarto Sastrowijoto SpTHT(K), pendidikan bioetika kedokteran di UGM dilakukan melalui pengembangan kurikulum di semua strata mulai pendidikan sarjana kedokteran hingga pendidikan praktisi medis.
“Sebelum tahun 1993, kuliah etika kedokteran diajarkan dosen senior yang dianggap mampu. Kurun waktu 1993-2002 kurikulum etika kedokteran lebih disempurnakan dan mulai 2004 etika kedokteran mengacu pada Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) IV,” kata Soenarto.
Berdasarkan KIPDI IV, lanjut Soenarto, terdapat tujuh area kompetensi dokter, yaitu komunikasi efektif, keterampilan klinis, dasar-dasar ilmu kedokteran, manajemen informasi, evaluasi dan pengembangan diri, serta etika, moral, mediko legal, profesionalisme dan keselamatan pasien. Khusus yang terakhir, menjadi tanggung jawab pendidikan bioetika.
“Dalam pendidikan bioetika, dosen harus memberi contoh. Jika ada dosen atau dokter yang berpeilaku tidak profesional dan disaksikan mahasiswanya, mahasiswa bisa menjadi toleran pada perilaku yang tidak etis dan secara tidak disadari mereka menerima perilaku yang tidak profesional sebagai standar pelayanan,” tambah Soenarto.
Sementara itu, Ketua IDI Jateng dr Bantuk Hadijanto SpOG(K) mengatakan, di tingkat rumah sakit, bioetika ditangani Komite Etika Rumah Sakit (KERS). Fungsi KERS, memberi pelayanan untuk meningkatkan citra rumah sakit sehingga menguntungkan pasien.
“Umumnya, tugas KERS ada tiga bidang, yaitu pendidikan, rekomendasi kebijakan rumah sakit dan pembahasan kasus, baik kasus lampau maupun kasus yang terjadi sekarang,” kata Bantuk.
Berdasarkan tugas KERS tersebut, tambah Bantuk, terdapat kasus-kasus, terutama yang berkaitan dengan etika, yang tidak bisa diputuskan oleh seorang dokter saja, tetapi harus melalui sidang KERS. Kasus-kasus tersebut antara lain euthanasia (bunuh diri medis), abortus, dan pemakaian alat bantu penunjang hidup.

Selasa, 08 September 2009

NEWS: PERGESERAN NILAI MUDIK LEBARAN Jadi Ajang Pamer Keberhasilan


Pakar sosiologi komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr Hedi Pudjo Santosa menilai, saat ini telah terjadi pergeseran nilai terhadap tren mudik lebaran di masyarakat. Tradisi mudik lebaran tidak lagi sekedar ajang silaturahmi, tetapi juga menjadi ajang pamer keberhasilan kepada keluarga dan kerabat.
Hedi menyampaikan hal tersebut di Semarang, Selasa (8/9).
“Pada masyarakat pedesaan, pamer keberhasilan banyak ditunjukkan dengan banyaknya materi yang dimiliki, seperti mudik dengan membawa kendaraan sendiri dan menyumbang kepada keluarga atau masjid di kampung halaman,” kata Dosen FISIP Undip ini.
Sementara itu, tambah Hedi, untuk menjalin silaturahmi masyarakat perkotaan memiliki tren baru mengadakan reuni dengan teman-teman sekolah atau kuliahnya dulu. Reuni tersebut juga menjadi ajang pamer keberhasilan dengan menunjukkan jabatan atau pangkat yang diduduki.
“Semua hal itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menaikkan gengsi seseorang, jadi tidak hanya sebagai ritual silaturahmi dan keagamaan saja,” katanya.
Menurut Hedi, gegap gempitanya tradisi mudik di Indonesia tidak lepas dari keinginan untuk bersilaturahmi secara langsung daripada menggunakan media kartu lebaran, telepon atau pesan singkat (short message service/SMS). Silaturahmi dengan media-media tersebut dinilai memiliki impresi yang kurang dibanding bertemu langsung.
“Karena itu banyak orang yang rela berkorban untuk mudik, seperti meluangkan tenaganya untuk mudik dengan sepeda motor. Namun dibalik itu, biasanya selalu ada cerita menarik tentang perjalanan para pemudik, seperti pengalaman buka puasa atau mendapat pemandangan yang bagus di daerah tertentu,” kata lulusan program Doktor Sosiologi UGM ini.
Hedi juga melihat, libur Idul Fitri dan mudik Lebaran di Indonesia tidak hanya didominasi oleh penganut agama Islam. Hal itu memungkinkan karena dalam sebuah keluarga besar seringkali menganut agama yang berbeda satu sama lain, sehingga penganut agama non-Islam pun banyak juga yang melakukan mudik Lebaran untuk bersilaturahmi dan berkumpul dengan keluarga.
“Hal yang sama juga saya lihat terjadi pada pengusaha dari etnis Tionghoa yang biasanya memiliki banyak toko. Karena pegawainya mudik, mereka tidak bisa menjalankan usahanya seperti biasa sehingga memilih untuk libur. Kesempatan tersebut biasanya mereka gunakan untuk libur bersama keluarga ke luar kota atau luar negeri,” demikian Hedi Pudjo Santosa.

Selasa, 25 Agustus 2009

NEWS : TARI PENDHET DIKLAIM MALAYSIA Turnomo Raharjo: Hanya Soal Jual Parwisata


Pakar Komunikasi Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr Turnomo Raharjo mengatakan bangsa Indonesia jangan hanya merasa terusik dan marah bila kebudayaan Indonesia diklaim negara lain, seperti kasus Tari Pendhet yang ditampilkan dalam iklan pariwisata Malaysia. Menurutnya, bangsa Indonesia juga harus introspeksi terhadap kebudayaan yang dimiliki serta merawat dan melestarikan kebudayaan Indonesia.
“Selama ini Indonesia lemah dalam inventarisasi kebudayaan dan potensi pariwisata. Dari segi hukum pun kita lemah karena kebudayaan kita banyak yang belum dipatenkan,” kata Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Undip yang akrab disapa Harjo ketika ditemui di Semarang, Selasa (25/8).
Kelemahan Indonesia tersebut, menurut Harjo, menyebabkan Malaysia leluasa untuk mengklaim kebudayaan Indonesia dengan dalih Indonesia-Malaysia merupakan bangsa serumpun sehingga memiliki kebudayaan yang sama. Hal tersebut dimanfaatkan Malaysia untuk mempromosikan pariwisatanya.
“Saya memandang hal tersebut hanya sebagai persoalan jualan pariwisata Malaysia. Hal tersebut karena Malaysia tidak memiliki kebudayaan yang beragam seperti Indonesia, sehingga dalam iklan pariwisatanya Malaysia mengambil kebudayaan Indonesia. Dari segi etika komunikasi tentu hal tersebut layak dipertanyakan, ” tutur Harjo.
Harjo juga menilai Indonesia masih lemah dalam menjual potensi pariwisata dan kebudayaannya. Hal tersebut nampak dalam rancangan pariwisata yang masih kurang menjual eksotisme Indonesia. Harjo mencontohkan kawasan wisata Dieng yang memiliki eksotisme yang tinggi namun tidak dikemas dan dijual secara bagus sehingga kawasan wisata tersebut kurang dikenal wisatawan.
“Manajemen pariwisata Indonesia memang masih kurang profesional, berbeda dengan Malaysia yang lebih profesional, lebih tertata dan lebih bagus,” tambah Harjo.
Tentang saling klaim antara Indonesia-Malaysia mengenai kebudayaan, Harjo mengusulkan adanya dialog kebudayaan untuk membicarakan klaim kebudayaan antara dua negara. Namun untuk menghadapi Malaysia dalam dialog tersebut, Indonesia harus menyiapkan dokumentasi dan dasar hukum yang kuat agar bisa mengklaim kebudayaan Indonesia. Harjo melihat persoalan saling klaim tersebut tidak lepas dari sejarah konflik Indonesia-Malaysia yang dimulai Presiden Sukarno pada tahun 1960-an. Konflik tersebut telah menjadi konflik laten antara dua negara dan terus berkembang serta fluktuatif.

Jumat, 21 Agustus 2009

NEWS: Joyo NS Gono: Tommy Bukan Sosok Istimewa

Merupakan hal yang wajar bila Hutama Mandala Putra atau Tommy Suharto berniat mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar, karena setiap orang berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin sepanjang tidak melanggar hukum.

Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Joyo NS Gono MSi mengatakan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Kamis (20/8).

“Tetapi peluang Tommy sangat kecil karena dia bukan sosok yang istimewa, selain dia putra Suharto. Di kancah politik dia tidak berpengalaman dan tidak terlalu dikenal,” kata dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip yang akrab disapa Gono ini.

Munculnya Tommy dalan bursa calon ketua umum Golkar, menurut Gono, bisa terjadi karena adanya kesepakatan-kesepakatan antara Tommy dengan sejumlah pihak di internal Golkar, baik secara individu maupun kelompok. Kesepakatan tersebut tentu berupa dukungan politik terhadap Tommy dan dukungan ekonomi kepada pihak-pihak yang mendukung Tommy.

Namun bila melihat karakter Golkar, langkah Tommy akan mendapat ganjalan karena Golkar merupakan partai kader dan banyaknya kelompok-kelompok yang berambisi menjadi ketua umum di internal Golkar.

Meskipun aktif di dunia bisnis, tambah Gono, Tommy bukanlah ikon di dunia tersebut. Selama ini kiprah Tommy di dunia bisnis tidak lepas dari peran ayahnya, Suharto, ketika menjabat sebagai presiden. Hal itu tentu berbeda dengan Aburizal Bakrie yang dikenal sebagai ikon pengusaha.

Terkait tentang kekhawatiran sejumlah pihak tentang masuknya Tommy dalam bursa ketua umum Golkar sebagai upaya untuk menghidupkan kembali trah Cendana dan Orde Baru, Gono menyangsikan hal tersebut. Menurutnya, motivasi Tommy terjun ke politik lebih karena motif pribadi daripada motif keluarga.

“Bisa dibilang trah Cendana sudah tidak ada, karena keluarga tersebut sudah tercerai berai. Seandainya Cendana memang ingin mengembalikan nama di panggung politik, justru Tommy bukan calon yang tepat. Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana) atau Bambang Trihatmojo justru lebih berpeluang karena lebih berpengalaman,” tutur Gono.

Namun, Gono mengatakan belum bisa membaca motif pribadi Tommy. Sebagai anak mantan presiden Suharto, Tommy tentunya mengincar posisi politik. Hanya saja motif dibalik kekuasaan yang mungkin didapat belum bisa

Jumat, 14 Agustus 2009

LETTER : Fenomena Citizen Journalism

Citizen Jurnalism (CJ) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai jurnalisme warga sebenarnya bukanlah hal baru, namun baru beberapa tahun terakhir ini dikenal di Indonesia. CJ sendiri oleh Shayne Bowman dan Chris Willis didefinisikan sebagai “the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”.

Jadi CJ bisa diartikan kegiatan jurnlisme yang meliputi proses pencarian, pengolahan, pelaporan, penganalisaan berita dan informasi oleh warga (non-jurnalis) dimana warga memiliki peran yang aktif dalam kegiatan tersebut.

Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis. Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan CJ? Perbedaannya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi. Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya sama, yaitu mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.

Lalu darimanakah asal mula CJ? Di Amerika Serikat ketika Pemilihan Presiden tahun 2004, dua calon presiden , George W Bush dari Partai Republik dan John Kerry dari Partai Demokrat bersaing ketat. Banyak warga Amerika yang bosan dengan berita-berita yang disampaikan oleh media konvensional seperti koran, karena media tersebut dikuasai oleh partai politik. Akhirnya, dari mana orang memperoleh berita dengan perspektif yang berbeda? Dari Weblog.

Mungkin inilah contoh konkrit CJ. Inti CJ adalah masyarakat menjadi obyek sekaligus subyek berita. Bisa dikatakan bahwa CJ lahir dari perkembangan teknologi. Sekarang, berita-berita di media cetak sudah mulai didampingi oleh internet, bahkan setiap orang bisa menjadi penulis. Hal ini bukan merupakan bentuk persaingan media, tapi justru merupakan perluasan media.

J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003), mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe, yaitu:

* Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
* Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
* Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
* Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
* Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
* Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).

Perkembangan CJ di Asia sendiri diawali di Korea dengan adanya OhmyNews.com pada 2002. OhmyNews.com berkembang sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Korea yang terlalu mengatur dan mengontrol pemberitaan di media massa. Bisa dibilang, kebebasan pers di Korea kurang terjamin. Dengan adanya OhmyNews.com ini, warga Korea bisa mendapat alternatif media karena pemerintah belum melakukan kontrol ketat terhadap media internet. Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah Korea saat ini pun mulai melakukan kontrol terhadap media internet.

Perkembangan CJ di Indonesia masih belum lama. Yang mengawali mungkin adalah detik.com, yang menampilkan berita-berita segar dan tidak terkungkung. Tetapi situs ini dibuat oleh insitusi untuk banyak orang. Berbeda dengan blog, blog disiapkan oleh banyak orang untuk dibaca orang banyak pula. Bisa dibilang, keberadaan blog di Indonesia saat ini sudah sangat banyak, salah satu blog terbaik adalah perspektif.net sebagaimana masuk dalam 10 blog terbaik pilihan Majalah Tempo.

Ditanya mengenai akuntabilitas berita di blog, bagaimana caranya mengatur supaya tidak ada SARA, pornografi, dll serta diperlukan atau tidak adanya aturan terhadap blog. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah crime-nya, bukan mediumnya (blog). Pengaturan perilaku itu perlu, tapi jangan apriori, karena kalau segala sesuatunya diatur, orang malah tidak ada inisiatif. Blog yang baik itu memiliki fasilitas jawab dan melakukan fungsi moderator. Tidak perlu ada UU khusus yang mengatur blog seperti UU Pers, karena bagaimanapun Etika pribadi tiap-tiap orang itu jauh lebih kuat daripada berbagai macam UU.

Dikaitkan dengan masalah politik, blog di Indonesia yang bernuanasa politik secara kuantitas masih kecil, namun kualitasnya sangat bermutu. Sebagian besar blog di Indonesia isinya masih merupakan masalah pribadi, hal ini wajar saja, karena blogger umumnya berusia 20-35 tahun. Hal ini bagus, karena dapat menunjukkan bagaimana dinamika masyarakat dan dapat menjelaskan juga bagaimana pemikiran masing-masing orang tentang banyak hal. Terkait dengan masalah politik, sebenarnya blog bisa juga dijadikan alat kampanye yang baik. Substansi sebuah kampanye bisa dimuat diblog. Kalau seseorang ingin berkampanye lewat media cetak mungkin ruangnya bisa terbatas, tapi lewat blog, hal itu menjadi tidak terbatas.

Lalu apa isu dan implikasi dari berkembangnya CJ? Beberapa diantaranya yang dapat diamati adalah sebagai berikut:
1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.

2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku CJ

3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memposisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup CJ menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media konvensional.

4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani.

5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku CJ bisa disebut wartawan? Kenyataannya, CJ mengangkat slogan ‘everybody could be a journalist!’ Apakah blogger bisa disebut sebagai ‘the real journalist?’.

6. Isu etika: apakah setiap pelaku CJ perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.

7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku CJ? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.

8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku CJ yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.

9. Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor CJ memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka. Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.

Referensi :

http://lunjap.wordpress.com/2008/06/03/citizen-journalism-sebuah-fenomena/

http://daisyawondatu.wordpress.com/2006/10/11/citizen-journalism/

NEWS : Fitriyah: Putusan MK Sudah Bisa Diduga

Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah MA Semarang menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang gugatan sengketa Pemilu 2009 yang menolak gugatan dari pihak Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto, sudah bisa diduga sebelumnya.
Fitriyah, yang juga mantan ketua KPU Propinsi Jawa Tengah, mengatakan hal tersebut menjawab KR di Semarang, Jumat (14/8).
Menurut Fitriyah, alat bukti yang dimiliki KPU jauh lebih kuat karena lebih terdokumentasi daripada alat bukti milik Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto yang hanya mengandalkan data dari saksi-saksi. Padahal kualitas sumber daya manusia (SDM) saksi yang dimiliki para calon masih terbatas dan belum memiliki kemampuan dokumentasi yang baik.
“Dalam sejarah sengketa pemilu, penggugat memang tidak pernah menang. Apalagi selisih hasil akhir Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 terpaut jauh, sehingga tidak akan mengubah hasil. Kita perlu mengapresiasi positif MK yang telah mengakomodir gugatan tersebut,” kata Fitriyah.
Fitriyah berpendapat, proses gugatan dan keluarnya putusan MK tersebut sangat perlu sebagai evaluasi dan perbaikan untuk pemilu selanjutnya. Selain itu, putusan MK juga lebih melegitimasi hasil pemilu, karena banyak pihak yang tidak puas terhadap kinerja KPU. Putusan MK sebagai putusan tertinggi harus bisa diterima semua pihak dan pada kenyataannya memang pihak-pihak yang menggugat menerima putusan MK.
Terkait tudingan terhadap KPU yang dinilai tidak netral dan memihak, Fitriyah mengatakan hal tersebut akibat kurang profesionalnya KPU dalam menyelenggarakan pemilu. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu tentunya terikat dengan sumpah dan sistem yang berlaku di lembaga tersebut. Kalaupun terdapat anggotanya yang partisan, KPU secara kelembagaan tetap akan netral.
Fitriyah mencontohkan kasus spanduk sosialisasi Pilpres 2009 yang terdapat tanda contreng pada gambar pasangan nomor dua. Kasus tersebut terjadi bukan karena keberpihakan, tetapi karena kurangnya profesionalitas KPU. Bila KPU profesional tentu tidak akan menerbitkan spanduk seperti itu, bahkan spanduk sosialisasi bisa diterbitkan KPU daerah dengan desain dan bahasa yang lebih bisa diterima masyarakat di daerah.
“Karena kurang profesional, maka sebagian pihak menafsirkan KPU berpihak,” tambah Fitriyah.
Tentang permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), Fitriyah menilai dari awal data yang diperoleh KPU memang sudah bermasalah. Hal tersebut akibat masih lemahnya pencatatan kependudukan di Indonesia. Tetapi permasalahan tersebut sebenarnya bisa diatasi bila KPU mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan dengan pihak penyedia data dalam proses pemutakhiran DPT.
“Terdapat hal-hal yang di luar wewenang KPU dalam permasalahan DPT, seperti adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama atau warga yang belum memiliki NIK. Maka dari itu pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) di daerah seharusnya bisa menfasilitasi pemutakhiran DPT,” tutur Fitriyah.
Fitriyah juga menilai, permasalahan-permasalahan yang mucul pada Pemilu 2009 tidak lepas dari masih kurangnya kualitas SDM pelaksana di lapangan, baik Kelompok Penyelenggara Pemunutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) hingga para saksi dari peserta pemilu. Lemahnya kualitas pelaksana lapangan tersebut menyebabkan masih kurangnya pemahaman pihak-pihak yang terlibat tentang proses pemunutan suara.
“Banyak hal-hal yang seharus dilakukan tetapi tidak dilakukan. Misalnya, seharusnya KPPS menyerahkan DPT kepada para saksi, tetapi tidak dilakukan karena baik KPPS maupun saksi tidak mengerti,” kata Fitriyah.

NEWS : Prof Eko: Kesenian Masih Terpinggirkan

Pemerintah Propinsi (Pemprop) Jawa Tengah dinilai masih setengah hati dalam mengembangkan kesenian di Jateng. Hal tersebut terbukti masih ada kesan kesenian dipinggirkan dibanding bidang yang lain, seperti olahraga.

Budayawan dan akademisi Prof Ir Eko Budihardjo MSc menyampaikan hal tersebut ketika dihubungi di Semarang, Kamis (13/8). “Dibanding olahraga yang sering mendapat kucuran dana hingga miliaran rupiah, kesenian hanya mendapat dana sekitar Rp 250 juta setahun. Padahal kesenian memiliki berbagai macam jenis yang semuanya harus dilestarikan,” kata Eko.

Di tengah minimnya anggaran untuk neguri-uri kesenian, Prof Eko yang mantan Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) dan mantan Rektor Undip, menyatakan masih bersyukur dengan tetap eksisnya kantong-kantong kesenian yang masih peduli dengan kesenian, seperti pameran The Java Heritage di Hotel Ciputra Semarang beberapa waktu yang lalu. Para seniman pun dinilai tidak pernah berhenti melestarikan dan mengembangkan kebudayaan.

“Meskipun terpinggirkan, para seniman tidak pernah berhenti berjuang. Ibarat foto atau lukisan, pinggirannya itu pigura. Kalau piguranya bagus, foto atau lukisan tersebut juga menjadi bagus,” kata

Tentang pelayanan publik, Eko mengatakan Pemprop Jateng bisa belajar dan berkaca dari propinsi lain. Eko mencontohkan yang terjadi di Kalimantan Timur, pengurusan perizinan hanya berlangsung 36 menit. Hal tersebut masuk ke dalam Museum Rekor Indonesia (Muri), dan waktu dihitung sendiri oleh penggagas Muri Jaya Suprana.

Eko juga mengusulkan adanya forum yang melibatkan para kepala daerah untuk menyampaikan keberhasilan dan kegagalannya serta berbagi pengalaman antar kepala daerah. Bahkan bila perlu forum tersebut diadakan hingga tingkat kepala desa dan kelurahan karena kades dan lurah merupakan ujung tombak pembangunan, sesuai dengan semangat Bali Desa Mbangun Desa.

Eko melihat masih ada ketimpangan pembangunan dan kesenjangan antara desa-kota dan antara wilayah utara-selatan. Eko sangat apresiatif dengan pembangunan jalur selatan, karena hal tersebut akan mengurangi kesenjangan.

“Kejasama antar wilayah juga perlu ditingkatkan, terutama yang melibatkan berbagai daerah seperti wilayah Semarang-Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Purwadadi), Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Klaten) dan wilayah lain,” kata Eko.

Kerjasama antar wilayah tersebut tidak bisa dihindari karena daerah satu tidak bisa lepas dari daerah lain. Eko mancontohkan, penanganan banjir di Kota Semarang perlu melibatkan daerah lain seperti Kabupaten Semarang. Agar kerjasama tersebut bisa terlaksana dengan baik, menurut Eko perlu adanya pemberian insentif dari Kota Semarang untuk Kabupaten Semarang agar Pemkab Semarang bersedia mempertahankan hutan dan jalur hijaunya.

“Seperti halnya Indonesia yang diminta mempertahankan hutan tropisnya agar pemanasan global dapat dicegah, Indonesia mendapatkan insentif dari negara-negara industri untuk melestarikan hutan,” kata Eko.

Tentang isu terorisme yang seringkali pelakunya ditangkap di wilayah Jateng, Eko berharap para kepala daerah mulai dari bupati/walikota hingga gubernur bisa mengayomi masyarakat dengan rumus PPH, yaitu Peace (damai), Prosperity (sejahtera) dan Happiness (bahagia).

“Kepala daerah harus mampu menjamin kedamaian, kesejahteraan dam kebahagiaan masyarakatnya. Kalau itu semua tercapai, masyarakat tidak akan terlibat terorisme dan Jateng menjadi aman,” demikian Eko Budihardjo.

Sabtu, 08 Agustus 2009

NEWS : MERIAHKAN HARI JADI JATENG Pementasan Matra Babad Demak Bintara




Sutawijaya manantang Arya Penangsang (dok. Dewanto Samodro)





Sedikit ragu, Sutawijaya muda menantang Arya Penangsang. Dengan usus terburai karena luka tusukan tombak, Arya Penangsang meladeni tantangan Sutawijaya. Rupanya Sutawijaya memang bukan tandingan Arya Penangsang, sehingga dia terdesak. Arya Penangsang pun bermaksud membunuh Sutawijaya, namun sayang ketika mencabut keris pusaka Kyai Brongot Setan Kober,ususnya putus. Arya Penangsang pun tewas karena pusakanya sendiri.
Itulah klimaks dari pertunjukan Drama Tradisi (Matra) Babad Demak Bintara yang ditampilkan Sekar Budaya Nusantara (SBN) dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Propinsi Jawa Tengah di halaman Kantor Gubernur Jateng Jalan Pahlawan Semarang, Jumat (7/8) malam lalu.
Menurut pimpinan SBN Nani Soedarsono, Matra merupakan pengembangan dan inovasi dari ketoprak. Yang membedakan Matra dengan ketroprak antara lain alat musik, kostum dan bahasa yang digunakan.
“Matra tidak menggunakan kentongan seperti ketoprak, namun gamelan layaknya pertunjukkan wayang orang. Bahasa yang digunakan pun bahasa Indonesia agar bisa diterima segala lapisan masyarakat,” kata Nani kepada wartawan dalam jumpa pers di Hotel Santika Premiere Jalan Pandanaran, Kamis (6/8) malam.
Matra Babad Demak Bintara sendiri mengambil latar belakang sejarah tentang berdirinya kerajaan Demak, kejayaan Demak dan peralihan Demak ke Pajang. Untuk lebih menguatkan unsur sejarah, penulisan naskah direvisi hingga empat kali dan melibatkan sejarahwan dari UI Jakarta, Universitas Surabaya dan UGM Yogyakarta.
Menurut Sutradara Matra Babad Demak Bintara Pong Hardjatmo, pementasan tersebut melibatkan 92 pemain termasuk mahasiswa dan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI dan ISI Surakarta. Seluruh pemain baru berkumpul pada gladi kotor, setelah sebelumnya berlatih di daerah masing-masing.
“Agak sulit menyatukan pemain yang sebelumnya berlatih secara terpisah, namun hal tersebut bisa diatasi,” kata Pong.
Pelaku budaya Jawa Setyadji Pantjawidjaja yang turut menyaksikan pementasan mengaku sangat apresiatif dengan adanya terobosan baru pertunjukkan ketroprak. “Biasanya saya antipati bila kesenian Jawa menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi setelah menyaksikan sendiri pementasan dari SBN, saya sangat terkesan,” kata Setyadji.
Secara khusus, Setyadji menyampaikan apresiasinya terhadap Nani Soedarsono, Menurutnya, sebagai mantan Menteri Sosial yang saat ini sudah berusia 81 tahun, Nani masih sangat perhatian terhadap budaya nasional. Bahkan karena keluwesannya, Nani masih sigap menjalin kerjasama dengan Gubernur Jateng sejak 2004 untuk menampilkan kesenian dan budaya tradisi pada Hari Jadi Propinsi Jateng setiap tahun. Bahkan, Setyadji mensejajarkan Nani Soedarsono dengan Ki Nartosabdho di zaman modern.
“Ki Nartosabdho banyak melakukan terobosan-terobosan dalam kebudayaan Jawa. Hal itu tercermin pada Tri Karsa Kebudayaan, yaitu menggali, mengembangkan dan melestarikan,” kata Setyadji.

Berikut ini petikan adegan yang berhasil didokumentasikan:



Arya Penangsang menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pengangkatan Hadiwijaya sebagai raja Demak menggantikan Sultan Trenggono kepada Sunan Kudus. (dok. Dewanto Samodro)









Sunan Kudus memberi nasehat kepada Arya Penangsang. (dok. Dewanto Samodro)









Pembunuhan Sunan Prawoto, putra Sultan Trenggono, yang menyebabkan huru-hara di Demak. (dok. Dewanto Samodro)







Sultan Hadiwijaya menghadap Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa tanpa busana untuk menerima permintaan pembalasan dendam dengan membunuh Arya Penangsang. (dok. Dewanto Samodro)

Rabu, 05 Agustus 2009

NEWS: KEMESRAAN SBY-KIEMAS HAL BIASA Yulianto: PDIP Harus Tinggalkan Politik Keturunan

Kemesraan yang ditunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Taufik Kiemas bisa dimaknai positif sebagai upaya rekonsiliasi politik antara Partai Demokrat (PD)-PDIP. Namun, hal tersebut juga bisa dimaknai hanya sebagai pertemanan politik yang biasa saja antara keduanya dan wajar bila hal tersebut terjadi.
Pengamat politik Undip Semarang M Yulianto MSi menyampaikan hal tersebut di Semarang, Rabu (5/8).
Terkait dengan kemungkinan rekonsiliasi antara PD-PDIP, Yulianto mengatakan hal tersebut sangat kecil karena perbedaan ideologi antara kedua partai dan sejarah hubungan SBY-Megawati yang tidak baik. Dia juga menyarankan PDIP tetap mengambil posisi sebagai oposisi dalam pemerintahan agar tercipta keseimbangan antara pemerintah dan parlemen.
“Dari awal berdirinya, PDIP sudah mengambil sikap sebagai partai oposisi. Lebih baik hal tersebut diteruskan dalam pemerintahan mendatang,” kata Yulianto.
Yulianto juga menyarankan, PDIP tidak lagi melakukan praktek politik keturunan yang selama ini dilakukan dengan menfigurkan Megawati sebagai keturunan Sukarno. Figur Megawati harus segera digantikan oleh kader-kader lain yang selama ini tenggelam dalam bayang-bayang Megawati.
“Hal tersebut harus dilakukan karena dalam pemilu mendatang Megawati sudah tidak mungkin berkiprah. Bila hal tersebut tidak dilakukan, saya kira kemunduran PDIP tinggal menunggu waktu,” tutur Yulianto.
Kebesaran PDIP selama ini, menurut Yulianto, tidak lepas dari ideologi kerakyatan yang diusung partai sebagai penerus ideologi Sukarno. Ideologi dan citra kerakyatan tersebut membuat PDIP dekat dengan rakyat dan menjadi partainya wong cilik.
“Dengan ideologi tersebut, PDIP memiliki pendukung yang loyal. Hal tersebut juga tidak lepas dari figur Megawati sebagai anak Sukarno. Bila PDIP masih tetap ingin bertahan dengan politik keturunan Sukarno, saya rasa bisa menokohkan anak-anak Sukarno yang lain atau anak Megawati, Puan Maharani,” kata Yulianto.
Anak-anak Sukarno, menurut Yulianto, banyak yang memiliki potensi di bidang politik. Hal tersebut nampak pada Sukmawati dan Rahmawati yang juga terjun ke politik dengan kendaraan partai masing-masing. Sebagai upaya menyelamatkan PDIP sebagai partai besar, keluarga Sukarno harus bersatu dan tidak terpecah-pecah.

SBY All Out
Tentang kabinet yang akan disusun SBY sebagai calon presiden terpilih, Yulianto mengatakan SBY akan all out dalam menyusun kabinet karena perolehan suaranya yang cukup signifikan, apalagi cawapres Boediono yang bukan dari kalangan parpol. Meskipun begitu, Yulianto memprediksi SBY tetap akan lebih mengakomodir kader-kader dari partai pendukungnya agar kebijakan pemerintahannya tidak deadlock di parlemen.
Yulianto juga memprediksi, apa pun keputusan SBY soal kabinet, tidak akan membuat koalisi partai pendukung SBY pecah. Hal tersebut juga terlihat ketika SBY memutuskan mengambil Boediono sebagai cawapres. Partai-partai pendukung SBY seperti PKS dan PKB akan tetap setia dalam koalisi.
“PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar sejak dari awal sudah hidup-mati mendukung SBY, begitu pula PKS. Justru PPP perlu diwaspadai karena menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 lalu sempat terombang-ambing antara mendukung SBY atau tidak,” tutup Yulianto.

NEWS: MAHASISWA KOREA KKN DI SUSUKAN Pelajari Budaya dan Masyarakat Jawa

Sebanyak 17 mahasiswa dari Chon Buk National University Korea melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Susukan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang selama sembilan hari, mulai (28/7) hingga (3/8). Kegiatan tersebut merupakan kerjasama Chon Buk National University dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro.
Menurut Dekan FISIP Undip Drs Warsito SU, kerjasama tersebut berawal dari kerjasama pribadi antara Dosen FISIP Undip Yuwanto PhD dengan Chon Buk National University yang merupakan doktor lulusan univeritas tersebut. Oleh Yuwanto, kerjasama tersebut kemudian dikembangkan menjadi kerjasama dengan FISIP Undip.
Assistant Professor Jeon Je Seong, ketika ditemui KR pada kunjungan penutupan di Kampus FISIP Undip mengatakan, dalam kegiatan tersebut mahasiswa tinggal berbaur dengan masyarakat dan mempelajari budaya masyarakat, salah satunya tarian.
“Di Susukan, tari dipelajari segala umur mulai dari anak-anak hingga dewasa. Hal tersebut tidak ada di Korea, karena di Korea tarian dipelajari oleh para profesional,” kata Jeon.
Salah satu mahasiswa, Yioon Jeon, mengatakan masyarakat Indonesia, terutama Susukan sangat ramah, karena selalu tersenyum.
“Bila kami menyapa mereka, selalu dibalas dengan senyum lebar. Hal tersebut tidak kami temui di Korea,” kata Yioon.
Menurut Jeon Je Seong, kerjasama tersebut akan ditindaklanjuti menjadi kerjasama antar universitas. Menurut rencana, dua bulan mendatang, Rektor Chon Buk akan datang ke Undip dan melakukan penandatanganan Memorandum or Understanding (MoU) dengan rektor Undip. Kerjasama tersebut akan membahas pertukaran mahasiswa dan pemberian beasiswa bagi mahasiswa Undip untuk melanjutkan studi ke Chon Buk, serta kemungkinan menjalin sister university antara Chon Buk dan Undip.

Jumat, 31 Juli 2009

NEWS : DIDUGA BERNUANSA POLITIS Pencopotan Sekda Kota Semarang

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Drs Susilo Utomo SU menduga pencopotan jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Semarang Soemarmo HS bernuansa politis karena dilakukan menjelang Pemilihan Walikota (Pilwakot) 2010. Susilo menyampaikan hal tersebut ketika dihubungi di Semarang, Jumat(31/7).
Susilo menilai, figur Soemarmo yang memiliki jaringan kuat di lingkungan birokrasi Pemerintah Kota Semarang bisa menjadi batu sandungan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk maju dalam Pilwakot 2010, terutama bagi Walikota Sukawi Sutarip yang diduga telah mempunyai calon dari kalangan keluarganya.
“Soemarmo dikhawatirkan akan menggunakan jabatan dan jaringannya yang kuat dalam birokrasi untuk memuluskan jalannya menjadi walikota. Pola yang sama digunakan Walikota Sukawi Sutarip pada Pilwakot 2005 lalu yang menggunakan jaringan birokrasi hingga tingkat RT/RW sebagai mesin politik,” kata Susilo.
Susilo menduga, pencopotan Soemarmo dari jabatan Sekda sebagai upaya untuk memutus jaringan birokrasi yang dikuasainya, sehingga akan memuluskan jalan bagi calon yang diusung Sukawi.
“Soemarmo sebenarnya merupakan anak didik Sukawi. Tetapi rupanya Soemarmo telah menjadi anak macan yang mulai besar. Jika kekuatan Soemarmo tidak diputus dengan mencopot jabatannya sebagai Sekda, Sukawi khawatir Soemarmo justru akan menjadi batu sandungan bagi calon yang akan didukungnya,” tutur Susilo.
Tentang prosedur penggantian jabatan sekda, tambah Susilo, sesuai aturan walikota harus mengajukan tiga nama ke Gubernur. Kemudian Gubernur akan melakukan fit and proper test untuk menentukan satu calon yang akan menjadi sekda definitif.
Susilo Utomo mengakui penggantian jabatan Sekda merupakan wewenang walikota, namun prosedurnya harus diusulkan dulu ke Gubernur. Secara prosedur dan normatif, penggantian Sekda Soemarmo merupakan kesalahan.
Susilo menambahkan, pengalaman yang sama terjadi di Kabupaten Demak menjelang Pemilihan Bupati (Pilbup) 2006. Sekda Kabupaten Demak dicopot dan digantikan Plt Sekda.
Seperti diberitakan di berbagai media, Walikota Semarang Sukawi Sutarip mencopot Sekda Soemarmo HS dan mengangkat Kepala Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga (Dinsospora) Harini Krisniati sebagai pelaksana tugas Sekda. Pencopotan Soemarmo dan pengangkatan Harini mengundang polemik di berbagai kalangan termasuk Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Sekda Jateng Hadi Prabowo. Bahkan secara tegas Gubernur tidak mengakui pencopotan tersebut, dan masih menganggap Soemarmo sebagai Sekda Kota Semarang.

Jumat, 26 Juni 2009

NEWS : POLITIK SALING KLAIM PARA CAPRES Bisa Bahayakan Citra Sendiri

Pakar Komunikasi Pemasaran Politik Undip Djoko Setyabudi MM menilai politik saling klaim keberhasilan yang terjadi di kalangan calon presiden (capres) bisa menjadi blunder dan membahayakan citra politik yang berusaha dibangun. Djoko menyampaikan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Sabtu (27/6).
“Politik saling klaim yang paling lucu dan aneh terjadi antara capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Pada pemerintahan sekarang, posisi mereka satu tim sebagai presiden dan wakil presiden, sehingga keberhasilan yang terjadi merupakan keberhasilan bersama. Tidak dewasa jika SBY dan JK saling klaim sebagai keberhasilan pribadi,” kata Djoko.
Di kalangan masyarakat yang lebih terdidik, tambah Djoko, politik saling klaim tidak akan berpengaruh dalam membentuk citra politik. Justru saling klaim tersebut akan dinilai sebagai ketidakdewasaan SBY dan JK dalam berpolitik.
“Di kalangan yang kurang terdidik pun politik seperti itu juga tidak akan banyak berpengaruh karena masyarakat akan dibingungkan dengan saling klaim tersebut. Para pemilih dari kalangan kurang terdidik mungkin akan lebih memilih calon berdasarkan penampilan fisik luar saja,” tutur Djoko.
Djoko menganalogikan kampanye politik sebagai strategi penjualan sebuah produk. Sebuah produk tidak akan berguna bila produk tersebut memiliki produk lain sebagai komplementer. Maka tidak bisa mengklaim keunggulan sebuah produk dengan mengesampingkan peran produk komplementernya.
Sedangkan klaim yang dilakukan capres Megawati Soekarnoputri, Djoko menilai hal tersebut merupakan hal yang percuma karena klaim yang dilakukan Mega merupakan klaim atas keberhasilan pemerintahannya sebelum pemerintahan SBY-JK.
“Pemerintahan Mega terlalu jauh untuk diklaim keberhasilannya. Masyarakat pasti akan lebih ingat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang terjadi pada pemerintahan SBY-JK,” tutup Djoko.

Selasa, 23 Juni 2009

NEWS : Iklan SBY-Boediono Salahi UU Pilpres

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah menganggap, iklan kampanye pasangan capres-cawapres SBY-Boediono yang ditayangkan di sejumlah televisi nasional dan televisi lokal menyalahi pasal 53 ayat 1 UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Anggota KPID Jateng Divisi Pengawasan Isi Siaran Zainal Abidin Petir mengatakan hal tersebut di Semarang, Selasa (23/6).
Menurut Zainal, berdasarkan pasal 53 ayat 1 UU No 42 tahun 2008, batas maksimum penayangan iklan kampanye di televisi untuk setiap pasangan calon maksimal 10 spot dengan durasi maksimal 30 detik, sementara untuk radio paling lama berdurasi 60 detik.
“Iklan SBY-Boediono yang ditayangkan di sejumlah televisi nasional dan lokal memiliki durasi lebih dari 30 detik,” kata Zainal.
Karena itu, KPID Jateng kemudian melayangkan surat teguran kepada 11 televisi nasional, yaitu TVRI Nasional, RCTI, TV One, Trans TV, Trans 7, Metro TV, Global TV, TPI, SCTV, Indosiar, dan AnTV, serta tiga televisi lokal, yakni Pro TV Semarang, Cakra Semarang TV, dan Ratih TV Kebumen.
“Kami juga mengusulkan kepada KPI Pusat untuk memberikan sanksi kepada sejumlah televisi tersebut, serta memberikan tembusan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu),” tutur Zainal.
Zainal menambahkan, dalam pemilu legislatif lalu batasan iklan maupun durasi iklan kampanye memang tidak berlaku lagi karena Mahkamah Konstutusi (MK) membatalkannya. Sedangkan terkait tentang UU 42/2008, beberapa media juga merasa keberatan dengan beberapa pasal yang dinilai memberatkan, dan mengajukan 'judicial review' ke MK.
“Karena belum ada putusan final dari MK tentang pasal 57 ayat 1 dalam UU Nomor 42/2008, berarti peraturan dalam pasal tersebut harus tetap dijalankan,” jelas Zainal.
KPID Jateng, kata Zainal, mempunyai wewenang untuk memberikan dan menjatuhkan sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran terkait penyiaran.
"Siapapun yang melanggar harus diberi sanksi," tegas Zainal.

Minggu, 21 Juni 2009

NEWS : 127.000 Guru Swasta Dukung SBY-Boediono

Ketua Umum Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jawa Tengah M Zen Adv mengatakan, sekitar 127.000 guru swasta di Jateng mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. M Zen mengatakan hal tersebut pada Rapat Koordinasi PGKSI Jateng di Gedung GRIS Pedurungan Semarang, Minggu (21/6).
Pada Rakor tersebut, PGKSI menyampaikan tiga pernyataan sikap kepada pemerintah yang akan datang, yaitu mendorong realisasi dan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD, mendorong pemerintahan memberi perhatian yang sama terhadap status guru PNS dan guru swasta, dan mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan PP Guru Swasta untuk melindungi hak-hak guru swasta di masa mendatang.
“Selama ini guru swasta kurang diperhatikan pemerintah, mulai dari pendidikan yang masih non-kualifikasi akademik S1 hingga gaji guru swasta yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR),” kata M Zen.
Acara tersebut juga diisi dengan penyerahan pernyataan sikap kepada Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng Abdul Kadir Karding yang juga hadir dan penandatangan spanduk dukungan kepada SBY-Boediono yang ditandatangani seluruh guru swasta dari 31 pengurus cabang yang hadir.
Menurut Karding, acara tersebut merupakan inisiatif PGKSI Jateng, dan dirinya hadir karena diundang. Karding berjanji akan menyampaikan pernyataan sikap dan aspirasi PGKSI kepada Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono.
Dalam sambutannya, Karding sependapat dengan PGKSI tentang perlunya keseimbangan anggaran pendidikan antara pendidikan negeri dan swasta. Karena itu, Karding merasa dukungan PGKSI kepada SBU-Boediono merupakan langkah yang tepat karena pasangan tersebut memiliki kemungkinan menang yang besar dibanding pasangan calon lain.
“Lebih baik memilih yang pasti menang daripada memilih yang akan kalah,” kata Karding.
Karding juga menegaskan tidak sependapat dengan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang melekat pada profesi guru. Menurutnya, sudah selayaknya guru juga dihargai jasanya dalam mendidik bangsa sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah agar guru lebih sejahtera dan dilindungi.

NEWS : 127.000 Guru Swasta Dukung SBY-Boediono

Ketua Umum Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jawa Tengah M Zen Adv mengatakan, sekitar 127.000 guru swasta di Jateng mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. M Zen mengatakan hal tersebut pada Rapat Koordinasi PGKSI Jateng di Gedung GRIS Pedurungan Semarang, Minggu (21/6).
Pada Rakor tersebut, PGKSI menyampaikan tiga pernyataan sikap kepada pemerintah yang akan datang, yaitu mendorong realisasi dan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD, mendorong pemerintahan memberi perhatian yang sama terhadap status guru PNS dan guru swasta, dan mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan PP Guru Swasta untuk melindungi hak-hak guru swasta di masa mendatang.
“Selama ini guru swasta kurang diperhatikan pemerintah, mulai dari pendidikan yang masih non-kualifikasi akademik S1 hingga gaji guru swasta yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR),” kata M Zen.
Acara tersebut juga diisi dengan penyerahan pernyataan sikap kepada Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng Abdul Kadir Karding yang juga hadir dan penandatangan spanduk dukungan kepada SBY-Boediono yang ditandatangani seluruh guru swasta dari 31 pengurus cabang yang hadir.
Menurut Karding, acara tersebut merupakan inisiatif PGKSI Jateng, dan dirinya hadir karena diundang. Karding berjanji akan menyampaikan pernyataan sikap dan aspirasi PGKSI kepada Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono.
Dalam sambutannya, Karding sependapat dengan PGKSI tentang perlunya keseimbangan anggaran pendidikan antara pendidikan negeri dan swasta. Karena itu, Karding merasa dukungan PGKSI kepada SBU-Boediono merupakan langkah yang tepat karena pasangan tersebut memiliki kemungkinan menang yang besar dibanding pasangan calon lain.
“Lebih baik memilih yang pasti menang daripada memilih yang akan kalah,” kata Karding.
Karding juga menegaskan tidak sependapat dengan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang melekat pada profesi guru. Menurutnya, sudah selayaknya guru juga dihargai jasanya dalam mendidik bangsa sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah agar guru lebih sejahtera dan dilindungi.

NEWS : AWARDING NITE CARAKA FESTIVAL Mahasiswa Jogja Borong Penghargaan

Mahasiswa Jogja memborong sejumlah penghargaan dalam Caraka Festival Kreatif yang diumumkan pada Awarding Nite di Rama-Shinta Ballrom Hotel Patra Semarang, Sabtu (20/6).
Mahasiswa tersebut antara lain Noviana Putri dan Priscila dari Unika Atma Jaya meraih juara kedua kategori radio script, Bernadeta Susilowati (Unika Atma Jaya/juara ketiga radio script), Muhammad Watsik (STMIK AMIKOM/juara kedua graphic design), Noviana Putri (Unika Atma Jaya/ juara kedua photography), Griseldis Kripika Loe (Unika Atma Jaya/juara ketiga photography), serta David Rianto dan Fajrin Hutami (UGM) yang mendapat penghargaan khusus dari dewan juri karena membuat strategi komunikasi dan presentasi terbaik ketika workshop.
Menurut Noviana, even Caraka Festival Kreatif tersebut sangat berkesan karena dikhususkan bagi mahasiswa.
“Berbeda dengan Phinastika di Yogyakarta yang didominasi agensi periklanan profesional sehingga porsi untuk mahasiswa sangat sedikit,” tambah Bernadeta yang pernah menjadi panitia Phinastika bersama Noviana.
Hal senada dituturkan David, dia sangat terkesan dengan even tersebut karena mendapat banyak ilmu dan pengalaman dari para ahli di dunia periklanan.
Caraka Festival Kreatif merupakan festival periklanan yang diselenggarakan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Pengda Jateng bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Komunikasi Undip dan Desain Komunikasi Visual (DKV) Unika Soegijapranata Semarang.
Ketua P3I Pengda Jateng Bambang Pulunggono berharap even tersebut dapat mengangkat dan meramaikan dunia periklanan di Jateng yang masih kering dan sepi dari even-even periklanan tingkat nasional. Menurut Bambang Pulunggono, even tersebut akan dievaluasi dan diharapkan dapat menjadi program rutin P3I Pengda Jateng yang akan diadakan setahun sekali.
Sementara itu, pakar peiklanan Jateng Djito Kasilo dalam sambutannya berpesan kepada para peserta agar tetap mempertahankan kreatifitasnya karena hasil dari even tersebut tidak bisa dipetik seketika.
“Buah dari keberhasilan ini tidak bisa dipetik hari ini atau besok, tetapi butuh waktu bertahun-tahun. Kalian merupakan investasi bagi dunia periklanan Indonesia,” kata Djito.
Menurut Ketua Panitia Caraka Festival Kreatif Tegar Gigih Yudhanataru, even tersebut merupakan even periklanan pertama dan satu-satunya di Indonesia yang dikhususkan bagi mahasiswa. Tegar menuturkan, even pertama tersebut diikuti 357 peserta dari berbagai universitas se-Indonesia dengan memperlombakan lima kategori yaitu print ad, photography, design grafis, design packaging, dan radio script.
Sebelum pengumuman pemenang diselenggarakan, di tempat yang sama diluncurkan katalog P3I Pengda Jateng sebagai media interaksi antara P3I Pengda Jateng dan stakeholder, meliputi media massa dan para klien.
Ketua Bidang Daerah P3I Pusat Adnan Iskandar berharap katalog tersebut dapat membuat hubungan antara para klien, media dan P3I bisa lebih tertata dan saling mengerti serta acuan untuk melihat perkembangan dunia periklanan di Jateng.

Rabu, 17 Juni 2009

NEWS : UU PEMILU TIDAK KONSISTEN Implikasi Keputusan MK Tentang Suara Terbanyak

Pasca keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak, filosofi Pemilu 2009 mengalami perubahan. Bila sebelumnya dengan penetapan nomor urut, partai politik (parpol) diasumsikan sebagai pihak yang paling mengetahui kualitas calon anggota legislatif (caleg), maka dengan suara terbanyak diasumsikan pemilih sudah tahu kualitas caleg. Padahal kenyataannya para pemilih banyak yang belum mengenal dan mengetahui kualitas para caleg.
Hal tersebut mengemuka pada Seminar “Implikasi Formula Penetapan Caleg Terpilih di Pemilu 2009” yang diselenggarakan Jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan Program Magister Ilmu Politik Undip di Gedung Pascasarjana Undip Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Rabu (17/6).
Mantan Wakil Ketua KPU Pusat Prof Dr Ramlan Surbhakti MA PhD yang hadir sebagai pembicara mengatakan, UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu merupakan UU tentang Pemilu yang paling buruk dari segi kepastian hukum karena multitafsir dan tidak konsisten. Selain itu terdapat banyak kesalahan yang akhirnya menjadi perdebatan pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
“Pemilu 2009 menjadi amburadul karena terdapat inkonsistensi dalam pelaksanaannya. Keputusan MK yang mencabut pasal 214 tentang caleg terpilih berdasarkan nomor urut secara de facto juga membatalkan pasal 55 tentang caleg disusun berdasarkan nomor urut. Padahal keputusan MK keluar setelah daftar caleg disusun berdasarkan nomor urut,” kata Ramlan yang juga guru besar Unair Malang.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Undip Prof Dr Arif Hidayat MHum yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan UU merupakan produk politik yang dibuat oleh institusi politik sehingga banyak faktor di luar hukum yang yang mempengaruhi.
“Hukum menjadi cacat sejak lahir karena banyak kepentingan seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, agama dan lain-lain yang mempengaruhi,” kata Arif.
Selain itu, Arif menambahkan, UU merupakan aturan hukum yang masih memerlukan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Tetapi untuk UU Pemilu, aturan pelaksananya tidak bisa PP atau Perpres karena KPU merupakan lembaga independen, sehingga bila aturan pelaksananya menggunakan PP atau Perpres akan menjadikan KPU tidak independen.
“Oleh karena itu, secara implisit Peraturan KPU setara dengan PP atau Perpres. Begitu pula dengan keputusan MK yang juga setara dengan PP atau Perpres,” kata Arif.
Meski dinilai amburadul, pembicara lain, mantan Ketu KPU Jateng Fitriyah MA mengatakan hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu menghasilkan beberapa kelebihan dibandingkan Pemilu 2004.
“Berdasarkan para caleg yang terpilih, ternyata pemilu 2009 menghasilkan anggota legislatif yang lebih muda, lebih terdidik dan memiliki keterwakilan perempuan lebih tinggi dibanding Pemilu 2004,” kata Fitriyah yang juga pengajar Jurusan Pemerintahan Undip.
Namun dengan sistem yang digunakan, Pileg 2009 juga memiliki kekurangan berupa dana politik yang kian besar, caleg populer lebih berpeluang terpilih dan jumlah kasus sengketa hasil pemilu yang kian meningkat.
“Dengan kekurangan yang muncul tersebut, muncul pertanyaan, apakah wakil rakyat yang terpilih akan benar-benar mewakili rakyat atau menjadi wakil rakyat untuk mencari kerja,” tutup Fitriyah.

Jumat, 12 Juni 2009

NEWS : DINILAI MASIH WAJAR DAN LAYAK Penggunaan Facebook Untuk Kampanye

Pakar komunikasi pemasaran politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Djoko Setyabudi mengatakan pengunaan Facebook untuk kampanye oleh tim sukes atau tim kampanye calon presiden (capres) merupakan hal yang wajar karena sebagai salah satu moda komunikasi, saluran jejaring sosial seperti Facebook layak digunakan.
“Pengguna Facebook juga merupakan pemilih sehingga wajar jika tim sukses membidik pengguna Facebook,” kata Djoko ketika ditemui di Semarang, Sabtu (13/6).
Yang perlu diperhatikan, menurut Djoko, karakter atau segmentasi pengguna Facebook yang memungkinkan untuk memanipulasi atau tidak jujur dalam mengungkapkan diri dan gagasannya. Di Facebook terdapat ajakan untuk mendukung capres tertentu, tetapi belum tentu dukungan yang diberikan itu benar. Bisa jadi dukungan tersebut tidak jujur.
“Bisa juga karena dukungan yang diberikan secara spontan, maka sesuai dengan kondisi hati atau pemikiran saat itu. Bisa jadi setelah mengikuti perkembangan politik selanjutnya, dukungan tersebut berubah,” tutur Djoko
Menurut Djoko, segmen dari pengguna Facebook secara psikografis berasal dari kalangan yang memiliki akses internet dan menyukai jejaring sosial di dunia maya. Tetapi belum tentu pengguna Facebook tersebut peduli terhadap politik.
Terkait dengan adanya polling di Facebook yang mengunggulkan pasangan capres tertentu, Djoko mengatakan hasil polling tersebut tidak bisa dijadikan acuan, karena kondisi politik masih mungkin berkembang. Polling yang dilakukan pada hari-hari mendekati Pemilu Presiden 2009 justru merupakan hasil polling yang bisa dijadikan acuan.
Djoko mencontohkan polling yang terjadi di Amerika Serikat ketika pemilihan presiden. Tim sukses Barrack Obama tetap tidak bisa tenang meski sejumlah polling dan survei mengunggulkan Obama, karena mereka kuatir isu ras menjatuhkan Obama. Hal ini pernah terjadi ketika salah satu calon gubernur kulit hitam kalah padahal unggul di sejumlah polling.
Djoko menduga, hal yang sama bisa terjadi di Indonesia, ketika isu-isu yang menjatuhkan pasangan capres tertentu dihembuskan. Apalagi jejaring sosial seperti Facebook juga bisa digunakan sebagai sarana untuk black campaigne dan negatif campaigne.
“Pemilih, terutama pengguna Facebook, bisa saja saat ini mendukung pasangan capres tertentu, tetapi belum tentu dalam pemilihan mereka akan memilih calon tersebut,” tutup Djoko

Senin, 08 Juni 2009

NEWS : HATI-HATI SIKAPI HASIL SURVEI Media Jangan Mau Diperalat Tim Sukses

Masyarakat diharapkan hati-hati dan kritis terhadap hasil survei tentang tingkat elektabilitas calon yang berkompetisi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 yang mulai beredar di berbagai media massa. Masyarakat jangan terlalu percaya terhadap hasil survei karena sangat mungkin hasil survei tersebut dipublikasikan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pakar Metodologi Penelitian Sosial Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Tandiyo Pradekso MSc mengatakan hal tersebut ketika ditemui, Selasa (10/6) di Semarang terkait dengan beredarnya hasil survei di media massa yang dilakukan beberapa lembaga riset. Beberapa hasil survei tersebut kemudian menimbulkan kontroversi karena dinilai tidak independen dan menguntungkan pasangan calon presiden (capres) tertentu.
Menurut Tandiyo, banyak faktor-faktor prosedural dan pengolahan data yang tidak dicantumkan ketika hasil survei dipublikasikan. Yang sering dicantumkan ketika hasil survei dipublikasikan hanyalah sampling error, sementara instrumen survei seperti daftar pertanyaan, lokasi pengambilan sampel dan siapa responden tidak pernah diungkap. Padahal menurut Tandiyo hal-hal tersebut seharusnya diungkapkan karena bisa saja instrumen-instrumen tersebut dimanipulasi.
“Lokasi pengambilan sampel, misalnya, bisa dimanipulasi dengan mengambil lokasi kantong-kantong pendukung calon tertentu sehingga hasil survei akan mengunggulkan calon tersebut,” kata Tandiyo.
Meskipun begitu, Tandiyo tidak menyalahkan bila survei yang dilakukan lembaga survei didanai tim sukses atau konsultan kampanye calon tertentu. Menurut Tandiyo, lembaga survei merupakan lembaga ekonomi yang memiliki motif ekonomi untuk mencari dana. Yang harus jeli adalah media massa yang mempublikasikan hasil survei tersebut.
Senada dengan Tandiyo, pengamat media Undip Triyono Lukmantoro MSi mengatakan survei yang dilakukan beberapa lembaga, meskipun tidak semuanya, perlu dipertanyakan kembali metodologinya. Triyono mengamati, beberapa survei dilakukan lembaga media massa dengan metode mengirim pesan pendek (short message service/sms) melalui ponsel atau polling dengan media internet untuk memperoleh pendapat masyarakat.
“Dengan cara seperti itu, siapa yang menjadi responden tidak jelas. Bahkan tidak menutup kemungkinan responden yang sama memberikan pendapatnya lebih dari satu kali sehingga hasil survei menjadi tidak valid,” kata Triyono.
Menurut Triyono, media harus hati-hati dalam mempublikasikan hasil survei. Menurutnya, survei memiliki metodologi yang kompleks, tidak hanya pada angka-angka saja. Sebelum mempublikasikan, seharusnya media mengklarifikasi kepada lembaga yang melakukan survei.
“Nampaknya media enggan menanyakan kepada lembaga survei sehingga yang dipublikasikan hanya angka-angka saja. Tidak bisa dipungkiri hasil survei, terutama tentang tingkat elektabilitas calon memiliki nilai berita yang tinggi,” kata Triyono.
Menurut Triyono, media jangan mau menjadi alat propaganda tim sukses atau konsultan kampanye capres. Setidaknya media harus mempertanyakan tentang independensi survei yang dilakukan, siapa yang melakukan survei, siapa yang mendanai dan untuk apa survei dilakukan.
Terkait tentang survei yang dipublikasikan melalui iklan di media, Triyono mengatakan adanya kewenangan yang terpisah antara bagian iklan dan redaksi di media. “Sah saja bila media mempublikasikan hasil survei sebagai iklan, namun yang terpenting bagian redaksi media jangan memberitakan hasil survei tanpa klarifikasi terlebih dahulu. Berita harus memberi pembelajaran kepada masyarakat tentang survei yang dilakukan,” tutup Triyono.

Jumat, 29 Mei 2009

NEWS : PELATIHAN CITIZEN JOURNALISM Ciptakan Warga Sebagai Penyedia Berita

Konsep dari Citizen Journalism atau jurnalisme kewargaan yaitu kegiatan jurnalistik yang meliputi pencarian berita hingga penyajian berita yang dilakukan warga, bukan jurnalis atau wartawan profesional. Biasanya Citizen Journalism menggunakan media on line seperti website, webblog bahkan situs-situs pertemanan seperti Friendster atau Facebook.
Untuk lebih mengenalkan tentang Citizen Journalism, Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang mengadakan pengenalan dan pelatihan tentang Citizen Journalism pada Kamis (18/5) di lantai 2 Perpustakaan FISIP Undip Kampus Pleburan.
Pelatihan yang diikuti puluhan mahasiswa Ilmu Komunikasi Undip tersebut menghadirkan Produser TVOne Lena Sari Aristianti dan Produser Executive TVOne Ninok Hariyani yang juga alumni Jurusan Ilmu Komunikasi.
Ninok Hariyani mengatakan, untuk lebih mengembangkan Citizen Journalism di Indonesia, TVOne akan membuat sebuah program acara yang isinya berasal dari kiriman masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan warga sebagai penyedia informasi.
Sementara itu Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Nurul Hasfi MA mengatakan konsep awal dari Citizen Journalim yaitu media yang keluar dari mainstream media, sehingga Nurul khawatir bila TVOne membuat program acara dengan konsep Citizen Journalism justru akan membuat Citizen Journalism terpaku pada aturan-aturan media. Tetapi Nurul memberi apresiasi kepada TVOne yang memberi kesempatan untuk berkembangnya Citizen Journalism di Indonesia.

NEWS : STRATEGI PEMASARAN POLITIK KURANG TEPAT Bisa Membahayakan Citra Capres-Cawapres

Politik pencitraan yang dilakukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kurang efektif dan berpotensi menjadi blunder bagi citra kandidat yang sedang dibangun. Strategi komunikasi pemasaran politik yang dilakukan pasangan capres-cawapres dinilai kurang tepat dan hanya akan membangun citra untuk jangka pendek.
Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Djoko Setyabudi MM dan Dyah Pitaloka MA mengatakan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Jumat (29/5).
Djoko menilai, ketiga pasangan kandidat capres-cawapres melakukan strategi komunikasi pemasaran politik yang bisa membahayakan citra mereka. Misalnya iklan politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengambil nada jingle iklan yang identik dengan sebuah produk mie instan.
“Dengan mendengar nadanya saja, masyarakat pasti akan langsung ingat dengan produk mie instan. Bila tidak memperhatikan, masyarakat tidak akan tahu bahwa iklan tersebut merupakan iklan politik SBY. Apalagi tema yang dipakai pada iklan tersebut juga sama dengan tema iklan produk tersebut, yaitu keberagaman suku,” kata Djoko.
Sedangkan pasangan kandidat lainnya, Djoko menilai ketidaktepatan strategi komunikasi pemasaran politik mereka terletak pada cara menyingkat nama masing-masing pasangan yaitu Mega-Pro dan JK-Win.
”Mendengar nama Mega-Pro dan JK-Win, masyarakat pasti langsung teringat dengan salah satu merek kendaraan bermotor karena ada merek kendaraan bermotor yang produknya Mega Pro dan Win,” tutur Djoko.
Menurut Djoko, kemungkinan para kandidat tersebut berusaha membangun citra dengan meminjam citra brand yang sudah dikenal masyarakat. Tetapi hal ini bisa merugikan dan justru menguntungkan bagi citra brand yang dipinjam karena seolah-olah dilegitimasi para kandidat, terlebih bila kandidat tersebut terpilih.
”Citra brand tersebut sudah terbentuk dalam benak masyarakat. Tentunya sulit merubah citra yang sudah tertanam, apalagi meminjam citra yang telah dimiliki sebuah brand untuk membangun citra kandidat,” terang Djoko.
Senada dengan Djoko, Dyah Pitaloka mengatakan strategi komunikasi pemasaran politik yang dilakukan para kandidat berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Bahkan Dyah Pitaloka menilai yang dilakukan para kandidat tersebut hanyalah political selling, bukan political marketing.
”Iklan-iklan politik yang muncul lebih mengarah pada lomba jualan politik karena apa yang dilakukan para kandidat tersebut hanya menjual. Seharusnya iklan politik tidak hanya menjual tetapi juga ada sisi edukatif untuk orientasi jangka panjang,” kata Dyah Pitaloka yang akrab disapa Ita.
Menurut Ita, iklan dimasudkan untuk merubah perilaku seseorang. Pada iklan komersil diharapkan perilaku yang muncul, melakukan pembelian dan dilanjutkan dengan pembelian berikutnya. Tetapi, kata Ita, rupanya para kandidat hanya berorientasi pada perilaku masyarakat untuk memilih pada hari pemilihan.
”Padahal orientasi jangka panjang bisa dilakukan, yaitu perilaku memilih dilanjutkan dengan memilih kembali pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan datang,” tutup Ita.

Minggu, 24 Mei 2009

NEWS : DISKUSI REVITALISASI PERAN DPD Kuat di Legitimasi, Lemah di Kelembagaan

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebenarnya memiliki legitimasi yang kuat karena terpilih berdasarkan suara terbanyak, bahkan melebihi suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun sayangnya legitimasi tersebut tidak didukung lembaga yang kuat. Hal tersebut dikarenakan lembaga DPD sampai saat ini belum memiliki peran yang optimal.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Terbatas Pakar-DPD RI Daerah Pemilihan (DP) Jawa Tengah ”Revitalisasi Peran DPD RI” yang diadakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP Undip) Semarang, Sabtu (23/5) di Hotel Santika Jalan A Yani Semarang.
Dekan FISIP Undip Drs Warsito SU sebagai pembicara mengatakan peran DPD masih kurang dikenal oleh masyarakat karena UUD 1945 yang telah diamandemen masih belum memberi tempat yang cukup bagi DPD sebagai lembaga legislatif.
”Selama ini peran DPD hanya mengusulkan kepada DPR untuk pertimbangan DPR saja, jadi ada kesan DPD hanya bawahan DPR,” kata Warsito.
Hal tersebut, menurut Warsito, karena adanya kepentingan di DPR yang sengaja memarjinalkan peran DPD. Majelis Permusyarawaratan Rakyat (MPR) yang mempunyai hak untuk mengamandemen UUD 1945 dikuasai oleh DPR, sehingga amandemen UUD 1945 merupakan tirani demokrasi oleh DPR.
Asisten I Pemeritah Propinsi Jateng Drs Pudjo Kiswantoro yang juga pembicara mengatakan hal senada. Menurutnya DPD merupakan lembaga politik namun tidak memiliki kekuasaan politik, sehingga perlu ada perubahan sistem untuk memberi peran yang lebih besar kepada DPD.
“Untuk itu tidak hanya DPD yang harus menyuarakan, tetapi semua pihak terutama pemerintah daerah, akademisi dan lembaga non pemerintah lainnya,” kata Pudjo.
Pudjo juga berpendapat DPD harus mampu mewakili potensi daerah dan membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di daerah. Guru besar Fakultas Ekonomi Undip Prof FX Sugiyanto juga mengatakan hal senada, bahkan Sugiyanto memaparkan isu-isu ekonomi utama yang dihadapi Jateng sebagai masukan bagi anggota DPD RI DP Jateng 2009-2014 terpilih.
Anggota DPD RI DP Jateng 2009-2014 terpilih Dr Sulistiyo MPd mengungkapkan harapan dan keinginnya bersama anggota DPD terpilih lainnya.
“Kami akan memperjuangkan perubahan sistem dan susunan kedudukan DPD, memaksimalkan fungsi dan wewenang DPD yang terbatas serta membangun kekuatan politik untuk untuk mengimbangi kekuatan DPD. Kami berharap DPD bisa lebih berperan dan bermanfaat,” kata Sulistiyo.
Sementara itu, Pengajar Jurusan Pemerintahan FISIP Undip Drs Susilo Utomo SU mengatakan perlu strategi untuk memaksimalkan peran DPD. Susilo mengungkapkan pentingnya lobby dan membangun jaringan hingga ke tingkat kabupaten/kota tidak hanya propinsi saja.
”DPD merupakan lembaga milik daerah hingga kabupaten/kota sehingga DPD juga harus mengakomodir aspirasi dari kabupaten/kota,” kata Susilo.

NEWS : MELIHAT KEKUATAN PARA CAPRES SBY Paling Kuat, JK Tidak Siap

Di antara ketiga pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono merupakan pasangan yang memiliki modal sosial paling tinggi, sedangkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto merupakan pasangan yang paling tidak siap modal sosialnya. Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Semarang Drs Susilo Utomo SU mengatakan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Sabtu (23/5)
SBY-Boediono, menurut Susilo, memiliki modal sosial yang cukup tinggi dibanding pasangan lain, yaitu figur SBY sebagai incumbent. Keberhasilan dan program-program SBY ketika menjabat presiden seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pemberantasan korupsi merupakan salah satu keunggulan SBY dibanding pasangan lain.
Tetapi, menurut Susilo, bukan berarti pasangan lain tidak memiliki modal yang cukup dan tidak mungkin untuk mengalahkan pasangan SBY-Boediono. Pasangan lain seperti Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto pun tetap berpeluang mengalahkan SBY-Boediono pada Pemilihan Presiden (Pilpres 2009).
Modal sosial pasangan Megawati-Prabowo misalnya, terutama terletak pada figur Megawati sebagai dinasti Soekarno dan platform yang diusung partai Gerindra. Selain itu sikap Megawati yang konsisten maju sebagai capres meski didekati Partai Demokrat merupakan keunggulan pasangan Megawati-Prabowo.
Sedangkan pasangan JK-Wiranto , menurut Susilo, terletak pada leadership JK dan institusi Partai Golkar sebagai partai modern.”Golkar merupakan satu-satunya partai modern di Indonesia karena tidak terpaku pada sosok dan figur ketua umum. Hal tersebut nampak bahwa JK sebagai ketua umum tidak bisa seenaknya menentukan kebijakan partai,” kata Susilo.
Yang terpenting, menurut Susilo, ketiga pasangan tersebut harus mampu membangun pencitraan politik yang baik. Hal ini dikarenakan perilaku memilih masyarakat masih cenderung memperhatikan figur daripada platform atau visi dan misi.
”Ketiga pasang tersebut harus mampu membangun citra politik sebagai pemimpin yang dibutuhkan rakyat,” tambah Susilo.
Ketika ditanya tentang musibah jatuhnya pesawat Hercules C-130 Alpha 1325 di Magetan yang menjadi komoditas politik untuk menyerang incumbent, khususnya SBY, Susilo mengatakan seharusnya SBY dan JK tidak saling menyalahkan, karena keduanya masih menjabat sebagai presiden dan wakil presiden. Apabila musibah tersebut akibat kurangnya anggaran bagi TNI, keduanya harus bertanggung jawab karena musibah tersebut terjadi ketika keduanya memimpin.
Susilo berpendapat, bila memang ingin memanfaatkan musibah tersebut untuk membangun citra dan meraih simpati masyarakat, keduanya bisa memberi perhatian kepada para korban.
“Daripada saling menyalahkan, memberi perhatian seperti santunan kepada korban akan lebih meraih simpati masyarakat,” kata Susilo.
Sedangkan tentang koalisi partai-partai yang terbentuk menjelang Pilpres 2009, Susilo mengatakan koalisi yang terbentuk menunjukkan partai-partai di Indonesia tidak memiliki ideologi yang jelas. Ideologi hanya sebatas jargon yang digunakan sebagai komoditas politik dan berkampanye saja. Hal tersebut nampak dari koalisi yang terbentuk, seperti koalisi JK-Wiranto yang diusung Partai Golkar dan Partai Hanura serta pasangan Megawati-Prabowo yang diusung PDIP dan Partai Gerindra. Partai Hanura merupakan partai sempalan dari Golkar, begitu pula dengan kader-kader Gerindra merupakan sempalan dari PDIP. Susilo berpendapat, untuk apa dulu menyempal bila kemudian koalisi dengan Golkar atau PDIP.
”Hal ini menunjukkan sempalan-sempalan tersebut hanya karena masrtabat dan harga diri. Akibatnya visi, misi dan platform partai menjadi tidak sesuai dengan ideologi partai,” tutup Susilo.

Kamis, 14 Mei 2009

NEWS : PENGANIAYAAN TERHADAP WARTAWAN Harus Diselesaikan Dengan UU Pers

Kasus penganiayaan terhadap wartawan SCTV Carlos Pardede seharusnya diselesaikan menggunakan landasan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers karena melibatkan wartawan. Ada kekhawatiran kasus tersebut dianggap kasus kekerasan biasa sehingga diselesaikan menggunakan peraturan perundangan yang lain seperti KUHP.
Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Wiwid Noor Rakhmad menyampaikan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Kamis (14/5).
“Sanksi yang dijatuhkan harus mengacu pada UU Pers agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat bahwa siapa pun tidak boleh menghalangi kerja pers di lapangan, “ kata Wiwid.
Wiwid yang mengampu mata kuliah Hukum Komunikasi ini mengatakan, kejadian tersebut akibat ketidaktahuan beberapa orang tentang prosedur kewartawanan. Menurutnya prosedur wartawan sangat mengutamakan aktualitas, sehingga terkadang prosedur-prosedur fornal menjadi halangan bagi wartawan.
Seperti diberitakan, wartawan SCTV Carlos Pardede mengalami penganiayaan yang dilakukan aparat keamanan Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Rabu (13/5) ketika akan menemui Gubernur BI Boediono untuk wawancara seputar pencalonan Boediono sebagai calon wakil presiden (cawapres). Penganiayaan tersebut dipicu sikap keamanan yang mempertanyakan kartu identitas, padahal selama ini keamanan BI tidak pernah menanyakan kartu identitas kepada wartawan.
Senada dengan Wiwid, Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Undip yang lain, Triyono Lukmantoro MSi mengatakan dalam kasus ini terlihat ketidakpahaman aparat keamanan BI terhadap kerja wartawan.
“Wartawan datang, menjalankan tugas memberi informasi kepada publik, seharusnya tidak dihalangi oleh keamanan. Mungkin keamanan menjalankan prosedur yang ada di BI, tetapi karena kemudian terjadi tindak kekerasan maka dilihat dari sisi mana pun, pihak kemanan salah,” tandas Triyono.
Tetapi Triyono mengingatkan, wartawan jangan merasa diistimewakan karena dijamin oleh UU. Menurut Triyono etika kewartawanan juga harus dijunjung tinggi oleh wartawan.
“Wartawan tetap harus beretika. Ada etika-etika yang harus digunakan wartawan ketika menjalankan tugasnya di lapangan,” kata Triyono yang mengajar mata kuliah Etika Profesi Komunikasi.
Terkait dengan aksi solidaritas yang dilakukan organisasi-organisasi wartawan di daerah, Wiwid dan Triyono mengingatkan wartawan harus tetap objektif menyikapi kejadian ini.
“Jangan karena yang dianiaya wartawan lalu diberitakan besar-besaran, padahal masih banyak kasus serupa yang menimpa masyarakat pinggiran. Jangan sampai juga aksi solidaritas tersebut justru memicu terjadinya tindak kekerasan yang lain,” kata Triyono.
“Wartawan jangan hanya fokus pada kasus ini saja, masih banyak kasus serupa terjadi yang perlu disikapi oleh wartawan. Tidak hanya kasus kekerasan, kasus lain yang melibatkan insan pers juga masih sering terjadi,” kata Wiwid.

NEWS : WARTAWAN SEMARANG DATANGI BI Terkait Pemukulan Wartawan SCTV di Jakarta

Puluhan wartawan yang tergabung dalam berbagai organisasi wartawan di Semarang melakukan aksi dengan mendatangi Kantor Bank Indonesia (BI) Semarang di Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Kamis (14/5) sebagai bentuk solidaritas atas kasus pemukulan terhadap wartawan SCTV Carlos Pardede oleh satpam BI di Jakarta.
Aksi yang dipimpin Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah Sriyanto Saputro tersebut menyampaikan pernyataan sikap antara lain menuntut kasus pemukulan Carlos Pardede diusut secara tuntas sebagai bentuk penegakan hukum, mengecam keras tindakan pemukulan tersebut karena telah menghambat kerja jurnalis dan bertentangan dengan kebebasan pers, menuntut dihentikannya kriminalisasi pers di Indonesia dan mengharap kasus serupa tidak terjadi kembali.
Wartawan yang datang sekitar pukul 10.00 di Kantor BI Semarang diterima Kepala BI Semarang Zaini Abu Amin didampingi sejumlah petinggi BI di Semarang. Menanggapi pernyataan sikap yang disampaikan wartawan, Zaini menyampaikan penyesalannya atas terjadinya kasus pemukulan wartawan SCTV Carlos Pardede di Jakarta.
Kepada wartawan, Zaini berjanji akan menyampaikan pernyataan sikap wartawan tersebut kepada pimpinan BI di Jakarta dan berharap kasus tersebut tidak mengganggu hubungan baik antara BI Semarang dan wartawan.
Ketua PWI Jateng Sriyanto Saputro yang memimpin aksi menyatakan aksi tersebut sebagai wujud solidaritas wartawan di Jateng, khususnya di Semarang, karena Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 telah mengamanatkan kebebasan pers dan mengatur bahwa wartawan memiliki hak untuk mencari dan menyebarkan informasi. Bila terdapat pihak-pihak yang secara sengaja menghalang-halangi wartawan, maka dapat dikenai sanksi pidana.
Sriyanto menghimbau semua pihak yang terkait dengan wartawan dapat bekerjasama dengan wartawan karena kerja wartawan di lapangan dilindungi UU. Sriyanto juga berharap segala bentuk kriminalisasi terhadap pers dapat dihilangkan dari Indonesia.

Rabu, 13 Mei 2009

NEWS : PENDUKUNG SB GRUDUG DPW PAN JATENG Tolak Hasil Rakernas Yogyakarta

Puluhan kader Partai Amanat Nasional (PAN) se-pantura pendukung Ketua Umum Soetrisno Bachir (SB) mendatangi kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN Jawa Tengah Jalan Mucharom Kedungmundu Tembalang Semarang, Rabu (13/5) sekitar pukul 15.00. Kedatangan sejumlah kader PAN tersebut untuk menyampaikan aspirasinya menolak hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN di Yogyakarta yang memutuskan mencalonkan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kedatangan kader PAN se-pantura yang dipimpin Ketua DPC PAN Pekalongan Utara Miftahul Arif diterima Ketua DPW PAN Jateng Abdul Rozaq Rais bersama sejumlah pengurus DPW di ruang rapat DPW PAN Jateng. Dalam pernyataan resminya, kader PAN se-pantura menuntut DPW PAN Jateng untuk menolak hasil Rakernas Yogyakarta karena dianggap tidak sesuai AD/ART dan mencabut dukungan terhadap Hatta Rajasa sebagai cawapres serta mendukung SB sebagai cawapres.
Menurut Miftahul Arif, sebagai ketua umum, SB telah berhasil membawa PAN sukses pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009. “SB telah berhasil berjuang untuk PAN pada Pileg 2009. Sekarang kader-kader yang tidak ikut berjuang berusaha cari kesempatan untuk dirinya sendiri,” kata Miftahul Arif.
Menanggapi tuntutan kader PAN se-pantura tersebut, Ketua DPW PAN Jateng Rozaq Rais akhirnya mengeluarkan penyataan mencabut dukungan terhadap Hatta Rajasa. Namun ketika dikonfirmasi wartawan, Rozaq Rais mengatakan pernyataan tersebut merupakan pernyataan pribadinya karena sikap resmi DPW akan diambil mekanisme rapat DPW.
“(Pernyataan) ini masih bersifat pribadi, hanya untuk menenangkan kader PAN se-pantura agar PAN Jateng tidak muncul friksi dan tetap kondusif,” kata Rozaq Rais.
Dalam aksinya mendatangi Kantor DPW PAN Jateng, kader PAN se-pantura membawa spanduk bertuliskan “Kader PAN, Simpatisan PAN Pantura siap mendukung Soetrisno Bachir manjadi cares/cawapres” dan sejumlah poster bertuliskan antara lain “Rakernas Yogya inkonstitusional”, “Kader Pantura gukung SB”, dan “Cabut dukungan koalisi dengan Demokrat”.

NEWS : RATING TELEVISI MASIH JADI ACUAN Meski Hanya Ambil Sampel di 10 Kota

Rating televisi sampai saat ini masih menjadi acuan bagi kalangan industri televisi dan periklanan untuk menentukan program acara bisa diteruskan dan memiliki nilai jual atau tidak. Padahal AGB Nielsen Media Research selaku lembaga rating satu-satunya di Indonesia mengakui, meski menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan, rating AGB Nielsen hanya mengambil sampel di 10 kota besar dan hanya menyajikan data secara kuantitatif tanpa mempertimbangkan kualitas program televisi.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Ilmiah “Rating dan Tanggung Jawab Sosial Media” yang diadakan Program Magister Ilmu Komunikasi Undip di Gedung Pasca Sarjana Undip Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Rabu (13/5).
Senior Marketing Service AGB Nielsen Media Research Christina Afendy selaku pembicara mengatakan, rating yang dilakukan lembaganya memang hanya berupa pengukuran kuantitatif dari pemirsa televisi. Sehingga pihaknya tidak bisa menyajikan kualitas dari isi program, kelayakan terhadap usia pemirsa, serta mengatur apa saja yang disajikan stasiun televisi dan produk apa saja yang beriklan.
Akibat dari rating tersebut, program acara di beberapa stasiun televisi menjadi seragam. Hal ini disebabkan, bila suatu program acara memiliki rating tinggi, maka stasiun televisi lain akan membuat program acara yang sejenis sehingga acara televisi pun menjadi seragam. Hal ini dikemukakan pembicara lainnya, Sekretaris Jenderal Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bekti Nugroho.
“Hal ini karena ruang publik dikuasai oleh pasar, sehingga program acara televisi menjadi seragam. Program berita pun bukan menjadi primadona bagi siaran televisi. Padahal program berita seringkali memunculkan empati dan simpati masyarakat,” kata Bekti.
Pembicara dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)Gilang Iskandar mengatakan meski masih mengacu pada rating AGB Nielsen, stasiun televisi masih mencoba mengambil second opinion dari pihak-pihak lain seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan LSM. “Bahkan seringkali stasiun televisi menanyakan terlebih dahulu kepada KPI apakah suatu program acara layak ditayangkan atau tidak,” kata Gilang.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Amirudin yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tidak melarang rating sebagai pranata riset. Justru KPI memandang rating penting sebagai sarana optimalisasi keberlangsungan hidup media sebagai institusi ekonomi untuk mewujudkan peran media sebagai institusi budaya secara maksimal.
“Media merupakan institusi budaya sekaligus institusi ekonomi. Bila secara ekonomi kuat, maka media sebagai institusi budaya juga akan kuat,” kata Amirudin.
Senada dengan Amirudin, dosen Ilmu Komunikasi Undip Djoko Setyabudi juga menyatakan pentingnya rating televisi terutama bagi stasiun televisi dan kalangan periklanan.
“Berdasarkan rating, stasiun televisi menjual program acara kepada pengiklan dan pengiklan membeli slot iklan berdasarkan rating. Bagi agensi periklanan rating digunakan sebagai dasar penyusunan media plan,” tutur Djoko.

Selasa, 12 Mei 2009

NEWS : KEMUNGKINAN SBY GANDENG BOEDIONO Tak Mau Ulang Kesalahan Dengan JK

Sikap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemungkinan akan memilih Boediono sebagai calon wakil presiden (cawapres) untuk mendampingi dirinya dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009 dinilai pengamat politik Undip Semarang Priyatno Harsasto MA sebagai langkah SBY agar tidak mengulang kesalahan ketika berduet dengan Jusuf Kalla (JK) pada Pilpres 2004.
“Bersama JK, SBY mengalami shock karena JK terlalu aktif sehingga SBY terlihat terlalu pasif. Maka dalam mencari cawapres untuk menghadapi Pilpres 2009, SBY akan memilih yang bisa seirama dan secara politis tidak membahayakan posisinya,” kata Priyatno ketika dihubungi, Selasa (12/5).
Selain itu, Priyatno menilai, SBY terlihat hati-hati untuk mengantisipasi kekecewaan partai-partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD), karena beberapa partai yang tergabung dalam koalisi masing-masing mengajukan cawapres.
“Bila SBY memilih salah satu calon dari salah satu partai, dikhawatirkan akan membuat partai yang lain kecewa. Maka SBY memilih Boediono yang non-partai,” kata Priyatno.
Ketika ditanya tentang ancaman sejumlah partai yang tergabung dalam koalisi PD, bila SBY tetap memilih Boediono akan meninggalkan koalisi dan membentuk Poros Alternatif dengan menggandeng Gerindra, Priyatno menilai hal itu hanya akan tetap menjadi ancaman semata.
“PD dan SBY cukup percaya diri karena ketokohan SBY sehingga dalam hal ini partai-partai tersebut yang membutuhkan SBY, bukan SBY yang butuh partai-partai. Kemungkinan partai-partai tersebut akan mendapat jatah posisi sebagai menteri,” tutur Priyatno.
Priyatno yang juga Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Undip memperkirakan, wacana partai-partai tersebut keluar dari koalisi dan membentuk Poros Alternatif dengan menggandeng Gerindra, tidak akan terjadi karena partai-partai tersebut, terutama PKS, tidak terlalu cocok dengan Gerindra. Selain itu, bila berpikir realistis, partai-partai tersebut akan tetap diuntungkan bila bergabung dalam koalisi PD.
Menurut Priyatno, kemungkinan partai-partai yang tergabung dalam koalisi akan bereaksi terkait pemilihan Boediono sebagai cawapres, tentunya sudah diperhitungkan SBY dan PD. Oleh karena itu, PD tidak terlalu khawatir terhadap polemik yang muncul dan merasa hubungan dengan partai-partai tersebut tetap akan baik.
Priyatno menilai, sikap SBY terkait dengan pemilihan cawapres tidak lepas dari peran dari kalangan keluarganya, terutama istri dan mertua. “Karakter SBY mirip dengan karakter Soeharto ketika berkuasa pada Orde Baru. Pengaruh keluarga sangat kuat sehingga dalam mengambil keputusan, masukan dan saran dari keluarga menjadi pertimbangan SBY,” tutur Priyatno.

NEWS : Turnomo Raharjo : Wajar SBY-JK Saling Kritik

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip Dr Turnomo Raharjo mengatakan,hal yang wajar bila Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) saling sindir karena di ranah politik setiap kompetitor berupaya mendapatkan simpati dari masyarakat.Hal itu disampaikan Turnomo di Semarang, Selasa (12/5)
Terkait dengan JK yang lebih agresif dan SBY yang lebih responsif, Turnomo mengatakan posisi SBY sebagai incumbent membuat dirinya lebih defensif menanggapi sindiran dari JK.
“Analoginya, dalam sebuah pertandingan olahraga, juara bertahan akan lebih defensif dibanding kompetitor lain yang lebih ofensif,” kata Turnomo.
Seperti diketahui, beberapa tokoh Golkar menyindir SBY karena terlalu reaktif terhadap pernyataan dari JK. Para politikus Golkar tersebut menyindir SBY hanya bisa merespon, sedangkan JK lebih punya inisiatif.
Ketika ditanya apakah sikap kedua tokoh tersebut akibat dari latar belakang budaya keduanya yang berbeda, Turnomo mengatakan hal tersebut bukan menjadi faktor utama.”Bila kita melihat keduanya (SBY-JK) dari kacamata latar belakang budaya, kita bisa terjebak pada stereotype,” tutur Turnomo.
Turnomo berpendapat, terdapat perubahan budaya dalam perpolitikan Indonesia bila dibandingkan dengan masa Orde Baru. Ketika Orde Baru, seseorang yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden lebih malu-malu dan akan maju dengan mengatakan bila rakyat menghendaki. Tetapi pasca Reformasi, politik menjadi lebih terbuka dan semua orang bisa bicara lantang menjadi calon presiden.
Oleh karena itu, menurut Turnomo, meski di Indonesia persaingan politik masih bisa dikatakan santun, tetapi saling sindir tidak bisa dihindari. Saling sindir tersebut masih bisa dikatakan santun meski dilakukan dengan bahasa yang lugas seperti yang dilakukan SBY dan JK.
“Berbeda dengan Amerika yang masyarakatnya terbiasa menyampaikan pendapat dan kritik secara terang-terangan dan langsung, di Indonesia kritik dan sindiran dilakukan dengan lebih santun tetapi tetap lugas,” tutur Turnomo.

Jumat, 01 Mei 2009

NEWS : BEDAH BUKU PERIKLANAN ADJI WATONO Iklan Harus Bisa Kembangkan Brand

Mengiklankan sebuah brand yang merupakan market leader tidak sebatas pada mempertahankan posisi pada market share, tetapi juga harus bisa mengembangkan dan meningkatkan penjualan brand tersebut.
Presiden Direktur Dwi sapta Integrated Marketing Communication (Dwi Sapta IMC) A Adji Watono mengemukakan hal itu dalam acara Roadshow Bedah Buku “Advertising That Makes Money” yang digelar Dwi sapta IMC bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Komunikasi FISIP Undip di kampus Undip Pleburan Semarang, Jumat (1/5).
Adji Watono, yang juga pernah menulis buku “Advertising That Sells” mengatakan, periklanan tidak hanya menjual, tetapi juga menghasilkan uang dan keuntungan. Agar dapat berhasil, sebuah biro iklan tidak bolah menyerah dalam membuat iklan yang diajukan oleh klien.
“Jangan pernah menyerah dan menolak permintaan klien. Di dunia periklanan tidak ada yang tidak mungkin. Yang penting ikuti insting anda dan miliki keberanian untuk bertindak dan ambil resiko. Insting tanpa nyali adalah omong kosong,” tandas Adji.
Adji kemudian menceritakan pengalamannya ketika menangani iklan sebuah produk lotion anti nyamuk yang berganti merek menjadi merek internassional. “Teman-teman biro iklan yang lain, rata-rata mengatakan saya sudah gila menerima proyek itu. Katanya itu proyek yang mustahil akan berhasil. Tetapi ternyata saya mampu menangani proyek tersebut dan berhasil membangun brand yang baru,” tutur Adji.
Adji juga menekankan pentingnya bekerja keras di bidang periklanan, tidak hanya menunggu keberuntungan datang. “Jangan tunggu keberuntungan. Bekerja keraslah dan buat keberuntunganmu sendiri,” tegas Adji.
Pembicara lain, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip Dyah Pitaloka MA mengatakan, periklanan merupakan bentuk komunikasi untuk membangun brand, sehingga perlu ada ikatan emosi antara biro iklan, klien dan produk. Selain itu periklanan juga harus mampu membangun loyalitas konsumen terhadap brand.
“Dalam bukunya, Pak Adji mengungkapkan tidak hanya loyalitas konsumen yang harus dibangun, tetapi loyalitas klien terhadap biro iklan dan loyalitas internal juga perlu dibangun. Untuk itu biro iklan perlu membangun kepercayaan klien dengan memproduksi iklan yang berkualitas,” kata Dyah Pitaloka.
Buku “Advertising That Makes Money” merupakan buku kedua Adji Watono yang berisi 12 prinsip mengelola merek menjadi market leader dan kisah sukses Adji Watono bersama Dwi Sapta IMC yang masuk dalam jajaran buku periklanan best seller. Saat ini Dwi Sapta IMC merupakan salah satu biro iklan di Indonesia yang termasuk dalam “Sepuluh Besar Biro Iklan Terbaik”.

NEWS : SOAL PENGHITUNGAN MANUAL Fitriyah : Wajar PDIP Unggul

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng Fitriyah MA menilai, wajar bila penghitungan manual sementara hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, berbeda dari hasil quick count dan hasil tabulasi elektronik sementara. Dalam penghitungan manual sementara, PDIP memperoleh suara terbanyak yaitu 19 persen disusul Partai Demokrat (PD) 14 persen
“Baru beberapa propinsi yang masuk, dan propinsi tersebut merupakan basis massa PDIP seperti Jawa Tengah dan Bali,” kata Fitriyah ketika ditemui di Semarang, Jumat (1/5).
Perbedaan hasil penghitungan manual sementara dengan hasil tabulasi elektronik, menurut Fitriyah disebabkan dalam tabulasi elektronik data dari semua propinsi masuk hampir secara bersamaan sehingga hasil tersebut merupakan gambaran dari seluruh Indonesia.
“Hanya tiga propinsi saja yang gagal masuk dalam tabulasi elektronik, sementara propinsi lain seluruh Indonesia berhasil masuk, sehingga hasil tabulasi elektronik lebih merata dan tidak berbeda jauh dengan hasil quick count,” kata Fitriyah.
Fitriyah, yang juga dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Undip menuturkan, penghitungan manual tidak terlalu mulus karena di beberapa propinsi juga belum selesai. Tetapi Fitriyah menegaskan, hasil penghitungan manual merupakan hasil yang sah, sehingga masyarakat dan politikus jangan terlalu mengacu pada hasil quick count.
“Memang biasanya hasil quick count tidak terlalu banyak selisihnya dengan hasil penghitungan manual. Tetapi tidak menutup kemungkinan hasil penghitungan manual berbeda dengan quick count. Bahkan di Amerika hal tersebut pernah terjadi,” kata Fitriyah.
Tentang tidak mulusnya penghitungan manual, Fitriyah mengatakan, menunjukkan KPU kurang antisipatif terhadap permasalahan yang muncul, sehingga KPU berpotensi digugat karena melanggar UU Pemilu.
“Dalam UU Pemilu, penghitungan suara di tingkat kabupaten/kota harus sudah selesai H+12, dan H+15 di tingkat propinsi. Sedangkan di tingkat pusat penghitungan suara harus sudah selesai H+30. Di tingkat kabupaten dan propinsi saja sudah melewati batas waktu, dan indikasinya di tingkat pusat juga akan molor,” kata Fitriyah.
Tentang hasil Pileg 2009 sendiri, Fitriyah mengatakan pengajuan gugatan dapat dilakukan paling lambat tiga hari setelah hasil penghitungan manual diumumkan, kepada Mahkamah Agung (MA). Tetapi Fitriyah menegaskan, gugatan dapat dilakukan dengan mengacu pada proses penghitungan suara yang melibatkan petugas dan saksi di tiap tingkatan, seperti PPS, PPK hingga KPU.
“Hasil quick count bukanlah hasil penghitungan yang sah karena dilakukan berdasarkan hasil polling di setiap TPS sehingga hanya memberikan gambaran tentang hasil akhir. Tapi tidak menutup kemungkinan hasil quick count salah, sehingga hasil quick count tidak bisa digunakan sebagai dasar pengajuan gugatan,” kata Fitriyah menutup wawancara.

Jumat, 24 April 2009

NEWS : LANGKAH GOLKAR JELANG PILPRES Amiruddin : Golkar Kehilangan Orientasi

Kepala Badan Riset dan Data Masyarakat-PWI Pemantau Pemilu (Mapilu-PWI) Pusat Amiruddin MSi menilai, Partai Golkar sebagai partai besar mulai kehilangan orientasi untuk mengatur strategi menghadapi Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Perkembangan politik dan konflik internal Golkar menunjukkan ketidakmatangan dalam menyusun strategi pasca Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 guna menghadapi Pilpres 2009.
Amiruddin menyampaikan hal tersebut di Semarang, Sabtu (25/4) terkait langkah DPP Golkar memutuskan koalisi dengan Partai Demokrat (PD) dan mengusung Jusuf Kalla (JK) sebagai calon presiden (capres) serta memberikan wewenang penuh kepada JK untuk menjalin komunikasi politik dengan partai lain.
Menurut Amiruddin, otoritas JK mulai menurun, ditandai polemik yang muncul dari sejumlah DPD II Golkar untuk tetap koalisi dengan PD dan mengajukan cawapres selain JK. “Polemik tersebut muncul akibat adanya disorientasi dan inkonsistensi yang ditunjukkan JK, terutama sikapnya menjelang dan pasca Pileg 2009,” kata Amiruddin.
Disorientasi dan inkonsistensi tersebut, tambah Amiruddin, ditunjukkan dengan perbedaan sikap JK sebelum dan pasca pileg. Sebelum pileg, kampanye JK menyatakan siap menjadi capres, padahal JK masih bagian dari pemerintahan. Setelah kalah dalam pileg, JK menyatakan keinginannya untuk kembali berduet dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun ketika ada isyarat SBY bersedia koalisi dengan Golkar, dengan syarat cawapres bukan JK, dia kembali berniat menjadi capres.
Menurut Amiruddin, strategi yang tepat bagi Golkar saat ini adalah konsisten mengusung capres sendiri. Meski peluang untuk menang kecil, hal tersebut akan melahirkan tiga kubu yang bersaing dalam pilpres, dan akan memunculkan dinamika politik yang menarik.
Terkait dengan wacana koalisi Golkar-PDIP, Amiruddin yang juga dosen FISIP Undip Semarang menilai, kecil kemungkinan kedua partai berkoalisi. “Meski sama-sama partai nasionalis, tetapi koalisi tidak akan terjadi bila kedua partai tetap ngotot menginginkan posisi capres. Posisi capres dan cawapres bisa jadi ditentukan perolehan suara kedua partai pada Pileg 2009 lalu,” tutur Amiruddin.
Tetapi, Amiruddin menambahkan, bisa jadi Golkar-PDIP bergabung pada pilpres putaran II. Pasangan yang kalah di putaran I kemungkinan akan mendukung pasangan yang lolos putaran II, sehingga perolehan suaranya meningkat.
Ketika ditanya siapa yang lebih berpeluang maju ke putaran II, JK atau Megawati, Amiruddin menilai Megawati lebih berpeluang karena adanya dukungan dari partai-partai lain. “Megawati akan lebih berpeluang maju ke putaran II, karena pemimpin-pemimpin partai dengan latar belakang militer yang konservatif (Gerindra dan Hanura) kemungkinan akan mendukung Megawati,” kata Amiruddin.
Apabila Golkar kalah pada Pilpres 2009 mendatang, Amiruddin memprediksi DPD I dan II tentu akan meminta pertanggungjawaban kepada DPP. Hal tersebut kemungkinan akan diikuti penggantian posisi ketua umum dan restrukturisasi internal Golkar, serta perubahan sikap Golkar dalam pemerintahan yang lebih oposan.
“Figur-figur berpengaruh yang tersingkir dari restrukturisasi tersebut tidak menutup kemungkinan akan mendirikan partai sempalan dari Golkar, seperti halnya Prabowo Subianto dan Wiranto yang mendirikan partai pasca Pemilu 2004,” tutup Amiruddin.