Jumat, 24 April 2009

NEWS : LANGKAH GOLKAR JELANG PILPRES Amiruddin : Golkar Kehilangan Orientasi

Kepala Badan Riset dan Data Masyarakat-PWI Pemantau Pemilu (Mapilu-PWI) Pusat Amiruddin MSi menilai, Partai Golkar sebagai partai besar mulai kehilangan orientasi untuk mengatur strategi menghadapi Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Perkembangan politik dan konflik internal Golkar menunjukkan ketidakmatangan dalam menyusun strategi pasca Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 guna menghadapi Pilpres 2009.
Amiruddin menyampaikan hal tersebut di Semarang, Sabtu (25/4) terkait langkah DPP Golkar memutuskan koalisi dengan Partai Demokrat (PD) dan mengusung Jusuf Kalla (JK) sebagai calon presiden (capres) serta memberikan wewenang penuh kepada JK untuk menjalin komunikasi politik dengan partai lain.
Menurut Amiruddin, otoritas JK mulai menurun, ditandai polemik yang muncul dari sejumlah DPD II Golkar untuk tetap koalisi dengan PD dan mengajukan cawapres selain JK. “Polemik tersebut muncul akibat adanya disorientasi dan inkonsistensi yang ditunjukkan JK, terutama sikapnya menjelang dan pasca Pileg 2009,” kata Amiruddin.
Disorientasi dan inkonsistensi tersebut, tambah Amiruddin, ditunjukkan dengan perbedaan sikap JK sebelum dan pasca pileg. Sebelum pileg, kampanye JK menyatakan siap menjadi capres, padahal JK masih bagian dari pemerintahan. Setelah kalah dalam pileg, JK menyatakan keinginannya untuk kembali berduet dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun ketika ada isyarat SBY bersedia koalisi dengan Golkar, dengan syarat cawapres bukan JK, dia kembali berniat menjadi capres.
Menurut Amiruddin, strategi yang tepat bagi Golkar saat ini adalah konsisten mengusung capres sendiri. Meski peluang untuk menang kecil, hal tersebut akan melahirkan tiga kubu yang bersaing dalam pilpres, dan akan memunculkan dinamika politik yang menarik.
Terkait dengan wacana koalisi Golkar-PDIP, Amiruddin yang juga dosen FISIP Undip Semarang menilai, kecil kemungkinan kedua partai berkoalisi. “Meski sama-sama partai nasionalis, tetapi koalisi tidak akan terjadi bila kedua partai tetap ngotot menginginkan posisi capres. Posisi capres dan cawapres bisa jadi ditentukan perolehan suara kedua partai pada Pileg 2009 lalu,” tutur Amiruddin.
Tetapi, Amiruddin menambahkan, bisa jadi Golkar-PDIP bergabung pada pilpres putaran II. Pasangan yang kalah di putaran I kemungkinan akan mendukung pasangan yang lolos putaran II, sehingga perolehan suaranya meningkat.
Ketika ditanya siapa yang lebih berpeluang maju ke putaran II, JK atau Megawati, Amiruddin menilai Megawati lebih berpeluang karena adanya dukungan dari partai-partai lain. “Megawati akan lebih berpeluang maju ke putaran II, karena pemimpin-pemimpin partai dengan latar belakang militer yang konservatif (Gerindra dan Hanura) kemungkinan akan mendukung Megawati,” kata Amiruddin.
Apabila Golkar kalah pada Pilpres 2009 mendatang, Amiruddin memprediksi DPD I dan II tentu akan meminta pertanggungjawaban kepada DPP. Hal tersebut kemungkinan akan diikuti penggantian posisi ketua umum dan restrukturisasi internal Golkar, serta perubahan sikap Golkar dalam pemerintahan yang lebih oposan.
“Figur-figur berpengaruh yang tersingkir dari restrukturisasi tersebut tidak menutup kemungkinan akan mendirikan partai sempalan dari Golkar, seperti halnya Prabowo Subianto dan Wiranto yang mendirikan partai pasca Pemilu 2004,” tutup Amiruddin.

Rabu, 22 April 2009

NEWS : M Yuliyanto : Sikap Gubernur Perlu Diapresiasi Positif

Pengamat politik Undip Muhammad Yuliyanto menyatakan sikap Gubernur Jateng Bibit Waluyo yang tidak mau berkampanye untuk PDIP pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 mendatang perlu diapresiasi positif. Yuliyanto menyampaikan hal tersebut ketika dihubungi di Semarang, Rabu (22/4).
Menurut Yuliyanto, ketika kader partai terpilih untuk menduduki jabatan publik, sudah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan partai. “Gubernur merupakan jabatan publik yang sikap, perilaku dan kebijakannya harus mengutamakan rakyat,” kata Yuliyanto.
Sikap Bibit Waluyo yang tidak mau kampanye, menurut Yuliyanto, menunjukkan sikap seorang negarawan yang menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan partai. “Sebagai seorang negarawan, sikap Bibit merupakan teladan yang baik, karena setelah terpilih menjadi gubernur, Bibit menjadi figur publik yang harus memikirkan rakyat,” tandas Yuliyanto.
Yuliyanto yang juga peneliti senior dan konsultan di Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah (LPPD) Jateng mengatakan, sikap tersebut tidak lepas dari upaya Bibit menerapkan politik negara, sebagaimana didoktrinkan kepadanya ketika masih aktif di militer. “Doktrin militer menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas segalanya. Oleh karena itu, sebagai gubernur Bibit berupaya menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan partai,” kata Yuliyanto.
Di sisi lain, Yuliyanto tidak menyalahkan bila PDIP dan kadernya kecewa dengan sikap Bibit. Bagi PDIP, sikap Bibit tersebut merupakan pengingkaran terhadap komitmen yang dibangun antara PDIP dan Bibit ketika Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008 lalu. Tetapi Yuliyanto mengatakan, hal tersebut merupakan resiko politik yang harus ditanggung karena Bibit bukanlah kader asli PDIP.
Menurut Yuliyanto, PDIP sering melakukan kesalahan politik dengan mengusung calon kepala daerah yang bukan berasal dari kader asli PDIP. Hal serupa terjadi di DKI ketika PDIP mengusung mantan Gubernur Sutiyoso yang juga purnawirawan TNI. Ketika Pemilu 2004, Sutiyoso tidak mau berkampanye untuk PDIP dan Megawati, dan hasilnya PDIP dan Megawati kalah di DKI.

Kamis, 16 April 2009

NEWS : PILEG 2009 SAH SECARA KONSTITUSIONAL Teguh Yuwono : Gugatan Tak Ubah Hasil

Pengamat politik Undip Semarang Teguh Yuwono MPol Admin menilai pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 sah dan konstitusional, sehingga meski ada gugatan tidak akan merubah hasil pemilu.
Teguh Yuwono mengatakan hal itu di Semarang Kamis (16/4), terkait dengan rencana sejumlah Parpol untuk menggugat hasil pemilu karena dinilai inkonstitusional, Gugatan terhadap pemilu menurut Yuwono hanya akan menghasilkan evaluasi tentang pelaksanaan pemilu, agar pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 dan pemilu selanjutnya bisa lebih baik.
Menurut Teguh, gugatan terhadap hasil pemilu sebagai akibat ketidakpuasan sejumlah pihak terhadap proses pelaksanaan Pemilu. Pileg 2009 dianggap memiliki banyak kekurangan, bahkan dianggap sebagai kecurangan, seperti permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), tertukarnya kartu suara, dugaan penggelembungan suara, dan lain-lain.
“Padahal bila kita mau obyektif, Pileg 2009 juga memiliki nilai positif, misalnya menurunnya angka golput dibanding dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah daerah yang angka Golputnya mencapai 60 persen,” tutur Teguh.
Mengenai permasalahan DPT, Teguh mengatakan tidak bisa hanya menyalahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, atau pemerintah saja. Menurut Teguh, permasalahan DPT juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan partai politik. Penetapan DPT dilakukan melalui berbagai tahap, seperti tahapan Daftar Pemilih Sementara (DPS).
“Seharusnya bila namanya tidak terdaftar, masyarakat harus proaktif mendaftar ke PPS atau PPK. Begitu juga dengan partai, bila tahu calon pemilihnya belum terdaftar dalam DPS, segera melapor dan didaftarkan. Jangan hanya menyalahkan pihak lain setelah Pemilu selesai,” tandas Teguh.
Kondisi tersebut menurut Teguh Yuwono, sebagai akibat kultur politik masyarakat di Indonesia yang manja dan minta dilayani. Kewajiban politik masyarakat masih kurang, mereka beranggapan bahwa pemerintah atau KPU membutuhkan mereka untuk berpartisipasi pada pemilu, sehingga mereka kurang aktif memantau proses pendataan DPT.
Terpisah, pengamat politik Undip Fitriyah MA, yang juga mantan Ketua KPUD Jateng, berpendapat KPU kurang antisipatif terhadap segala permasalahan yang terjadi dalam proses Pileg 2009. Permasalahan klasik selalu muncul dalam setiap pemyelenggaraan Pemilu, seharusnya hal tersebut dijadikan sebagai pengalaman bagi KPU untuk melakukan perbaikan pada Pemilu berikutnya.
Menurut Fitriyah, permasalahan DPT juga terjadi pada Pemilu 2009, yaitu sebanyak sembilan persen warga tidak terdaftar. Fitriyah menyayangkan bila pada Pileg 2009 lalu, yang tidak terdaftar mencapai 30 persen. “Kalau memang permasalahan yang sama terulang, seharusnya tidak lebih besar,” tandas Fitriyah.

Minggu, 12 April 2009

NEWS : PREDIKSI PEMILU DI JATENG PDIP Menang Pileg, SBY Menang Pilpres

Meski PDIP diprediksi akan memperoleh kemenangan di Jawa Tengah, pengamat politik Undip Semarang M Yuliyanto MSi memprediksi dalam Pemilu Presiden (Pilpres) mendatang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan meraih suara terbanyak.
“PDIP memiliki massa yang loyal di Jateng, tetapi dalam pilpres figur Megawati masih kalah dengan SBY. Meski pada Pemilu Legislatif (Pileg) pilih PDIP, Pilpres mendatang belum tentu pilih Mega,” kata Yuliyanto di Semarang, Minggu (12/4)
Yuliyanto menilai, meningkatnya perolehan suara Partai Demokrat (PD) di level nasional maupun di Jateng tidak lepas dari ketokohan dan keberhasilan pemerintahan SBY. “SBY merupakan daya tarik PD. Meningkatnya perolehan suara PD di Jateng menunjukkan masyarakat Jateng masih menginginkan SBY menjadi presiden,” kata Yuliyanto.
Merosotnya suara PDIP, menurut Yuliyanto, sebagai akibat perilaku Megawati yang kurang simpatik menjelang Pileg. Sikap mendukung Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang ditunjukkan dengan mengawasi penyalurannya, sementara sebelumnya mengecam program BLT, dinilai Yuliyanto sebagai blunder PDIP.
“Meski PDIP memiliki mesin politik dan massa yang loyal, perilaku dan pernyataan Megawati menunjukkan ketidak konsistenan sebagai pemimpin partai. Selain itu dalam kampanyenya Megawati dan PDIP kurang menyentuh isu-isu konkret dan strategis, berbeda dengan Prabowo dan Gerindra,” tutur Yuliyanto.
Kondisi tersebut dinilai Yuliyanto akan mengakibatkan perubahan dinamika politik di Jateng. ”Akan ada dua kekuatan besar yang berkuasa di Jateng, yaitu PDIP dan PD. Konflik kedua partai di level nasional tidak akan berpengaruh hingga level regional, karena Gubernur Jateng berasal dari PDIP, sehingga PDIP dan PD harus bisa sejalan untuk membangun Jateng,” tandas Yuliyanto.
Merosotnya suara sejumlah partai besar di Jateng, seperti PDIP dan Golkar, menurut Yuliyanto akibat larinya sejumlah pemilih ke partai lain terutama partai-partai baru. Sejumlah pemilih PDIP beralih ke PD, sedangkan sejumlah pemilih Golkar lari ke Gerindra atau Hanura. “Suara partai Islam seperti PKB dan PPP juga mengalami kemerosotan karena lari ke PKS,” kata Yuliyanto.
Sementara itu, peneliti Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang Joko J Prihatmoko MSi menilai kondisi masyarakat di Jateng sedikit unuk dan berbeda dibanding daerah lain. ”Kekuatan politik partai tidak bisa dilihat berdasarkan kantong-kantong politik. Sebagai contoh, PD menang di kantong politik partai lain. Di Rembang saya menemukan, PD menang sementara di daerah tersebut terdapat kiai dari PPP yang sangat berpengaruh,” kata Joko.
Berdasarkan hasil perolehan sementara dan hasil quick count, Joko menilai terdapat tren penurunan suara yang dialami sejumlah partai. “Pada Pemilu 2004, PDIP, PKB dan PPP mengalami penurunan suara, sedangkan yang mengalami peningkatan Golkar, PAN dan PKS. PD meraih suara yang cukup mengejutkan sebagai partai baru sebesar 6,46 persen. Berdasarkan hasil quick count dari LSI, pada 2009 ini hanya PD dan PKS yang memperoleh peningkatan suara,” kata Joko.
Meski tren suara PDIP terus menurun, Joko memprediksi PDIP di Jateng justru akan semakin solid. “ Jateng merupakan basis massa PDIP yang cukup loyal. Belajar dari pengalaman, PDIP Jateng akan semakin solid untuk memelihara massa PDIP yang masih loyal,” tutup Joko.

Sabtu, 11 April 2009

NEWS : Suasana TPS Pada Pemilu

Pada Kamis (9/4) saya berkesempatan meliput di TPS 2 Kelurahan Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang tempat Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif 2009. Di bawah ini foto-foto yang saya ambil di TPS termasuk foto-foto Gubernur Bibit Waluyo mulai dari kedatangan hingga kepulangan beliau. Selamat menikmati...

Foto 1

Pemilih melihat lihat daftar calon tetap (DCT) sebelum mencontreng untuk memastikan pilihannya.

Foto 2

Pemilih menerima surat suara dari KPPS sebelum menuju bilik suara.

Foto 3

Suasana sekitar bilik suara saat pencontrengan.

Foto 4

Meski harus menggunakan alat bantu dan dituntun, seorang pemilih tetap antusias menggunakan hak pilihnya.

Foto 5

Gubernur baru datang ke TPS sekitar pukul 10.30 setelah sebelumnya memantau TPS-TPS lain di Semarang.

Foto 6

Gubernur didampingi istri duduk menunggu urutan pendaftaran bersebelahan dengan mahasiswa FISIP Undip yang memantau jalannya pemungutan suara.

Foto 7

Gubernur bersama istri menunggu giliran mencontreng.

Foto 8

Gubernur di biliki suara.

Foto 9

Gubernur serius menggunakan hak pilihnya.

Foto 10

Gubernur memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.

Foto 11

Gubernur bersama istri memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.

Foto 12

Gubernur bersama istri menunjukkan jari tanda sudah melakukan pencontrengan.

Foto 13

Gubernur bersama istri bercengkrama dengan Sekda Jateng Hadi Wibowo dan Ketua KPU Jateng Ida Budhiati.

OPINION ; Kemenangan Demokrat, Indikasi Rakyat Percaya SBY

Penghitungan suara Pemilu Legislatif 2009 belum usai, tapi rupanya pemenangnya sudah bisa ditebak. Berdasarkan hasil quick count berbagai lembaga, begitu pula dengan penghitungan suara sementara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menempatkan Partai Demokrat sebagai pemenang. Biasanya hasil quick count dan hasil sementara sedikit banyak sudah menggambarkan hasil dari pemilu.
Apakah arti kemenangan Partai Demokrat? Menurut saya kemenangan Partai Demokrat adalah indikasi bahwa rakyat percaya dan mengakui keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mengapa? Pemerintahan SBY berjalan lima tahun dan tidak sedikit partai-partai oposisi mencerca dan menyerang pemrintahan SBY. Pemerintahan SBY tentu tidak sempurna, karena memang tidak ada yang sempurna, dan oposisi sering menyerang kekurangan dan kelemahan SBY, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakannya.
Tetapi ternyata, pada Pemilu Legislatif 2009 ini, partai milik SBY itu bisa memenangi pemilu. Satu hal yang mengejutkan, meski sebuah lembaga survey sudah memprediksinya. Hal ini menunjukkan, meskipun partai oposisi berkampanye dengan wacana menyerang dan mengkritik pemerintahan SBY, tetapi partai pendukung SBY justru menang.
Seperti kita ketahui, pada kampanye lalu, SBY dan Partai Demokrat berkampanye tentang keberhasilan pemerintahannya. BLT, swasembada beras, pemberantasan korupsi, dan penurunan harga BBM selalu menjadi tema kampanyenya. Sementara itu, oposisi dan pesaingnya seperti PDIP dan Gerindra selalu mengusung tema kegagalan dan kesalahan SBY, serta mengkritik keberhasilan SBY.
Keberhasilan Partai Demokrat menunjukkan, rakyat lebih percaya pada kampanye Partai Demokrat daripada kampanye PDIP, Gerindra atau Golkar. Hal ini juga menunjukkan, rakyat percaya dan mengakui keberhasilan pemerintahan SBY dan mayoritas rakyat masih menghendaki SBY kembali memimpin untuk kedua kalinya. Permasalahannya, setelah hasil Pemilu Legislatif diumumkan nanti, bagaimanakah koalisi yang terbentuk antar partai.
Saya mencoba membuat analisis, berdasarkan hasil penghitungan suara sementara, Partai Demokrat menduduki peringkat pertama dengan suara berkisar 20 persen, disusul PDIP (14 persen), Golkar (14 persen), PKS (8 persen), PAN (7 persen), PKB (6 persen), PPP (5 persen), Gerindra (4 persen) , Hanura (3 persen), dan PKPB (1 persen). Sudah jelas Partai Demokrat akan menjadi mayoritas di parlemen. Untuk lebih mengukuhkan kekuatan di parlemen, tentu Partai Demokrat perlu menjalin koalisi dengan partai-partai lain, setidaknya yang termasuk dalam lima besar, yaitu PDIP, Golkar, PKS atau PAN.
Koalisi antara Partai Demokrat dan PDIP, bila melihat sejarah konflik kedua partai itu, rasanya tidak mungkin terjadi. Terlebih Partai Demokrat sebagai pemenang tetap akan mengusung SBY sebagai calon presiden (capres) dalam Pemilu Presiden mendatang. PDIP sebagai urutan kedua tetap akan mengusung Megawati sebagai capres dengan menggandeng partai lain agar memenuhi suara 20 persen sebagai syarat mengajukan capres.
Koalisi antara Partai Demokrat dengan Golkar. Bisa terjadi bisa juga tidak. Bila melihat perkembangan terakhir menjelang Pemilu Legislatif, kedua partai tidak begitu baik hubungannya. Saya merasa kondisi itu dipicu oleh sikap Golkar. Sebagai partai pemenang Pemilu 2004, Golkar merasa akan meraih suara terbanyak lagi pada Pemilu 2009. Oleh karena itu, di internal Golkar terbentuk wacana Golkar akan mengusung capres sendiri dan tidak menginginkan lagi posisi wapres. Tetapi melihat perkembangan saat ini, Golkar hanya menempati posisi ketiga dengan 14 persen suara, Golkar tidak mungkin mengusung capres sendiri tanpa koalisi dengan partai lain. Bila Golkar tetap bersikukuh menghendaki posisi presiden dan tidak mau posisi wakil presiden (wapres), koalisi Partai Demokrat dan Golkar tidak akan tercapai.
Koalisi antara Partai Demokrat dan PKS justru sangat mungkin terjadi. Perkembangan terakhir menjelang Pemilu Legislatif, kedua partai cukup mesra. Sebagai partai posisi keempat dengan 8 persen suara, sedikit mustahil PKS bisa mengusung capres. Tetapi dalam kampamyenya, PKS tidak terlalu berambisi terhadap posisi presiden. Ambisi PKS hanya menempatkan kader terbaiknya, yaitu Hidayat Nurwahid, sebagai pemimpin nasional, entah presiden atau wapres. DPW PKS Jateng sendiri menyatakan, bila koalisi DPW PKS Jateng menghendaki Hidayat Nurwahid mendampingi SBY sebagai wapres.
Koalisi Partai Demokrat dengan PAN juga memungkinkan terjadi. Dalam perkembangan terakhir sebelum Pemilu Legislatif, PAN tidak terlalu berambisi menduduki posisi presiden. Tetapi dalam kampanyenya nampaknya menghendaki kadernya berada di jajaran eksekutif. Jadi melihat perolehan suara sementara, mungkin PAN akan lebih memilih Partai Demokrat sebagai rekan koalisi.
Melihat pemetaan tersebut, bisa jadi akan tercipta koalisi antara Partai Demokrat dengan PKS, dan mungkin ditambah PAN. Bisa jadi Golkar juga akan bergabung dengan koalisi ini. Bila keempat partai ini berkoalisi akan membentuk kekuatan yang cukup besar di parlemen. Tetapi permasalahannya, bila empat partai berkoalisi, siapakah yang akan mendampingi SBY sebagai wapres? Golkar nampaknya akan mengusung Jusuf Kalla dan PKS mengusung Hidayat Nurwahid. Tentu perlu kompromi keempat partai untuk menentukan posisi pemimpin nasional.
Sebagai pesaing, PDIP akan menggandeng partai lain untuk menguatkan posisi Megawati sebagai capres maupun membangun kekuatan di parlemen. Perlu diwaspadai, bisa saja PDIP berkoalisi dengan Golkar untuk bersaing dengan SBY. Permasalahannya, siapa yang akan menjadi capres dan cawapres perlu kompromi lebih jauh antara kedua partai.
Yang jelas, hasil Pemilu Legislatif 2009 ini akan menciptakan dua kubu koalisi. Yang pertama kubu Partai Demokrat dan kubu PDIP. Golkar rasanya tidak mungkin membangun koalisi sendiri di luar kedua partai tersebut. Perlu menjadi pertimbangan bagi Golkar akan bergabung dengan pihak yang mana. Tetapi melihat perkembangan terakhir menjelang Pemilu Legislatif bisa jadi Golkar akan bergabung dengan kubu PDIP. Tetapi bisa juga melihat perolehan suara Golkar yang merosot dan suara Partai Demokrat yang meningkat bahkan menjadi pemenang, koalisi antara Partai Demokrat dan Golkar dibangun kembali.
Harapan saya, apa pun atau bagaimana pun koalisi yang dibangun, para pemimpin baik eksekutif maupun legislatif, berjuang untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan golongannya atau pribadi saja.

Kamis, 09 April 2009

NEWS : GUBERNUR GUNAKAN HAK PILIH DI GAJAHMUNGKUR Gubernur : DPRD Terpilih Punya Tugas Berat



Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo berharap, masyarakat Jawa Tengah dapat menggunakan hak pilihnya secara maksimal pada Pemilu Legislatif 2009. “Dengan menggunakan hak pilih, mudah-mudahan terpilih wakil rakyat terbaik untuk membangun masyarakat, khususnya masyarakat Jateng,” demikian kata Gubernur setelah menggunakan hak pilihnya di TPS 2 Kelurahan Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur Semarang, Kamis (9/4).
Gubernur bersama istri dan rombongan datang ke TPS sekitar pukul 10.30 setelah sebelumnya melakukan pemantauan ke sejumlah TPS di Semarang dengan didampingi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng Ida Budhiati. Gubernur menyatakan dari pantauannya, sampai dengan pukul 10.00, tingkat partisipasi masyarakat masih kurang.
“Di salah satu TPS yang jumlah pemilihnyanya 250 orang, yang memilih baru 70 orang. Di TPS lain ada yang pemilihnya 300, yang sudah memilih 200. Jadi tingkat kepedulian masyarakat ada yang tinggi, ada juga yang rendah. Meski tidak sampai 100 persen, saya berharap tingkat partisipasi di Jateng bisa 80 persen,” harap Gubernur.
Gubernur menandaskan, anggota DPRD Jateng terpilih harus bekerja keras untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Jateng. “Tugas anggota DPRD berat karena angka kemiskinan di Jateng masih di atas angka kemiskinan nasional, yaitu 15,5 persen. Saya berharap DPRD terpilih dapat bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Jateng yang saya pimpin,” harap Gubernur.
Sementara itu, Gubernur menyatakan Pemilu kali ini adalah pengalaman pertamanya berpartisipasi pada pesta demokrasi, karena sebelumnya sebagai anggota TNI dirinya tidak memiliki hak pilih. ”Rasanya seperti malam pertama,” kata Gubernur setengah berkelakar ketika ditanya wartawan bagaimana rasanya pengalaman pertama berpartisipasi Pemilu.
Ketua KPU Jateng Ida Budhiati menyatakan, Gubernur memilih di TPS 2 Gajahmungkur setelah sebelumnya mendaftarkan diri untuk memperoleh surat model A5, karena Gubernur sebenarnya terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Magelang.
Menurut Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Gajahmungkur Totok Iswidaryanto, Gubernur baru datang ke TPS jam 10.30 karena baru mendapatkan surat model A5 H-3 sebelum pemilihan. ”Gubernur ingin mentaati aturan, makanya baru datang siang. Sesuai aturan memang, pemilihan tambahan yang mendaftar H-3 baru bisa memilih siang hari, sementara bila mendaftar H-21 bisa memilih pagi hari,” kata Totok.
Jumlah pemilih di TPS 2 Gajahmungkur berjumlah 318 orang, terdiri dari 165 laki-laki dan 153 perempuan. Terjadi pencoretan dalam DPT dikarenakan ditemukan pemilih ganda, yaitu dua orang di TPS yang sama dan tiga orang di TPS lain. Selain itu terdapat juga dua orang yang dicoret karena meninggal dunia. Gubernur Bibit Waluyo tidak terdaftar di DPT tetapi justru mantan Gubernur Mardiyanto masih terdaftar.

Selasa, 07 April 2009

NEWS : FISIP UNDIP REKRUT EMPAT MAHASISWA Kelola Website Sebagai Jurnalis Online

Sebagai upaya untuk mengembangkan website, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang merekrut empat mahasiswanya sebagai reporter untuk mengisi tulisan di website-nya. Demikian Pembantu Dekan IV FISIP Undip Dr Kushandayani ketika dihubungi, Selasa (7/4).
“Pengelola website FISIP selama ini berasal dari dosen dan karyawan yang waktunya terbatas, sehingga pengelolaan website tidak optimal. Dengan adanya jurnalis online dari mahasiswa, setidaknya pengelola website akan lebih kreatif dan enerjik,” kata Kushandayani.
Kushandayani mengakui pentingnya pengelolaan website yang baik karena website merupakan wajah suatu institusi. “Di era sekarang, pencarian informasi sebuah institusi pasti melalui website-nya. Oleh karena itu, website sangat penting sebagai media promosi institusi,” katanya.
Kushandayani menambahkan, pengelola website nantinya juga akan dikembangkan sebagai pusat data, dokumentasi dan kehumasan fakultas. “Pengelola website seharusnya tahu segala sesuatu tentang FISIP Undip, termasuk data dan dokumentasi-dokumentasi kegiatan di FISIP Undip. Jadi nantinya juga akan dikembangkan kehumasan dan pusat informasi fakultas,” tutur Kushandayani.
Ketua Tim Pengelola Website FISIP Undip Nurul Hasfi Lestari menambahkan, dengan merekrut mahasiswa, website FISIP Undip akan diarahkan sebagai wadah mahasiswa untuk menyalurkan minat di bidang jurnalisme online. “Website akan dikembangkan sebagai media citizen journalim. Nantinya tidak hanya pengelola yang mengisi, tapi mahasiswa, dosen dan karyawan juga bisa mengisi website, dengan diseleksi dan koordinasi oleh mahasiswa pengelola,” katanya.

Minggu, 05 April 2009

NEWS : SBY : PEMBERANTASAN KORUPSI BERHASIL Panwaslu Temukan Mobdin di Kampanye PD

Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam orasi politiknya pada kampanye terbuka di Lapangan Simpang Lima Semarang, Minggu (5/4) mengatakan pemberantasan korupsi di Indonesia berhasil. Selama pemerintahannya sebagai presiden, pemberantasan korupsi meningkat dengan pesat. “Kita ingin negara ini bersih dari korupsi,” tegasnya.
SBY menegaskan Partai Demokrat tidak akan berkompromi dengan korupsi. Partainya tidak akan segan-segan untuk memecat kadernya yang terbukti korupsi. “Kader Demokrat yang terbukti korupsi harus dipecat. Kita ingin partai ini menjadi partai yang bersih,” katanya.
SBY yang hadir hanya 30 menit juga menyinggung iklan-iklan politik para pesaingnya yang mengangkat tema kemiskinan. Menurutnya, kemiskinan merupakan salah satu permasalahan negara yang harus dipikirkan solusinya. “Kemiskinan jangan hanya diiklankan, tetapi harus dicarikan solusinya. Masalah tidak akan selesai dengan hanya berwacana,” katanya.
Kampanye Partai Demokrat di Simpang Lima Semarang yang diramaikan artis-artis ibukota seperti The Changcuters, Andra and The Backbone, Dewi Yull dan Cici Paramida, dipadati oleh ribuan massa yang berdatangan dari berbagai daerah. Menurut pantauan KR, selain dari Semarang, ribuan massa Demokrat berdatangan dari Demak, Jepara, Pati, Kudus, Salatiga dan Kendal.
Ribuan massa datang dengan bus maupun kendaraan pribadi, tak urung memadati jalan-jalan di sekitar Simpang Lima, seperti Jalan A Yani, Pandanaran, Pahlawan, Gajahmada dan Ahmad Dahlan. Bahkan sebagian bus diparkir sepanjang Jalan Ki Mangunsarkoro depan Stadion Diponegoro, Menteri Supeno dan Veteran.

Panwaslu Temukan Mobil Dinas
Sementara itu, anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Tengah yang berkeliling di seputar Simpang Lima menemukan dua buah mobil dinas yang diduga digunakan untuk kampanye Partai Demokrat. “Kami menemukan mobil dinas milik Pemerintah Kota Semarang yang biasa digunakan untuk mobilitas anggota komisi di DPRD Kota Semarang,” kata anggota Panwaslu Jateng Rahmulyo Adiwibowo kepada wartawan.
Mobil dinas yang ditemukan KIA Pregio yang dipasangi nomor polisi plat hitam H 8806 PM, dan Toyota Kijang Krista yang dipasangi nomor polisi plat hitam H 9501 FS. Didalam mobil Toyota Kijang Krista ditemukan plat merah dengan nomor polisi H 9509 EH. Kedua mobil tersebut diduga digunakan salah satu anggota DPRD Kota Semarang Novriadi, yang juga calon legislatif (caleg) Partai Demokrat, untuk kampanye.
Kedua mobil beserta sopirnya kemudian dibawa ke Panwaslu untuk dimintai klarifikasi. Menurut sopir kedua mobil, Martono dan Andika, kedua mobil itu pinjaman dari Novriadi. "Kedua mobil itu sekarang dibawa ke Panwaslu Jawa Tengah untuk diperiksa dan kami segera memanggil pemiliknya," kata Rahmulyo Adiwibowo.
Menurut anggota Panwaslu Edi Pranoto SH MHum mobil dinas itu hanya dititipkan di Panwaslu untuk kemudian dibawa oleh Sekretariat Dewan (Sekwan). ”Kami telah meminta klarifikasi dari Sekwan. Menurut Sekwan, mobil KIA Pragio merupakan kewenangan Sekwan dengan status dipinjam oleh Novriadi. Sedangkan mobil Toyota Kijang Krista merupakan kewenangan komisi. Tidak tahu bagaimana mekanisme di komisi kok mobil tersebut bisa dibawa oleh Novriadi,” kata Edi.
Menurutnya, penggunaan mobil dinas dalam kampanye melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, khususnya Pasal 84 ayat 1 huruf h yang berisi tentang larangan penggunaan fasilitas negara untuk kampanye.

Jumat, 03 April 2009

NEWS : PEMILU LEGISLATIF 2009 DIPREDIKSI LANCAR Kualitasnya Dipertanyakan

Peneliti CSIS J Kristiadi optimis, meskipun dalam persiapan banyak kendala, Pemilu Legislatif 2009 akan berjalan sukses dan lancar. Menurutnya, kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), akibat pembenahan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Selain itu, ulah sejumlah oknum dalam penggelembungan suara pada sejumlah pilkada juga turut mengacaukan DPT.
Demikian disampaikan J Kristiadi usai berbicara pada Seminar Nasional “Politik Transaksional terhadap Ancaman Demokrasi” yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Propinsi Jawa Tengah di Gedung Rektorat Universitas Negeri Semarang, Sekaran Gunungpati, Kamis (2/4).
Prediksi J Kristiadi, tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu Legislatif 2009 sebesar 80 persen. “Angka golput saya kira hanya sebesar 20 persen saja. Itupun golput administrastif, artinya menjadi golput karena kesalahan administrasi, seperti tidak terdaftar dalam DPT,” katanya.
Meskipun Pemilu Legislatif 2009 akan berjalan lancar, mantan Ketua KPU Jawa Tengah Dra Fitriyah MA, ketika ditemui di ruang kerjanya, Jumat (3/4) mengatakan, kualitas Pemilu Legislatif 2009 perlu dipertanyakan. “Secara prosedural mungkin sukses dan lancar. Tapi dari segi kualitas perlu dipertanyakan, karena hingga saat ini persiapan masih kacau. Kekacauan tersebut akan mengurangi kualitas pemilu,” katanya.
Menurutnya, segala kekacauan yang terjadi menjelang Pemilu Legislatif, seperti kisruh DPT dan ketidakjelasan pendistribusian logistik, tidak akan terjadi bila KPU bekerja efektif dan efisien. Bila dibandingkan Pemilu 2004, persiapan KPU ketika itu lebih sempit, yaitu hanya 55 hari. “Karena memiliki waktu yang relatif lebih panjang, seharusnya permasalahan pendistribusian logistik tidak menjadi masalah,” ungkapnya.
Permasalahan DPT juga tidak perlu terjadi, karena menurutnya KPU hanya tinggal melakukan pemutakhiran data saja. Permasalahannya, petugas pemutakhiran data tidak bekerja sebagaimana mestinya karena permasalahan upah. “Pemilu 2004, KPU bekerjasama dengan BPS yang melakukan pendataan sendiri. Pemilu 2009 kan hanya perlu pemutakhiran data saja,” tuturnya.
Meskipun permasalahan DPT tidak selesai hingga pemilihan 9 April, Fitriyah optimis tidak akan teradi kecurangan. Di TPS, semua pihak yang berkepentingan mulai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hingga saksi-saksi dari partai akan memiliki dokumen yang sama, sehingga dapat meminimalisir kecurangan.
Terkait sosialisasi yang dilakukan KPU, Fitriyah menilai masih sangat kurang. Menurutnya, KPU seharusnya melakukan sosialisasi yang lebih gencar, baik menggunakan iklan di media massa maupun simulasi dengan mengerahkan massa. Permasalahannya, anggaran KPU tidak memungkinkan KPU untuk melakukan sosialisasi yang lebih efektif.
“Sosialisasi dari caleg justru lebih banyak. Tapi sosialisasi dari caleg itu merupakan kampanye agar masyarakat mendukung atau memilih, bukan sosialisasi tentang mekanisme pemilu,” kata Fitriyah.
Lemahnya sosialisasi pemilu, juga diungkapkan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Prof Dr Sasa Djuarsa Sendjaja. Menurutnya, iklan pemilu yang dilakukan KPU di televisi kurang efektif dan kurang intensitasnya. Tetapi Sasa Djuarsa memaklumi, karena rendahnya anggaran KPU.”Bila dibandingkan dengan anggaran partai jelas kalah jauh. Anggaran KPU untuk iklan di televisi hanya sekitar Rp 30 juta. Bandingkan dengan salah satu partai yang mencapai Rp 50 Miliar untuk iklan di televisi,” katanya.

NEWS : ELIT GAGAL PAHAMI KEKUASAAN Akibatkan Politik Transaksional

Kegagalan elit politik Indonesia di masa lalu dalam memahami kekuasaan, mendorong merebaknya praktek politik transaksional di masa sekarang. Dalam pemahaman elit, kekuasaan bukan mandat rakyat untuk mensejahterakan rakyat, tetapi merupakan alat untuk memperkaya diri karena dengan kekuasaan mereka bisa melakukan apa saja.
Peneliti Center for Strateic and International Strategic (CSIS) Dr J Kristiadi menyampaikan hal itu kepada peserta Seminar Nasional “Politik Transaksional terhadap Ancaman Demokrasi” yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jawa Tengah bekerja sama dengan Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Gedung Rektorat Unnes, Sekaran Gunungpati Semarang, Kamis (2/4).
Elit politik, menurut J Kristiadi, cenderung menghalalkan segala cara untuk berkuasa sehingga menimbulkan perselingkuhan politik antara elit dengan para pemiliki modal. “Elit bisa berkuasa karena memiliki uang. Bekerja sama degan pemilik modal memungkinkan mereka untuk terus berkuasa karena untuk berkuasa perlu uang. Bukan tidak mungkin bila perselingkuhan politik antara elit dengan pemiliki modal mengarah pada bisnis kotor dan ilegal,” tandasnya.
J Kristiadi juga mengatakan, politik transaksional muncul karena pengaruh neo liberalisme yang lebih mengedepankan mekanisme pasar. “Dalam mekanisme pasar, yang terpenting adalah modal bukan negara. Praktek politik menjadi lebih mengarah pada perdagangan (trading politics). Rakyat tidak ditempatkan sebagai warga negara (citizen), tetapi ditempatkan sebagai konsumen (consumer),” ungkapnya.
Praktek politik transaksional juga diungkapkan peneliti Undip Muchamad Yuliyanto,MSi. Berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat di Jawa Tengah, politik transaksional terjadi di hampir seluruh Jawa Tengah. “Di pantura bagian timur, masyarakat tidak segan-segan untuk meminta uang kepada caleg, bahkan langsung menyebut nominal tertentu. Padahal kalau dilihat basis massanya, mayoritas masyarakat wilayah tersebut merupakan masyarakat yang religius,” kata Yuliyanto.
Munculnya praktek politik transaksional di kalangan religius, menurut Ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi akibat adanya sentimen politik agama Orde Baru dengan memunculkan istilah SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). “Saat Orde Baru, isu agama diharamkan masuk ke ranah politik. Setelah Reformasi, agama muncul sebagai ideologi politik, tetapi sebagian golongan tidak bisa membedakan agama sebagai ruang pribadi dengan ruang publik,” katanya.
Di satu sisi, Masdar mengatakan masyarakat cenderung kalkulatif sebagai akibat kemiskinan yang mendera masyarakat. Masyarakat berpandangan, para elit politik merupakan kalangan berduit yang akan membagi-bagikan uangnya. Pandangan tersebut akibat sistem dan kultur yang berkembang selama ini, yang ditunjukkan politik uang para elit politik.
Sebagai penutup seminar, Rektor Unnes Semarang Prof Dr Sudijono Sastroatmodjo MSi mengatakan, pemilu seharusnya menjadi proses transformasional menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik, bukan proses transaksional antara elit politik dengan pemilik modal atau masyarakat. Bila pemilu menjadi proses transformasi tersebut, niscaya kesejahteraan masyarakat akan dapat dicapai.

Rabu, 01 April 2009

NEWS : BELUM MENYENTUH ISU STRATEGIS Iklan Politik Terjebak Black Campaigne

Iklan politik yang dilakukan oleh sebagian partai politik dalam kampanye Pemilu 2009 dinilai belum ideal, karena masih berisi janji semata yang bersifat makro dan normatif. Selain itu juga belum menyentuh isu-isu strategis.
Demikian papar Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Prof H Sasa Djuarsa Sendjaja PhD dalam Diskusi Ilmiah ‘Kebijakan Media dan Sukses Pemilu 2009’ yang digelar Program Magister Ilmu Komunikasi Undip di Gedung Pascasarjana Undip, Jalan Imam Bardjo Semarang, Rabu (1/4).
Sasa juga memaparkan, iklan politik masih mengarah pada propaganda politik, bukan marketing politik . “Kebanyakan iklan politik masih vulgar dan saling menjelekkan parpol satu dengan yang lain. Selain itu, banyak iklan politik bermasalah karena melanggar undang-undang dan etika yang berlaku seperti menampilkan anak-anak dalam iklan kampanye.,” ungkapnya.
Dalam pelanggaran seperti itu, menurutnya KPI memiliki wewenang menegur lembaga penyiaran yang melanggar agar menghentikan penyiaran iklan. Sedangkan tindakan terhadap partai atau caleg yang beriklan merupakan wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dominasi propaganda politik dalam iklan dibenarkan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Dr Turnomo Raharjo. Menurutnya, propaganda politik itu diindikasikan dengan adanya kampanye yang menjelek-jelekkan pihak lain (black campaigne), menyalah-nyalahkan pihak lain (blame campaigne) dan masih menawarkan mimpi-mimpi yang muluk (blank campaigne)
Selain itu, juga ada pihak-pihak yang membela diri dari kritikan pihak lain atau membela diri terhadap kesalahan yang pernah dilakukan (blocking campaigne) dan menggunakan pihak-pihak lain seperti figur orang tua, artis atau tokoh tertentu untuk membela diri (backing campaigne)
Sementara pembicara lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Antonius Jimmy Silalahi, mengakui banyak televisi lokal terpaksa melanggar aturan tersebut karena alasan komersil. “ Di masa kampanye, media massa baik cetak maupun elektronik harus bekerja lebih keras yang menyebabkan biaya operasional lebih tinggi. Pemasukan dari iklan politik merupakan sumber pendanaan terbesar bagi media untuk menutup biaya operasional. Untuk satu jam penyiaran saja televisi lokal memerlukan dana operasional lebih dari Rp 3 juta,” tandas Jimmy.
Di sisi lain Ketua PWI Jateng Ir Sriyanto Saputro MM selaku pembicara dari PWI Jateng mengatakan , pada masa kampanye media tidak akan bisa netral seratus persen karena banyaknya kepentingan, baik internal maupun eksternal. Meski demikian, dia menilai media-media di Jateng masih mampu menjaga independensinya.
“Wartawan simpatisan atau kader partai semestinya tidak dilibatkan dalam peliputan Pemilu. Bila perlu wartawan yang bersangkutan dinonaktifkan dulu oleh medianya,” kata Sriyanto.
Di akhir diskusi, Sasa Djuarsa Sendjaja yang juga guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) menegaskan, media di Indonesia memang masih banyak kekurangan. “Jangan terlalu menyalahkan media, karena media adalah refleksi dari masyarakat. Bila medianya dinilai jelek, maka masyarakat juga bisa dikatakan masih jelek. Adalah tugas media untuk memberi pencerahan bagi masyarakat, khususnya untuk menghadapi Pemilu 2009. Sehingga pada Pemilu 2009 masyarakat akan memilih wakil dan pemimpinnya yang berkualitas dan kapabel”, tandas Sasa.
Pada penyelenggaraan diskusi ini ditandatangani naskah kerjasama Letter of Intent (LoI) antara Program Magister Ilmu Komunikasi Undip dengan PWI Jateng, KPID Jawa Tengah, PRSSNI Jateng dan ATVLI Pusat.