Jumat, 29 Mei 2009

NEWS : PELATIHAN CITIZEN JOURNALISM Ciptakan Warga Sebagai Penyedia Berita

Konsep dari Citizen Journalism atau jurnalisme kewargaan yaitu kegiatan jurnalistik yang meliputi pencarian berita hingga penyajian berita yang dilakukan warga, bukan jurnalis atau wartawan profesional. Biasanya Citizen Journalism menggunakan media on line seperti website, webblog bahkan situs-situs pertemanan seperti Friendster atau Facebook.
Untuk lebih mengenalkan tentang Citizen Journalism, Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang mengadakan pengenalan dan pelatihan tentang Citizen Journalism pada Kamis (18/5) di lantai 2 Perpustakaan FISIP Undip Kampus Pleburan.
Pelatihan yang diikuti puluhan mahasiswa Ilmu Komunikasi Undip tersebut menghadirkan Produser TVOne Lena Sari Aristianti dan Produser Executive TVOne Ninok Hariyani yang juga alumni Jurusan Ilmu Komunikasi.
Ninok Hariyani mengatakan, untuk lebih mengembangkan Citizen Journalism di Indonesia, TVOne akan membuat sebuah program acara yang isinya berasal dari kiriman masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan warga sebagai penyedia informasi.
Sementara itu Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Nurul Hasfi MA mengatakan konsep awal dari Citizen Journalim yaitu media yang keluar dari mainstream media, sehingga Nurul khawatir bila TVOne membuat program acara dengan konsep Citizen Journalism justru akan membuat Citizen Journalism terpaku pada aturan-aturan media. Tetapi Nurul memberi apresiasi kepada TVOne yang memberi kesempatan untuk berkembangnya Citizen Journalism di Indonesia.

NEWS : STRATEGI PEMASARAN POLITIK KURANG TEPAT Bisa Membahayakan Citra Capres-Cawapres

Politik pencitraan yang dilakukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kurang efektif dan berpotensi menjadi blunder bagi citra kandidat yang sedang dibangun. Strategi komunikasi pemasaran politik yang dilakukan pasangan capres-cawapres dinilai kurang tepat dan hanya akan membangun citra untuk jangka pendek.
Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Djoko Setyabudi MM dan Dyah Pitaloka MA mengatakan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Jumat (29/5).
Djoko menilai, ketiga pasangan kandidat capres-cawapres melakukan strategi komunikasi pemasaran politik yang bisa membahayakan citra mereka. Misalnya iklan politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengambil nada jingle iklan yang identik dengan sebuah produk mie instan.
“Dengan mendengar nadanya saja, masyarakat pasti akan langsung ingat dengan produk mie instan. Bila tidak memperhatikan, masyarakat tidak akan tahu bahwa iklan tersebut merupakan iklan politik SBY. Apalagi tema yang dipakai pada iklan tersebut juga sama dengan tema iklan produk tersebut, yaitu keberagaman suku,” kata Djoko.
Sedangkan pasangan kandidat lainnya, Djoko menilai ketidaktepatan strategi komunikasi pemasaran politik mereka terletak pada cara menyingkat nama masing-masing pasangan yaitu Mega-Pro dan JK-Win.
”Mendengar nama Mega-Pro dan JK-Win, masyarakat pasti langsung teringat dengan salah satu merek kendaraan bermotor karena ada merek kendaraan bermotor yang produknya Mega Pro dan Win,” tutur Djoko.
Menurut Djoko, kemungkinan para kandidat tersebut berusaha membangun citra dengan meminjam citra brand yang sudah dikenal masyarakat. Tetapi hal ini bisa merugikan dan justru menguntungkan bagi citra brand yang dipinjam karena seolah-olah dilegitimasi para kandidat, terlebih bila kandidat tersebut terpilih.
”Citra brand tersebut sudah terbentuk dalam benak masyarakat. Tentunya sulit merubah citra yang sudah tertanam, apalagi meminjam citra yang telah dimiliki sebuah brand untuk membangun citra kandidat,” terang Djoko.
Senada dengan Djoko, Dyah Pitaloka mengatakan strategi komunikasi pemasaran politik yang dilakukan para kandidat berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Bahkan Dyah Pitaloka menilai yang dilakukan para kandidat tersebut hanyalah political selling, bukan political marketing.
”Iklan-iklan politik yang muncul lebih mengarah pada lomba jualan politik karena apa yang dilakukan para kandidat tersebut hanya menjual. Seharusnya iklan politik tidak hanya menjual tetapi juga ada sisi edukatif untuk orientasi jangka panjang,” kata Dyah Pitaloka yang akrab disapa Ita.
Menurut Ita, iklan dimasudkan untuk merubah perilaku seseorang. Pada iklan komersil diharapkan perilaku yang muncul, melakukan pembelian dan dilanjutkan dengan pembelian berikutnya. Tetapi, kata Ita, rupanya para kandidat hanya berorientasi pada perilaku masyarakat untuk memilih pada hari pemilihan.
”Padahal orientasi jangka panjang bisa dilakukan, yaitu perilaku memilih dilanjutkan dengan memilih kembali pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan datang,” tutup Ita.

Minggu, 24 Mei 2009

NEWS : DISKUSI REVITALISASI PERAN DPD Kuat di Legitimasi, Lemah di Kelembagaan

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebenarnya memiliki legitimasi yang kuat karena terpilih berdasarkan suara terbanyak, bahkan melebihi suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun sayangnya legitimasi tersebut tidak didukung lembaga yang kuat. Hal tersebut dikarenakan lembaga DPD sampai saat ini belum memiliki peran yang optimal.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Terbatas Pakar-DPD RI Daerah Pemilihan (DP) Jawa Tengah ”Revitalisasi Peran DPD RI” yang diadakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP Undip) Semarang, Sabtu (23/5) di Hotel Santika Jalan A Yani Semarang.
Dekan FISIP Undip Drs Warsito SU sebagai pembicara mengatakan peran DPD masih kurang dikenal oleh masyarakat karena UUD 1945 yang telah diamandemen masih belum memberi tempat yang cukup bagi DPD sebagai lembaga legislatif.
”Selama ini peran DPD hanya mengusulkan kepada DPR untuk pertimbangan DPR saja, jadi ada kesan DPD hanya bawahan DPR,” kata Warsito.
Hal tersebut, menurut Warsito, karena adanya kepentingan di DPR yang sengaja memarjinalkan peran DPD. Majelis Permusyarawaratan Rakyat (MPR) yang mempunyai hak untuk mengamandemen UUD 1945 dikuasai oleh DPR, sehingga amandemen UUD 1945 merupakan tirani demokrasi oleh DPR.
Asisten I Pemeritah Propinsi Jateng Drs Pudjo Kiswantoro yang juga pembicara mengatakan hal senada. Menurutnya DPD merupakan lembaga politik namun tidak memiliki kekuasaan politik, sehingga perlu ada perubahan sistem untuk memberi peran yang lebih besar kepada DPD.
“Untuk itu tidak hanya DPD yang harus menyuarakan, tetapi semua pihak terutama pemerintah daerah, akademisi dan lembaga non pemerintah lainnya,” kata Pudjo.
Pudjo juga berpendapat DPD harus mampu mewakili potensi daerah dan membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di daerah. Guru besar Fakultas Ekonomi Undip Prof FX Sugiyanto juga mengatakan hal senada, bahkan Sugiyanto memaparkan isu-isu ekonomi utama yang dihadapi Jateng sebagai masukan bagi anggota DPD RI DP Jateng 2009-2014 terpilih.
Anggota DPD RI DP Jateng 2009-2014 terpilih Dr Sulistiyo MPd mengungkapkan harapan dan keinginnya bersama anggota DPD terpilih lainnya.
“Kami akan memperjuangkan perubahan sistem dan susunan kedudukan DPD, memaksimalkan fungsi dan wewenang DPD yang terbatas serta membangun kekuatan politik untuk untuk mengimbangi kekuatan DPD. Kami berharap DPD bisa lebih berperan dan bermanfaat,” kata Sulistiyo.
Sementara itu, Pengajar Jurusan Pemerintahan FISIP Undip Drs Susilo Utomo SU mengatakan perlu strategi untuk memaksimalkan peran DPD. Susilo mengungkapkan pentingnya lobby dan membangun jaringan hingga ke tingkat kabupaten/kota tidak hanya propinsi saja.
”DPD merupakan lembaga milik daerah hingga kabupaten/kota sehingga DPD juga harus mengakomodir aspirasi dari kabupaten/kota,” kata Susilo.

NEWS : MELIHAT KEKUATAN PARA CAPRES SBY Paling Kuat, JK Tidak Siap

Di antara ketiga pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono merupakan pasangan yang memiliki modal sosial paling tinggi, sedangkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto merupakan pasangan yang paling tidak siap modal sosialnya. Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Semarang Drs Susilo Utomo SU mengatakan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Sabtu (23/5)
SBY-Boediono, menurut Susilo, memiliki modal sosial yang cukup tinggi dibanding pasangan lain, yaitu figur SBY sebagai incumbent. Keberhasilan dan program-program SBY ketika menjabat presiden seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pemberantasan korupsi merupakan salah satu keunggulan SBY dibanding pasangan lain.
Tetapi, menurut Susilo, bukan berarti pasangan lain tidak memiliki modal yang cukup dan tidak mungkin untuk mengalahkan pasangan SBY-Boediono. Pasangan lain seperti Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto pun tetap berpeluang mengalahkan SBY-Boediono pada Pemilihan Presiden (Pilpres 2009).
Modal sosial pasangan Megawati-Prabowo misalnya, terutama terletak pada figur Megawati sebagai dinasti Soekarno dan platform yang diusung partai Gerindra. Selain itu sikap Megawati yang konsisten maju sebagai capres meski didekati Partai Demokrat merupakan keunggulan pasangan Megawati-Prabowo.
Sedangkan pasangan JK-Wiranto , menurut Susilo, terletak pada leadership JK dan institusi Partai Golkar sebagai partai modern.”Golkar merupakan satu-satunya partai modern di Indonesia karena tidak terpaku pada sosok dan figur ketua umum. Hal tersebut nampak bahwa JK sebagai ketua umum tidak bisa seenaknya menentukan kebijakan partai,” kata Susilo.
Yang terpenting, menurut Susilo, ketiga pasangan tersebut harus mampu membangun pencitraan politik yang baik. Hal ini dikarenakan perilaku memilih masyarakat masih cenderung memperhatikan figur daripada platform atau visi dan misi.
”Ketiga pasang tersebut harus mampu membangun citra politik sebagai pemimpin yang dibutuhkan rakyat,” tambah Susilo.
Ketika ditanya tentang musibah jatuhnya pesawat Hercules C-130 Alpha 1325 di Magetan yang menjadi komoditas politik untuk menyerang incumbent, khususnya SBY, Susilo mengatakan seharusnya SBY dan JK tidak saling menyalahkan, karena keduanya masih menjabat sebagai presiden dan wakil presiden. Apabila musibah tersebut akibat kurangnya anggaran bagi TNI, keduanya harus bertanggung jawab karena musibah tersebut terjadi ketika keduanya memimpin.
Susilo berpendapat, bila memang ingin memanfaatkan musibah tersebut untuk membangun citra dan meraih simpati masyarakat, keduanya bisa memberi perhatian kepada para korban.
“Daripada saling menyalahkan, memberi perhatian seperti santunan kepada korban akan lebih meraih simpati masyarakat,” kata Susilo.
Sedangkan tentang koalisi partai-partai yang terbentuk menjelang Pilpres 2009, Susilo mengatakan koalisi yang terbentuk menunjukkan partai-partai di Indonesia tidak memiliki ideologi yang jelas. Ideologi hanya sebatas jargon yang digunakan sebagai komoditas politik dan berkampanye saja. Hal tersebut nampak dari koalisi yang terbentuk, seperti koalisi JK-Wiranto yang diusung Partai Golkar dan Partai Hanura serta pasangan Megawati-Prabowo yang diusung PDIP dan Partai Gerindra. Partai Hanura merupakan partai sempalan dari Golkar, begitu pula dengan kader-kader Gerindra merupakan sempalan dari PDIP. Susilo berpendapat, untuk apa dulu menyempal bila kemudian koalisi dengan Golkar atau PDIP.
”Hal ini menunjukkan sempalan-sempalan tersebut hanya karena masrtabat dan harga diri. Akibatnya visi, misi dan platform partai menjadi tidak sesuai dengan ideologi partai,” tutup Susilo.

Kamis, 14 Mei 2009

NEWS : PENGANIAYAAN TERHADAP WARTAWAN Harus Diselesaikan Dengan UU Pers

Kasus penganiayaan terhadap wartawan SCTV Carlos Pardede seharusnya diselesaikan menggunakan landasan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers karena melibatkan wartawan. Ada kekhawatiran kasus tersebut dianggap kasus kekerasan biasa sehingga diselesaikan menggunakan peraturan perundangan yang lain seperti KUHP.
Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Wiwid Noor Rakhmad menyampaikan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Kamis (14/5).
“Sanksi yang dijatuhkan harus mengacu pada UU Pers agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat bahwa siapa pun tidak boleh menghalangi kerja pers di lapangan, “ kata Wiwid.
Wiwid yang mengampu mata kuliah Hukum Komunikasi ini mengatakan, kejadian tersebut akibat ketidaktahuan beberapa orang tentang prosedur kewartawanan. Menurutnya prosedur wartawan sangat mengutamakan aktualitas, sehingga terkadang prosedur-prosedur fornal menjadi halangan bagi wartawan.
Seperti diberitakan, wartawan SCTV Carlos Pardede mengalami penganiayaan yang dilakukan aparat keamanan Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Rabu (13/5) ketika akan menemui Gubernur BI Boediono untuk wawancara seputar pencalonan Boediono sebagai calon wakil presiden (cawapres). Penganiayaan tersebut dipicu sikap keamanan yang mempertanyakan kartu identitas, padahal selama ini keamanan BI tidak pernah menanyakan kartu identitas kepada wartawan.
Senada dengan Wiwid, Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Undip yang lain, Triyono Lukmantoro MSi mengatakan dalam kasus ini terlihat ketidakpahaman aparat keamanan BI terhadap kerja wartawan.
“Wartawan datang, menjalankan tugas memberi informasi kepada publik, seharusnya tidak dihalangi oleh keamanan. Mungkin keamanan menjalankan prosedur yang ada di BI, tetapi karena kemudian terjadi tindak kekerasan maka dilihat dari sisi mana pun, pihak kemanan salah,” tandas Triyono.
Tetapi Triyono mengingatkan, wartawan jangan merasa diistimewakan karena dijamin oleh UU. Menurut Triyono etika kewartawanan juga harus dijunjung tinggi oleh wartawan.
“Wartawan tetap harus beretika. Ada etika-etika yang harus digunakan wartawan ketika menjalankan tugasnya di lapangan,” kata Triyono yang mengajar mata kuliah Etika Profesi Komunikasi.
Terkait dengan aksi solidaritas yang dilakukan organisasi-organisasi wartawan di daerah, Wiwid dan Triyono mengingatkan wartawan harus tetap objektif menyikapi kejadian ini.
“Jangan karena yang dianiaya wartawan lalu diberitakan besar-besaran, padahal masih banyak kasus serupa yang menimpa masyarakat pinggiran. Jangan sampai juga aksi solidaritas tersebut justru memicu terjadinya tindak kekerasan yang lain,” kata Triyono.
“Wartawan jangan hanya fokus pada kasus ini saja, masih banyak kasus serupa terjadi yang perlu disikapi oleh wartawan. Tidak hanya kasus kekerasan, kasus lain yang melibatkan insan pers juga masih sering terjadi,” kata Wiwid.

NEWS : WARTAWAN SEMARANG DATANGI BI Terkait Pemukulan Wartawan SCTV di Jakarta

Puluhan wartawan yang tergabung dalam berbagai organisasi wartawan di Semarang melakukan aksi dengan mendatangi Kantor Bank Indonesia (BI) Semarang di Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Kamis (14/5) sebagai bentuk solidaritas atas kasus pemukulan terhadap wartawan SCTV Carlos Pardede oleh satpam BI di Jakarta.
Aksi yang dipimpin Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah Sriyanto Saputro tersebut menyampaikan pernyataan sikap antara lain menuntut kasus pemukulan Carlos Pardede diusut secara tuntas sebagai bentuk penegakan hukum, mengecam keras tindakan pemukulan tersebut karena telah menghambat kerja jurnalis dan bertentangan dengan kebebasan pers, menuntut dihentikannya kriminalisasi pers di Indonesia dan mengharap kasus serupa tidak terjadi kembali.
Wartawan yang datang sekitar pukul 10.00 di Kantor BI Semarang diterima Kepala BI Semarang Zaini Abu Amin didampingi sejumlah petinggi BI di Semarang. Menanggapi pernyataan sikap yang disampaikan wartawan, Zaini menyampaikan penyesalannya atas terjadinya kasus pemukulan wartawan SCTV Carlos Pardede di Jakarta.
Kepada wartawan, Zaini berjanji akan menyampaikan pernyataan sikap wartawan tersebut kepada pimpinan BI di Jakarta dan berharap kasus tersebut tidak mengganggu hubungan baik antara BI Semarang dan wartawan.
Ketua PWI Jateng Sriyanto Saputro yang memimpin aksi menyatakan aksi tersebut sebagai wujud solidaritas wartawan di Jateng, khususnya di Semarang, karena Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 telah mengamanatkan kebebasan pers dan mengatur bahwa wartawan memiliki hak untuk mencari dan menyebarkan informasi. Bila terdapat pihak-pihak yang secara sengaja menghalang-halangi wartawan, maka dapat dikenai sanksi pidana.
Sriyanto menghimbau semua pihak yang terkait dengan wartawan dapat bekerjasama dengan wartawan karena kerja wartawan di lapangan dilindungi UU. Sriyanto juga berharap segala bentuk kriminalisasi terhadap pers dapat dihilangkan dari Indonesia.

Rabu, 13 Mei 2009

NEWS : PENDUKUNG SB GRUDUG DPW PAN JATENG Tolak Hasil Rakernas Yogyakarta

Puluhan kader Partai Amanat Nasional (PAN) se-pantura pendukung Ketua Umum Soetrisno Bachir (SB) mendatangi kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN Jawa Tengah Jalan Mucharom Kedungmundu Tembalang Semarang, Rabu (13/5) sekitar pukul 15.00. Kedatangan sejumlah kader PAN tersebut untuk menyampaikan aspirasinya menolak hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN di Yogyakarta yang memutuskan mencalonkan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kedatangan kader PAN se-pantura yang dipimpin Ketua DPC PAN Pekalongan Utara Miftahul Arif diterima Ketua DPW PAN Jateng Abdul Rozaq Rais bersama sejumlah pengurus DPW di ruang rapat DPW PAN Jateng. Dalam pernyataan resminya, kader PAN se-pantura menuntut DPW PAN Jateng untuk menolak hasil Rakernas Yogyakarta karena dianggap tidak sesuai AD/ART dan mencabut dukungan terhadap Hatta Rajasa sebagai cawapres serta mendukung SB sebagai cawapres.
Menurut Miftahul Arif, sebagai ketua umum, SB telah berhasil membawa PAN sukses pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009. “SB telah berhasil berjuang untuk PAN pada Pileg 2009. Sekarang kader-kader yang tidak ikut berjuang berusaha cari kesempatan untuk dirinya sendiri,” kata Miftahul Arif.
Menanggapi tuntutan kader PAN se-pantura tersebut, Ketua DPW PAN Jateng Rozaq Rais akhirnya mengeluarkan penyataan mencabut dukungan terhadap Hatta Rajasa. Namun ketika dikonfirmasi wartawan, Rozaq Rais mengatakan pernyataan tersebut merupakan pernyataan pribadinya karena sikap resmi DPW akan diambil mekanisme rapat DPW.
“(Pernyataan) ini masih bersifat pribadi, hanya untuk menenangkan kader PAN se-pantura agar PAN Jateng tidak muncul friksi dan tetap kondusif,” kata Rozaq Rais.
Dalam aksinya mendatangi Kantor DPW PAN Jateng, kader PAN se-pantura membawa spanduk bertuliskan “Kader PAN, Simpatisan PAN Pantura siap mendukung Soetrisno Bachir manjadi cares/cawapres” dan sejumlah poster bertuliskan antara lain “Rakernas Yogya inkonstitusional”, “Kader Pantura gukung SB”, dan “Cabut dukungan koalisi dengan Demokrat”.

NEWS : RATING TELEVISI MASIH JADI ACUAN Meski Hanya Ambil Sampel di 10 Kota

Rating televisi sampai saat ini masih menjadi acuan bagi kalangan industri televisi dan periklanan untuk menentukan program acara bisa diteruskan dan memiliki nilai jual atau tidak. Padahal AGB Nielsen Media Research selaku lembaga rating satu-satunya di Indonesia mengakui, meski menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan, rating AGB Nielsen hanya mengambil sampel di 10 kota besar dan hanya menyajikan data secara kuantitatif tanpa mempertimbangkan kualitas program televisi.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Ilmiah “Rating dan Tanggung Jawab Sosial Media” yang diadakan Program Magister Ilmu Komunikasi Undip di Gedung Pasca Sarjana Undip Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Rabu (13/5).
Senior Marketing Service AGB Nielsen Media Research Christina Afendy selaku pembicara mengatakan, rating yang dilakukan lembaganya memang hanya berupa pengukuran kuantitatif dari pemirsa televisi. Sehingga pihaknya tidak bisa menyajikan kualitas dari isi program, kelayakan terhadap usia pemirsa, serta mengatur apa saja yang disajikan stasiun televisi dan produk apa saja yang beriklan.
Akibat dari rating tersebut, program acara di beberapa stasiun televisi menjadi seragam. Hal ini disebabkan, bila suatu program acara memiliki rating tinggi, maka stasiun televisi lain akan membuat program acara yang sejenis sehingga acara televisi pun menjadi seragam. Hal ini dikemukakan pembicara lainnya, Sekretaris Jenderal Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bekti Nugroho.
“Hal ini karena ruang publik dikuasai oleh pasar, sehingga program acara televisi menjadi seragam. Program berita pun bukan menjadi primadona bagi siaran televisi. Padahal program berita seringkali memunculkan empati dan simpati masyarakat,” kata Bekti.
Pembicara dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)Gilang Iskandar mengatakan meski masih mengacu pada rating AGB Nielsen, stasiun televisi masih mencoba mengambil second opinion dari pihak-pihak lain seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan LSM. “Bahkan seringkali stasiun televisi menanyakan terlebih dahulu kepada KPI apakah suatu program acara layak ditayangkan atau tidak,” kata Gilang.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Amirudin yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tidak melarang rating sebagai pranata riset. Justru KPI memandang rating penting sebagai sarana optimalisasi keberlangsungan hidup media sebagai institusi ekonomi untuk mewujudkan peran media sebagai institusi budaya secara maksimal.
“Media merupakan institusi budaya sekaligus institusi ekonomi. Bila secara ekonomi kuat, maka media sebagai institusi budaya juga akan kuat,” kata Amirudin.
Senada dengan Amirudin, dosen Ilmu Komunikasi Undip Djoko Setyabudi juga menyatakan pentingnya rating televisi terutama bagi stasiun televisi dan kalangan periklanan.
“Berdasarkan rating, stasiun televisi menjual program acara kepada pengiklan dan pengiklan membeli slot iklan berdasarkan rating. Bagi agensi periklanan rating digunakan sebagai dasar penyusunan media plan,” tutur Djoko.

Selasa, 12 Mei 2009

NEWS : KEMUNGKINAN SBY GANDENG BOEDIONO Tak Mau Ulang Kesalahan Dengan JK

Sikap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemungkinan akan memilih Boediono sebagai calon wakil presiden (cawapres) untuk mendampingi dirinya dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009 dinilai pengamat politik Undip Semarang Priyatno Harsasto MA sebagai langkah SBY agar tidak mengulang kesalahan ketika berduet dengan Jusuf Kalla (JK) pada Pilpres 2004.
“Bersama JK, SBY mengalami shock karena JK terlalu aktif sehingga SBY terlihat terlalu pasif. Maka dalam mencari cawapres untuk menghadapi Pilpres 2009, SBY akan memilih yang bisa seirama dan secara politis tidak membahayakan posisinya,” kata Priyatno ketika dihubungi, Selasa (12/5).
Selain itu, Priyatno menilai, SBY terlihat hati-hati untuk mengantisipasi kekecewaan partai-partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD), karena beberapa partai yang tergabung dalam koalisi masing-masing mengajukan cawapres.
“Bila SBY memilih salah satu calon dari salah satu partai, dikhawatirkan akan membuat partai yang lain kecewa. Maka SBY memilih Boediono yang non-partai,” kata Priyatno.
Ketika ditanya tentang ancaman sejumlah partai yang tergabung dalam koalisi PD, bila SBY tetap memilih Boediono akan meninggalkan koalisi dan membentuk Poros Alternatif dengan menggandeng Gerindra, Priyatno menilai hal itu hanya akan tetap menjadi ancaman semata.
“PD dan SBY cukup percaya diri karena ketokohan SBY sehingga dalam hal ini partai-partai tersebut yang membutuhkan SBY, bukan SBY yang butuh partai-partai. Kemungkinan partai-partai tersebut akan mendapat jatah posisi sebagai menteri,” tutur Priyatno.
Priyatno yang juga Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Undip memperkirakan, wacana partai-partai tersebut keluar dari koalisi dan membentuk Poros Alternatif dengan menggandeng Gerindra, tidak akan terjadi karena partai-partai tersebut, terutama PKS, tidak terlalu cocok dengan Gerindra. Selain itu, bila berpikir realistis, partai-partai tersebut akan tetap diuntungkan bila bergabung dalam koalisi PD.
Menurut Priyatno, kemungkinan partai-partai yang tergabung dalam koalisi akan bereaksi terkait pemilihan Boediono sebagai cawapres, tentunya sudah diperhitungkan SBY dan PD. Oleh karena itu, PD tidak terlalu khawatir terhadap polemik yang muncul dan merasa hubungan dengan partai-partai tersebut tetap akan baik.
Priyatno menilai, sikap SBY terkait dengan pemilihan cawapres tidak lepas dari peran dari kalangan keluarganya, terutama istri dan mertua. “Karakter SBY mirip dengan karakter Soeharto ketika berkuasa pada Orde Baru. Pengaruh keluarga sangat kuat sehingga dalam mengambil keputusan, masukan dan saran dari keluarga menjadi pertimbangan SBY,” tutur Priyatno.

NEWS : Turnomo Raharjo : Wajar SBY-JK Saling Kritik

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip Dr Turnomo Raharjo mengatakan,hal yang wajar bila Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) saling sindir karena di ranah politik setiap kompetitor berupaya mendapatkan simpati dari masyarakat.Hal itu disampaikan Turnomo di Semarang, Selasa (12/5)
Terkait dengan JK yang lebih agresif dan SBY yang lebih responsif, Turnomo mengatakan posisi SBY sebagai incumbent membuat dirinya lebih defensif menanggapi sindiran dari JK.
“Analoginya, dalam sebuah pertandingan olahraga, juara bertahan akan lebih defensif dibanding kompetitor lain yang lebih ofensif,” kata Turnomo.
Seperti diketahui, beberapa tokoh Golkar menyindir SBY karena terlalu reaktif terhadap pernyataan dari JK. Para politikus Golkar tersebut menyindir SBY hanya bisa merespon, sedangkan JK lebih punya inisiatif.
Ketika ditanya apakah sikap kedua tokoh tersebut akibat dari latar belakang budaya keduanya yang berbeda, Turnomo mengatakan hal tersebut bukan menjadi faktor utama.”Bila kita melihat keduanya (SBY-JK) dari kacamata latar belakang budaya, kita bisa terjebak pada stereotype,” tutur Turnomo.
Turnomo berpendapat, terdapat perubahan budaya dalam perpolitikan Indonesia bila dibandingkan dengan masa Orde Baru. Ketika Orde Baru, seseorang yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden lebih malu-malu dan akan maju dengan mengatakan bila rakyat menghendaki. Tetapi pasca Reformasi, politik menjadi lebih terbuka dan semua orang bisa bicara lantang menjadi calon presiden.
Oleh karena itu, menurut Turnomo, meski di Indonesia persaingan politik masih bisa dikatakan santun, tetapi saling sindir tidak bisa dihindari. Saling sindir tersebut masih bisa dikatakan santun meski dilakukan dengan bahasa yang lugas seperti yang dilakukan SBY dan JK.
“Berbeda dengan Amerika yang masyarakatnya terbiasa menyampaikan pendapat dan kritik secara terang-terangan dan langsung, di Indonesia kritik dan sindiran dilakukan dengan lebih santun tetapi tetap lugas,” tutur Turnomo.

Jumat, 01 Mei 2009

NEWS : BEDAH BUKU PERIKLANAN ADJI WATONO Iklan Harus Bisa Kembangkan Brand

Mengiklankan sebuah brand yang merupakan market leader tidak sebatas pada mempertahankan posisi pada market share, tetapi juga harus bisa mengembangkan dan meningkatkan penjualan brand tersebut.
Presiden Direktur Dwi sapta Integrated Marketing Communication (Dwi Sapta IMC) A Adji Watono mengemukakan hal itu dalam acara Roadshow Bedah Buku “Advertising That Makes Money” yang digelar Dwi sapta IMC bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Komunikasi FISIP Undip di kampus Undip Pleburan Semarang, Jumat (1/5).
Adji Watono, yang juga pernah menulis buku “Advertising That Sells” mengatakan, periklanan tidak hanya menjual, tetapi juga menghasilkan uang dan keuntungan. Agar dapat berhasil, sebuah biro iklan tidak bolah menyerah dalam membuat iklan yang diajukan oleh klien.
“Jangan pernah menyerah dan menolak permintaan klien. Di dunia periklanan tidak ada yang tidak mungkin. Yang penting ikuti insting anda dan miliki keberanian untuk bertindak dan ambil resiko. Insting tanpa nyali adalah omong kosong,” tandas Adji.
Adji kemudian menceritakan pengalamannya ketika menangani iklan sebuah produk lotion anti nyamuk yang berganti merek menjadi merek internassional. “Teman-teman biro iklan yang lain, rata-rata mengatakan saya sudah gila menerima proyek itu. Katanya itu proyek yang mustahil akan berhasil. Tetapi ternyata saya mampu menangani proyek tersebut dan berhasil membangun brand yang baru,” tutur Adji.
Adji juga menekankan pentingnya bekerja keras di bidang periklanan, tidak hanya menunggu keberuntungan datang. “Jangan tunggu keberuntungan. Bekerja keraslah dan buat keberuntunganmu sendiri,” tegas Adji.
Pembicara lain, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip Dyah Pitaloka MA mengatakan, periklanan merupakan bentuk komunikasi untuk membangun brand, sehingga perlu ada ikatan emosi antara biro iklan, klien dan produk. Selain itu periklanan juga harus mampu membangun loyalitas konsumen terhadap brand.
“Dalam bukunya, Pak Adji mengungkapkan tidak hanya loyalitas konsumen yang harus dibangun, tetapi loyalitas klien terhadap biro iklan dan loyalitas internal juga perlu dibangun. Untuk itu biro iklan perlu membangun kepercayaan klien dengan memproduksi iklan yang berkualitas,” kata Dyah Pitaloka.
Buku “Advertising That Makes Money” merupakan buku kedua Adji Watono yang berisi 12 prinsip mengelola merek menjadi market leader dan kisah sukses Adji Watono bersama Dwi Sapta IMC yang masuk dalam jajaran buku periklanan best seller. Saat ini Dwi Sapta IMC merupakan salah satu biro iklan di Indonesia yang termasuk dalam “Sepuluh Besar Biro Iklan Terbaik”.

NEWS : SOAL PENGHITUNGAN MANUAL Fitriyah : Wajar PDIP Unggul

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng Fitriyah MA menilai, wajar bila penghitungan manual sementara hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, berbeda dari hasil quick count dan hasil tabulasi elektronik sementara. Dalam penghitungan manual sementara, PDIP memperoleh suara terbanyak yaitu 19 persen disusul Partai Demokrat (PD) 14 persen
“Baru beberapa propinsi yang masuk, dan propinsi tersebut merupakan basis massa PDIP seperti Jawa Tengah dan Bali,” kata Fitriyah ketika ditemui di Semarang, Jumat (1/5).
Perbedaan hasil penghitungan manual sementara dengan hasil tabulasi elektronik, menurut Fitriyah disebabkan dalam tabulasi elektronik data dari semua propinsi masuk hampir secara bersamaan sehingga hasil tersebut merupakan gambaran dari seluruh Indonesia.
“Hanya tiga propinsi saja yang gagal masuk dalam tabulasi elektronik, sementara propinsi lain seluruh Indonesia berhasil masuk, sehingga hasil tabulasi elektronik lebih merata dan tidak berbeda jauh dengan hasil quick count,” kata Fitriyah.
Fitriyah, yang juga dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Undip menuturkan, penghitungan manual tidak terlalu mulus karena di beberapa propinsi juga belum selesai. Tetapi Fitriyah menegaskan, hasil penghitungan manual merupakan hasil yang sah, sehingga masyarakat dan politikus jangan terlalu mengacu pada hasil quick count.
“Memang biasanya hasil quick count tidak terlalu banyak selisihnya dengan hasil penghitungan manual. Tetapi tidak menutup kemungkinan hasil penghitungan manual berbeda dengan quick count. Bahkan di Amerika hal tersebut pernah terjadi,” kata Fitriyah.
Tentang tidak mulusnya penghitungan manual, Fitriyah mengatakan, menunjukkan KPU kurang antisipatif terhadap permasalahan yang muncul, sehingga KPU berpotensi digugat karena melanggar UU Pemilu.
“Dalam UU Pemilu, penghitungan suara di tingkat kabupaten/kota harus sudah selesai H+12, dan H+15 di tingkat propinsi. Sedangkan di tingkat pusat penghitungan suara harus sudah selesai H+30. Di tingkat kabupaten dan propinsi saja sudah melewati batas waktu, dan indikasinya di tingkat pusat juga akan molor,” kata Fitriyah.
Tentang hasil Pileg 2009 sendiri, Fitriyah mengatakan pengajuan gugatan dapat dilakukan paling lambat tiga hari setelah hasil penghitungan manual diumumkan, kepada Mahkamah Agung (MA). Tetapi Fitriyah menegaskan, gugatan dapat dilakukan dengan mengacu pada proses penghitungan suara yang melibatkan petugas dan saksi di tiap tingkatan, seperti PPS, PPK hingga KPU.
“Hasil quick count bukanlah hasil penghitungan yang sah karena dilakukan berdasarkan hasil polling di setiap TPS sehingga hanya memberikan gambaran tentang hasil akhir. Tapi tidak menutup kemungkinan hasil quick count salah, sehingga hasil quick count tidak bisa digunakan sebagai dasar pengajuan gugatan,” kata Fitriyah menutup wawancara.