Selasa, 10 Maret 2009

OPINION :Obama

Seorang anak kecil berlari dengan riang. Sekilas dia terdengar memanggil – manggil mamanya. ”O Mama,”. Sang mama pun dengan sigap menyambutnya, siap memeluknya. Tapi apa yang terjadi? Anak itu terus berlari melewati mamanya dan terus berteriak, O Mama..O Mama.. Anak itu pun kemudian ’ditangkap’ dan dipeluk seorang berkulit gelap, berambut cepak, dengan senyum yang menawan. Sekilas orang tersebut mirip dengan Presiden AS Barrack Obama. Rupanya si anak bukan memanggil mamanya, tapi Obama.
Berbeda lagi dengan cerita yang lain. Sekelompok orang sedang bermain golf. Kemudian seseorang bertanya, ”Katanya sering main golf sama presiden?”. Orang yang ditanya pun kemudian mengambil ponselnya dan menelepon ”Sang Presiden”. Lagi – lagi terlihat sosok yang sama. Obama.
Rupanya demam Obama masih melanda negeri kita. Sampai – sampai biro iklan kita menjadikan ’Obama’ sebagai bintang iklan. Memang bukan Obama yang sesungguhnya, tetapi seseorang yang kebetulan mirip dengan Obama. Orang itu adalah orang Indonesia yang wajahnya memang mirip Obama. Kalau tidak diperhatikan betul, pasti kita akan menyangka orang itu sebagai Obama.
Obama tidak hanya membintangi iklan komersil di layar televisi, tapi juga iklan politik. Seorang politikus yang mencalonkan diri sebagai presiden mengiklankan diri dan partainya dengan menampilkan Barrack Obama. Bukan Obama imitasi, tapi Obama betulan. Iklan itu mencuplik rekaman – rekaman video yang menampilkan Obama. Dikatakan di iklan itu, seorang anak yang pernah sekolah di Indonesia berhasil membawa perubahan dan menjadi presiden AS. Akhirnya, kita diajak melakukan perubahan dengan memilih partai yang beriklan itu.
Sebenarnya seberapa besar pengaruh Obama bagi Indonesia? Memang kita boleh berbangga, Obama pernah bersekolah di Indonesia. Kita boleh berbangga, pendidikan Indonesia berhasil mencetak seorang presiden di negara adidaya AS.
Tetapi berapa lama Obama bersekolah di Indonesia? Apa segala kecakapan dan kepandaian Obama adalah hasil pendidikan Indonesia? Menurut berita yang beredar di masyarakat, Obama pernah bersekolah di sebuah SD di Jakarta, tetapi itu pun tidak lama. Obama kecil hanya beberapa tahun saja bersekolah di Indonesia. Jadi tentu kita tidak bisa meng-klaim Obama berhasil jadi presiden karena sekolah di Indonesia, karena pendidikan Indonesi.
Rupanya begitulah mental orang kita. Secara semu membanggakan orang lain, yang cuma sekian tahun saja pernah tinggal bersama kita. Ungkapan yang sama sering terdengar seperti ini : ”Dia sukses, dulu kan dia waktu kuliah satu kos sama saya.” Atau begini : “Pengusaha sukses itu dulu waktu masih susah sering pinjam uang sama saya.”
Memang kita sering membanggakan orang lain yang sukses, hanya karena orang itu pernah, mungkin secara kebetulan, berinteraksi dengan kita. Apalagi bila kita merasa, walaupun kecil, pernah berjasa untuk orang itu. Seringkali kebanggaan itu sedemikian besarnya.
Memang Obama pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia. Dia juga sempat punya ayah tiri seorang Indonesia. Tetapi tentu keberhasilan Obama karena hasil kerja kerasnya sendiri. Padahal dia adalah seorang kulit hitam yang tinggal di Amerika, negeri yang menjunjung tinggi HAM, tetapi pernah memperbudak orang kulit hitam dan sampai sekarang kadang masih mendiskriminasi orang kulit hitam. Sebagai orang kulit hitam, Obama berhasil menunjukkan keunggulannya di mata orang kulit putih.
Sebagai warga dari negeri yang pernah ditinggali Obama, seharusnya kita terpacu dengan keberhasilan Obama. Di negeri yang masih mendiskriminasi ras-nya, Obama berhasil menjadi presiden. Kita seharusnya juga terpacu, di negeri kita sendiri kita harus berhasil. Kita harus sukses di negeri tumpah darah kita sendiri.
Tapi rupanya, di dunia politik, keberhasilan dinilai dengan jabatan. Para politikus berlomba – lomba mengejar jabatan. Dalam persaingan di dunia politik, semua bisa menjadi bias. Teman bisa jadi lawan. Lawan bisa jadi teman. Bahkan ikatan persaudaraan rusak karena politik. Semua mau menang sendiri.
Kalau di Amerika, Joe Bidden yang kalah dari Obama segera menyiapkan pidato politik menyatakan kekalahan dan dukungan kepada Obama, di Indonesia calon yang kalah segera menyiapkan gugatan kepada KPU, menuntut penghitungan suara ulang bahkan pemilihan ulang. Kalau di Amerika George W Bush, yang beseberangan politik dengan Obama menyambut Obama di Gedung Putih dan menyertai Obama meninjau Gedung Putih, di Indonesia calon presiden yang mencalonkan diri lagi (incumbent) kalah, segera angkat kaki dari Istana dan tidak bertegur sapa dengan presiden terpilih.Itulah bedanya bangsa kita dan Amerika. Konon kita orang timur yang kekeluargaan dan tepa selira. Konon bangsa Amerika adalah bangsa yang individualis, tapi mereka masih bisa berbesar hati menerima kekalahan. Mengapa kita tidak?

Tidak ada komentar: