Jumat, 26 Juni 2009

NEWS : POLITIK SALING KLAIM PARA CAPRES Bisa Bahayakan Citra Sendiri

Pakar Komunikasi Pemasaran Politik Undip Djoko Setyabudi MM menilai politik saling klaim keberhasilan yang terjadi di kalangan calon presiden (capres) bisa menjadi blunder dan membahayakan citra politik yang berusaha dibangun. Djoko menyampaikan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Sabtu (27/6).
“Politik saling klaim yang paling lucu dan aneh terjadi antara capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Pada pemerintahan sekarang, posisi mereka satu tim sebagai presiden dan wakil presiden, sehingga keberhasilan yang terjadi merupakan keberhasilan bersama. Tidak dewasa jika SBY dan JK saling klaim sebagai keberhasilan pribadi,” kata Djoko.
Di kalangan masyarakat yang lebih terdidik, tambah Djoko, politik saling klaim tidak akan berpengaruh dalam membentuk citra politik. Justru saling klaim tersebut akan dinilai sebagai ketidakdewasaan SBY dan JK dalam berpolitik.
“Di kalangan yang kurang terdidik pun politik seperti itu juga tidak akan banyak berpengaruh karena masyarakat akan dibingungkan dengan saling klaim tersebut. Para pemilih dari kalangan kurang terdidik mungkin akan lebih memilih calon berdasarkan penampilan fisik luar saja,” tutur Djoko.
Djoko menganalogikan kampanye politik sebagai strategi penjualan sebuah produk. Sebuah produk tidak akan berguna bila produk tersebut memiliki produk lain sebagai komplementer. Maka tidak bisa mengklaim keunggulan sebuah produk dengan mengesampingkan peran produk komplementernya.
Sedangkan klaim yang dilakukan capres Megawati Soekarnoputri, Djoko menilai hal tersebut merupakan hal yang percuma karena klaim yang dilakukan Mega merupakan klaim atas keberhasilan pemerintahannya sebelum pemerintahan SBY-JK.
“Pemerintahan Mega terlalu jauh untuk diklaim keberhasilannya. Masyarakat pasti akan lebih ingat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang terjadi pada pemerintahan SBY-JK,” tutup Djoko.

Selasa, 23 Juni 2009

NEWS : Iklan SBY-Boediono Salahi UU Pilpres

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah menganggap, iklan kampanye pasangan capres-cawapres SBY-Boediono yang ditayangkan di sejumlah televisi nasional dan televisi lokal menyalahi pasal 53 ayat 1 UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Anggota KPID Jateng Divisi Pengawasan Isi Siaran Zainal Abidin Petir mengatakan hal tersebut di Semarang, Selasa (23/6).
Menurut Zainal, berdasarkan pasal 53 ayat 1 UU No 42 tahun 2008, batas maksimum penayangan iklan kampanye di televisi untuk setiap pasangan calon maksimal 10 spot dengan durasi maksimal 30 detik, sementara untuk radio paling lama berdurasi 60 detik.
“Iklan SBY-Boediono yang ditayangkan di sejumlah televisi nasional dan lokal memiliki durasi lebih dari 30 detik,” kata Zainal.
Karena itu, KPID Jateng kemudian melayangkan surat teguran kepada 11 televisi nasional, yaitu TVRI Nasional, RCTI, TV One, Trans TV, Trans 7, Metro TV, Global TV, TPI, SCTV, Indosiar, dan AnTV, serta tiga televisi lokal, yakni Pro TV Semarang, Cakra Semarang TV, dan Ratih TV Kebumen.
“Kami juga mengusulkan kepada KPI Pusat untuk memberikan sanksi kepada sejumlah televisi tersebut, serta memberikan tembusan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu),” tutur Zainal.
Zainal menambahkan, dalam pemilu legislatif lalu batasan iklan maupun durasi iklan kampanye memang tidak berlaku lagi karena Mahkamah Konstutusi (MK) membatalkannya. Sedangkan terkait tentang UU 42/2008, beberapa media juga merasa keberatan dengan beberapa pasal yang dinilai memberatkan, dan mengajukan 'judicial review' ke MK.
“Karena belum ada putusan final dari MK tentang pasal 57 ayat 1 dalam UU Nomor 42/2008, berarti peraturan dalam pasal tersebut harus tetap dijalankan,” jelas Zainal.
KPID Jateng, kata Zainal, mempunyai wewenang untuk memberikan dan menjatuhkan sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran terkait penyiaran.
"Siapapun yang melanggar harus diberi sanksi," tegas Zainal.

Minggu, 21 Juni 2009

NEWS : 127.000 Guru Swasta Dukung SBY-Boediono

Ketua Umum Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jawa Tengah M Zen Adv mengatakan, sekitar 127.000 guru swasta di Jateng mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. M Zen mengatakan hal tersebut pada Rapat Koordinasi PGKSI Jateng di Gedung GRIS Pedurungan Semarang, Minggu (21/6).
Pada Rakor tersebut, PGKSI menyampaikan tiga pernyataan sikap kepada pemerintah yang akan datang, yaitu mendorong realisasi dan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD, mendorong pemerintahan memberi perhatian yang sama terhadap status guru PNS dan guru swasta, dan mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan PP Guru Swasta untuk melindungi hak-hak guru swasta di masa mendatang.
“Selama ini guru swasta kurang diperhatikan pemerintah, mulai dari pendidikan yang masih non-kualifikasi akademik S1 hingga gaji guru swasta yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR),” kata M Zen.
Acara tersebut juga diisi dengan penyerahan pernyataan sikap kepada Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng Abdul Kadir Karding yang juga hadir dan penandatangan spanduk dukungan kepada SBY-Boediono yang ditandatangani seluruh guru swasta dari 31 pengurus cabang yang hadir.
Menurut Karding, acara tersebut merupakan inisiatif PGKSI Jateng, dan dirinya hadir karena diundang. Karding berjanji akan menyampaikan pernyataan sikap dan aspirasi PGKSI kepada Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono.
Dalam sambutannya, Karding sependapat dengan PGKSI tentang perlunya keseimbangan anggaran pendidikan antara pendidikan negeri dan swasta. Karena itu, Karding merasa dukungan PGKSI kepada SBU-Boediono merupakan langkah yang tepat karena pasangan tersebut memiliki kemungkinan menang yang besar dibanding pasangan calon lain.
“Lebih baik memilih yang pasti menang daripada memilih yang akan kalah,” kata Karding.
Karding juga menegaskan tidak sependapat dengan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang melekat pada profesi guru. Menurutnya, sudah selayaknya guru juga dihargai jasanya dalam mendidik bangsa sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah agar guru lebih sejahtera dan dilindungi.

NEWS : 127.000 Guru Swasta Dukung SBY-Boediono

Ketua Umum Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jawa Tengah M Zen Adv mengatakan, sekitar 127.000 guru swasta di Jateng mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. M Zen mengatakan hal tersebut pada Rapat Koordinasi PGKSI Jateng di Gedung GRIS Pedurungan Semarang, Minggu (21/6).
Pada Rakor tersebut, PGKSI menyampaikan tiga pernyataan sikap kepada pemerintah yang akan datang, yaitu mendorong realisasi dan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD, mendorong pemerintahan memberi perhatian yang sama terhadap status guru PNS dan guru swasta, dan mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan PP Guru Swasta untuk melindungi hak-hak guru swasta di masa mendatang.
“Selama ini guru swasta kurang diperhatikan pemerintah, mulai dari pendidikan yang masih non-kualifikasi akademik S1 hingga gaji guru swasta yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR),” kata M Zen.
Acara tersebut juga diisi dengan penyerahan pernyataan sikap kepada Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng Abdul Kadir Karding yang juga hadir dan penandatangan spanduk dukungan kepada SBY-Boediono yang ditandatangani seluruh guru swasta dari 31 pengurus cabang yang hadir.
Menurut Karding, acara tersebut merupakan inisiatif PGKSI Jateng, dan dirinya hadir karena diundang. Karding berjanji akan menyampaikan pernyataan sikap dan aspirasi PGKSI kepada Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono.
Dalam sambutannya, Karding sependapat dengan PGKSI tentang perlunya keseimbangan anggaran pendidikan antara pendidikan negeri dan swasta. Karena itu, Karding merasa dukungan PGKSI kepada SBU-Boediono merupakan langkah yang tepat karena pasangan tersebut memiliki kemungkinan menang yang besar dibanding pasangan calon lain.
“Lebih baik memilih yang pasti menang daripada memilih yang akan kalah,” kata Karding.
Karding juga menegaskan tidak sependapat dengan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang melekat pada profesi guru. Menurutnya, sudah selayaknya guru juga dihargai jasanya dalam mendidik bangsa sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah agar guru lebih sejahtera dan dilindungi.

NEWS : AWARDING NITE CARAKA FESTIVAL Mahasiswa Jogja Borong Penghargaan

Mahasiswa Jogja memborong sejumlah penghargaan dalam Caraka Festival Kreatif yang diumumkan pada Awarding Nite di Rama-Shinta Ballrom Hotel Patra Semarang, Sabtu (20/6).
Mahasiswa tersebut antara lain Noviana Putri dan Priscila dari Unika Atma Jaya meraih juara kedua kategori radio script, Bernadeta Susilowati (Unika Atma Jaya/juara ketiga radio script), Muhammad Watsik (STMIK AMIKOM/juara kedua graphic design), Noviana Putri (Unika Atma Jaya/ juara kedua photography), Griseldis Kripika Loe (Unika Atma Jaya/juara ketiga photography), serta David Rianto dan Fajrin Hutami (UGM) yang mendapat penghargaan khusus dari dewan juri karena membuat strategi komunikasi dan presentasi terbaik ketika workshop.
Menurut Noviana, even Caraka Festival Kreatif tersebut sangat berkesan karena dikhususkan bagi mahasiswa.
“Berbeda dengan Phinastika di Yogyakarta yang didominasi agensi periklanan profesional sehingga porsi untuk mahasiswa sangat sedikit,” tambah Bernadeta yang pernah menjadi panitia Phinastika bersama Noviana.
Hal senada dituturkan David, dia sangat terkesan dengan even tersebut karena mendapat banyak ilmu dan pengalaman dari para ahli di dunia periklanan.
Caraka Festival Kreatif merupakan festival periklanan yang diselenggarakan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Pengda Jateng bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Komunikasi Undip dan Desain Komunikasi Visual (DKV) Unika Soegijapranata Semarang.
Ketua P3I Pengda Jateng Bambang Pulunggono berharap even tersebut dapat mengangkat dan meramaikan dunia periklanan di Jateng yang masih kering dan sepi dari even-even periklanan tingkat nasional. Menurut Bambang Pulunggono, even tersebut akan dievaluasi dan diharapkan dapat menjadi program rutin P3I Pengda Jateng yang akan diadakan setahun sekali.
Sementara itu, pakar peiklanan Jateng Djito Kasilo dalam sambutannya berpesan kepada para peserta agar tetap mempertahankan kreatifitasnya karena hasil dari even tersebut tidak bisa dipetik seketika.
“Buah dari keberhasilan ini tidak bisa dipetik hari ini atau besok, tetapi butuh waktu bertahun-tahun. Kalian merupakan investasi bagi dunia periklanan Indonesia,” kata Djito.
Menurut Ketua Panitia Caraka Festival Kreatif Tegar Gigih Yudhanataru, even tersebut merupakan even periklanan pertama dan satu-satunya di Indonesia yang dikhususkan bagi mahasiswa. Tegar menuturkan, even pertama tersebut diikuti 357 peserta dari berbagai universitas se-Indonesia dengan memperlombakan lima kategori yaitu print ad, photography, design grafis, design packaging, dan radio script.
Sebelum pengumuman pemenang diselenggarakan, di tempat yang sama diluncurkan katalog P3I Pengda Jateng sebagai media interaksi antara P3I Pengda Jateng dan stakeholder, meliputi media massa dan para klien.
Ketua Bidang Daerah P3I Pusat Adnan Iskandar berharap katalog tersebut dapat membuat hubungan antara para klien, media dan P3I bisa lebih tertata dan saling mengerti serta acuan untuk melihat perkembangan dunia periklanan di Jateng.

Rabu, 17 Juni 2009

NEWS : UU PEMILU TIDAK KONSISTEN Implikasi Keputusan MK Tentang Suara Terbanyak

Pasca keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak, filosofi Pemilu 2009 mengalami perubahan. Bila sebelumnya dengan penetapan nomor urut, partai politik (parpol) diasumsikan sebagai pihak yang paling mengetahui kualitas calon anggota legislatif (caleg), maka dengan suara terbanyak diasumsikan pemilih sudah tahu kualitas caleg. Padahal kenyataannya para pemilih banyak yang belum mengenal dan mengetahui kualitas para caleg.
Hal tersebut mengemuka pada Seminar “Implikasi Formula Penetapan Caleg Terpilih di Pemilu 2009” yang diselenggarakan Jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan Program Magister Ilmu Politik Undip di Gedung Pascasarjana Undip Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Rabu (17/6).
Mantan Wakil Ketua KPU Pusat Prof Dr Ramlan Surbhakti MA PhD yang hadir sebagai pembicara mengatakan, UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu merupakan UU tentang Pemilu yang paling buruk dari segi kepastian hukum karena multitafsir dan tidak konsisten. Selain itu terdapat banyak kesalahan yang akhirnya menjadi perdebatan pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
“Pemilu 2009 menjadi amburadul karena terdapat inkonsistensi dalam pelaksanaannya. Keputusan MK yang mencabut pasal 214 tentang caleg terpilih berdasarkan nomor urut secara de facto juga membatalkan pasal 55 tentang caleg disusun berdasarkan nomor urut. Padahal keputusan MK keluar setelah daftar caleg disusun berdasarkan nomor urut,” kata Ramlan yang juga guru besar Unair Malang.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Undip Prof Dr Arif Hidayat MHum yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan UU merupakan produk politik yang dibuat oleh institusi politik sehingga banyak faktor di luar hukum yang yang mempengaruhi.
“Hukum menjadi cacat sejak lahir karena banyak kepentingan seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, agama dan lain-lain yang mempengaruhi,” kata Arif.
Selain itu, Arif menambahkan, UU merupakan aturan hukum yang masih memerlukan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Tetapi untuk UU Pemilu, aturan pelaksananya tidak bisa PP atau Perpres karena KPU merupakan lembaga independen, sehingga bila aturan pelaksananya menggunakan PP atau Perpres akan menjadikan KPU tidak independen.
“Oleh karena itu, secara implisit Peraturan KPU setara dengan PP atau Perpres. Begitu pula dengan keputusan MK yang juga setara dengan PP atau Perpres,” kata Arif.
Meski dinilai amburadul, pembicara lain, mantan Ketu KPU Jateng Fitriyah MA mengatakan hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu menghasilkan beberapa kelebihan dibandingkan Pemilu 2004.
“Berdasarkan para caleg yang terpilih, ternyata pemilu 2009 menghasilkan anggota legislatif yang lebih muda, lebih terdidik dan memiliki keterwakilan perempuan lebih tinggi dibanding Pemilu 2004,” kata Fitriyah yang juga pengajar Jurusan Pemerintahan Undip.
Namun dengan sistem yang digunakan, Pileg 2009 juga memiliki kekurangan berupa dana politik yang kian besar, caleg populer lebih berpeluang terpilih dan jumlah kasus sengketa hasil pemilu yang kian meningkat.
“Dengan kekurangan yang muncul tersebut, muncul pertanyaan, apakah wakil rakyat yang terpilih akan benar-benar mewakili rakyat atau menjadi wakil rakyat untuk mencari kerja,” tutup Fitriyah.

Jumat, 12 Juni 2009

NEWS : DINILAI MASIH WAJAR DAN LAYAK Penggunaan Facebook Untuk Kampanye

Pakar komunikasi pemasaran politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Djoko Setyabudi mengatakan pengunaan Facebook untuk kampanye oleh tim sukes atau tim kampanye calon presiden (capres) merupakan hal yang wajar karena sebagai salah satu moda komunikasi, saluran jejaring sosial seperti Facebook layak digunakan.
“Pengguna Facebook juga merupakan pemilih sehingga wajar jika tim sukses membidik pengguna Facebook,” kata Djoko ketika ditemui di Semarang, Sabtu (13/6).
Yang perlu diperhatikan, menurut Djoko, karakter atau segmentasi pengguna Facebook yang memungkinkan untuk memanipulasi atau tidak jujur dalam mengungkapkan diri dan gagasannya. Di Facebook terdapat ajakan untuk mendukung capres tertentu, tetapi belum tentu dukungan yang diberikan itu benar. Bisa jadi dukungan tersebut tidak jujur.
“Bisa juga karena dukungan yang diberikan secara spontan, maka sesuai dengan kondisi hati atau pemikiran saat itu. Bisa jadi setelah mengikuti perkembangan politik selanjutnya, dukungan tersebut berubah,” tutur Djoko
Menurut Djoko, segmen dari pengguna Facebook secara psikografis berasal dari kalangan yang memiliki akses internet dan menyukai jejaring sosial di dunia maya. Tetapi belum tentu pengguna Facebook tersebut peduli terhadap politik.
Terkait dengan adanya polling di Facebook yang mengunggulkan pasangan capres tertentu, Djoko mengatakan hasil polling tersebut tidak bisa dijadikan acuan, karena kondisi politik masih mungkin berkembang. Polling yang dilakukan pada hari-hari mendekati Pemilu Presiden 2009 justru merupakan hasil polling yang bisa dijadikan acuan.
Djoko mencontohkan polling yang terjadi di Amerika Serikat ketika pemilihan presiden. Tim sukses Barrack Obama tetap tidak bisa tenang meski sejumlah polling dan survei mengunggulkan Obama, karena mereka kuatir isu ras menjatuhkan Obama. Hal ini pernah terjadi ketika salah satu calon gubernur kulit hitam kalah padahal unggul di sejumlah polling.
Djoko menduga, hal yang sama bisa terjadi di Indonesia, ketika isu-isu yang menjatuhkan pasangan capres tertentu dihembuskan. Apalagi jejaring sosial seperti Facebook juga bisa digunakan sebagai sarana untuk black campaigne dan negatif campaigne.
“Pemilih, terutama pengguna Facebook, bisa saja saat ini mendukung pasangan capres tertentu, tetapi belum tentu dalam pemilihan mereka akan memilih calon tersebut,” tutup Djoko

Senin, 08 Juni 2009

NEWS : HATI-HATI SIKAPI HASIL SURVEI Media Jangan Mau Diperalat Tim Sukses

Masyarakat diharapkan hati-hati dan kritis terhadap hasil survei tentang tingkat elektabilitas calon yang berkompetisi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 yang mulai beredar di berbagai media massa. Masyarakat jangan terlalu percaya terhadap hasil survei karena sangat mungkin hasil survei tersebut dipublikasikan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pakar Metodologi Penelitian Sosial Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Tandiyo Pradekso MSc mengatakan hal tersebut ketika ditemui, Selasa (10/6) di Semarang terkait dengan beredarnya hasil survei di media massa yang dilakukan beberapa lembaga riset. Beberapa hasil survei tersebut kemudian menimbulkan kontroversi karena dinilai tidak independen dan menguntungkan pasangan calon presiden (capres) tertentu.
Menurut Tandiyo, banyak faktor-faktor prosedural dan pengolahan data yang tidak dicantumkan ketika hasil survei dipublikasikan. Yang sering dicantumkan ketika hasil survei dipublikasikan hanyalah sampling error, sementara instrumen survei seperti daftar pertanyaan, lokasi pengambilan sampel dan siapa responden tidak pernah diungkap. Padahal menurut Tandiyo hal-hal tersebut seharusnya diungkapkan karena bisa saja instrumen-instrumen tersebut dimanipulasi.
“Lokasi pengambilan sampel, misalnya, bisa dimanipulasi dengan mengambil lokasi kantong-kantong pendukung calon tertentu sehingga hasil survei akan mengunggulkan calon tersebut,” kata Tandiyo.
Meskipun begitu, Tandiyo tidak menyalahkan bila survei yang dilakukan lembaga survei didanai tim sukses atau konsultan kampanye calon tertentu. Menurut Tandiyo, lembaga survei merupakan lembaga ekonomi yang memiliki motif ekonomi untuk mencari dana. Yang harus jeli adalah media massa yang mempublikasikan hasil survei tersebut.
Senada dengan Tandiyo, pengamat media Undip Triyono Lukmantoro MSi mengatakan survei yang dilakukan beberapa lembaga, meskipun tidak semuanya, perlu dipertanyakan kembali metodologinya. Triyono mengamati, beberapa survei dilakukan lembaga media massa dengan metode mengirim pesan pendek (short message service/sms) melalui ponsel atau polling dengan media internet untuk memperoleh pendapat masyarakat.
“Dengan cara seperti itu, siapa yang menjadi responden tidak jelas. Bahkan tidak menutup kemungkinan responden yang sama memberikan pendapatnya lebih dari satu kali sehingga hasil survei menjadi tidak valid,” kata Triyono.
Menurut Triyono, media harus hati-hati dalam mempublikasikan hasil survei. Menurutnya, survei memiliki metodologi yang kompleks, tidak hanya pada angka-angka saja. Sebelum mempublikasikan, seharusnya media mengklarifikasi kepada lembaga yang melakukan survei.
“Nampaknya media enggan menanyakan kepada lembaga survei sehingga yang dipublikasikan hanya angka-angka saja. Tidak bisa dipungkiri hasil survei, terutama tentang tingkat elektabilitas calon memiliki nilai berita yang tinggi,” kata Triyono.
Menurut Triyono, media jangan mau menjadi alat propaganda tim sukses atau konsultan kampanye capres. Setidaknya media harus mempertanyakan tentang independensi survei yang dilakukan, siapa yang melakukan survei, siapa yang mendanai dan untuk apa survei dilakukan.
Terkait tentang survei yang dipublikasikan melalui iklan di media, Triyono mengatakan adanya kewenangan yang terpisah antara bagian iklan dan redaksi di media. “Sah saja bila media mempublikasikan hasil survei sebagai iklan, namun yang terpenting bagian redaksi media jangan memberitakan hasil survei tanpa klarifikasi terlebih dahulu. Berita harus memberi pembelajaran kepada masyarakat tentang survei yang dilakukan,” tutup Triyono.