"Industri rokok berusaha menyasar anak-anak muda untuk menjadi perokok," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Emil Salim beberapa waktu lalu.
Pernyataan Emil tampaknya memang perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Generasi muda yang menjadi sasaran industri rokok untuk menjadi perokok bukanlah isapan jempol, tetapi merupakan hal yang nyata.
Tampilkan postingan dengan label story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label story. Tampilkan semua postingan
Kamis, 10 Maret 2016
Senin, 07 Maret 2016
PENGALAMAN MENJADI TERDAKWA DI PENGADILAN
Jumat (26/2) lalu seusai meliput relokasi warga Kalijodo di Rumah Susun Marunda, saya dihentikan oleh seorang polisi lalu lintas di depan pintu masuk Pelabuhan Tanjung Priok. Penyebabnya adalah lampu sepeda motor saya tidak menyala. Memang saklar lampu sepeda motor saya rupanya sering tergeser sehingga tanpa disadari lampu tidak menyala.
Polisi lalu lintas itu bertanya sesuai prosedur, "Dari mana dan mau ke mana?". Saya jawab, "Dari Marunda mau kembali ke kantor,". Dia lalu meminta saya menunjukkan SIM dan STNK.
Polisi lalu lintas itu bertanya sesuai prosedur, "Dari mana dan mau ke mana?". Saya jawab, "Dari Marunda mau kembali ke kantor,". Dia lalu meminta saya menunjukkan SIM dan STNK.
Selasa, 01 Maret 2016
BUAH SIMALAKAMA PROSTITUSI Oleh Dewanto Samodro
Jakarta, 29/2 (Antara) - Perhatian sebagian masyarakat masih menuju pada penertiban Kalijodo, Jakarta Utara, salah satu kawasan prostitusi untuk kelas bawah yang masih tersisa di Ibu Kota.
Penertiban tersebut dilakukan karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menilai kawasan prostitusi dan permukiman rumah tangga tersebut berada di lahan yang seharusnya digunakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH).
Penertiban tersebut dilakukan karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menilai kawasan prostitusi dan permukiman rumah tangga tersebut berada di lahan yang seharusnya digunakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH).
KEHIDUPAN BARU EKS WARGA KALIJODO DI MARUNDA Oleh Dewanto Samodro
Jakarta, 29/2 (Antara) - Belasan anak asyik bermain sepak bola di sebuah lapangan berplester di kompleks Rumah Susun Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (26/2).
Wajah mereka terlihat cerah, riang dan gembira seolah tidak ada beban, meskipun baru pindah ke hunian baru di Rumah Susun Marunda dari kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara.
Wajah mereka terlihat cerah, riang dan gembira seolah tidak ada beban, meskipun baru pindah ke hunian baru di Rumah Susun Marunda dari kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara.
Rabu, 24 Februari 2016
DARURAT GIZI DI TENGAH TINGGINYA KONSUMSI ROKOK Oleh Dewanto Samodro
Jakarta, 23/2 (Antara) - Indonesia telah darurat gizi, kata Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Jakarta (LDUI) Abdillah Ahsan pada seminar "Gizi Kurang, Kemiskinan dan Konsumsi Rokok" di Jakarta, Selasa.
Pernyataan Abdillah tersebut bisa jadi ada benarnya. Setidaknya, apa yang disampaikan ahli gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Diah Mulyawati Utari mendukung hal itu. Posisi masalah gizi di Indonesia memenuhi seluruh kategori yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pernyataan Abdillah tersebut bisa jadi ada benarnya. Setidaknya, apa yang disampaikan ahli gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Diah Mulyawati Utari mendukung hal itu. Posisi masalah gizi di Indonesia memenuhi seluruh kategori yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selasa, 29 September 2015
PANTASKAH KRETEK ADA DALAM RUU KEBUDAYAAN?
Oleh Dewanto Samodro
Jakarta, 28/9 (Antara) - Belum usai permasalahan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang dituding proindustri dengan mengesampingkan isu kesehatan, kelompok pendukung pengendalian tembakau lagi-lagi berteriak karena Badan Legislasi DPR memasukkan kretek dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan.
Jakarta, 28/9 (Antara) - Belum usai permasalahan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang dituding proindustri dengan mengesampingkan isu kesehatan, kelompok pendukung pengendalian tembakau lagi-lagi berteriak karena Badan Legislasi DPR memasukkan kretek dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan.
Selasa, 11 Agustus 2015
MUNGKINKAH "PELANGI" ITU BERKIBAR DI INDONESIA? (Bagian Ketiga-Selesai) Oleh Dewanto Samodro
Meskipun euforia pelegalan pernikahan sejenis di seluruh negara bagian Amerika Serikat juga sampai di Indonesia, diyakini hal tersebut tidak akan terjadi di Tanah Air.
Kelompok pelaku cinta sejenis dan para pendukungnya menganggap pelegalan pernikahan sejenis di Amerika Serikat sebagai kemenangan kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT)
Kelompok pelaku cinta sejenis dan para pendukungnya menganggap pelegalan pernikahan sejenis di Amerika Serikat sebagai kemenangan kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT)
MUNGKINKAH "PELANGI" ITU BERKIBAR DI INDONESIA? (Bagian Kedua) Oleh Dewanto Samodro
Para pelaku homoseksualisme, baik lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), dan para pendukungnya, kukuh menyatakan bahwa perilaku tersebut bukanlah sebuah penyakit kejiwaan.
Dasar pendapat itu adalah dikeluarkannya homoseksualisme dari Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1990.
MUNGKINKAH "PELANGI" ITU BERKIBAR DI INDONESIA? (Bagian Pertama) Oleh Dewanto Samodro
Pelegalan pernikahan sejenis di Amerika Serikat disambut euforia oleh para pelaku cinta sejenis, dan para pendukungnya, di seluruh dunia.
Mereka tampaknya berharap pelegalan pernikahan sejenis oleh Amerika Serikat, yang merupakan "kiblat" kebebasan dunia, juga diikuti oleh negara-negara lain.
Minggu, 08 Desember 2013
LAMUNAN DI SEBUAH BUS KOTA
Hari itu, aku berangkat agak siang. Menggunakan kereta rel listrik dari Stasiun Sudimara, kemudian turun di Stasiun Tanah Abang. Dari Stasiun Tanah Abang, perjalanan dilanjutkan menggunakan Kopaja 502 jurusan Tanah Abang-Kampung Melayu.
Seperti biasa, waktu di dalam bus kota kuhabiskan dengan melamunkan berbagai hal, mulai dari hal-hal yang melankolik hingga permasalahan masyarakat yang kulihat di sepanjang jalan.
Seperti biasa, waktu di dalam bus kota kuhabiskan dengan melamunkan berbagai hal, mulai dari hal-hal yang melankolik hingga permasalahan masyarakat yang kulihat di sepanjang jalan.
Jumat, 06 September 2013
KONSERVASI ALAM DAN SAKSI SEJARAH DI TAMBLING
![]() |
Papan selamat datang Tambling Wildlife Nature Conservation. (Foto: Dewanto Samodro) |
Kawasan konservasi alam yang menjadi bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan itu saat ini dikelola oleh Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) Artha Graha Peduli. Tak hanya flora dan fauna, di kawasan TWNC juga terdapat mercusuar tua yang menjadi saksi letusan Gunung Krakatau pada 1883.
Kemajuan kelas ekonomi PT KAI
![]() |
Perlintasan kereta api Permata Hijau Jakarta (Foto: Dewanto Samodro) |
Pun begitu bagi saya, yang selama ini "menjauh" dari kereta ekonomi untuk tujuan jarak jauh. Meskipun sudah pernah mendengar bahwa kelas ekonomi kereta api kini sudah lebih baik karena berpendingin udara dan tak ada lagi penumpang berdiri, tapi bayangan betapa "repotnya" naik kereta kelas tersebut masih tetap ada di dalam benak.
Rabu, 16 Mei 2012
UPAYA KENTHUS LESTARIKAN DAN KEMBANGKAN KESENIAN JAWA
Oleh Dewanto Samodro
Meskipun
dalam keadaan sakit, Arjuna seketika berangkat ke Padepokan Widarakandang
meninggalkan saudara dan istri-istrinya di Kesatriaan Madukara karena mendengar
sayembara yang diadakan Patih Udawa memperebutkan Endang Larasati, adik patih
Prabu Kresna dari Kerajaan Dwarawati.
Pementasan WO Bharata dibuka dengan Tari Gambyong |
Senin, 30 April 2012
Menengok George Town, Kota Lama Penang, Malaysia
Jalan
Keharmonisan, Simbol Kerukunan Empat Agama
Oleh: Dewanto Samodro dari Penang, Malaysia
Oleh: Dewanto Samodro dari Penang, Malaysia
Bagi masyarakat Indonesia, negara bagian Penang di
Malaysia lebih dikenal sebagai destinasi wisata medis. Padahal, di George Town,
ibu kota Penang, terdapat wisata sejarah yang cukup menarik.
Sabtu, 07 Maret 2009
STORY : Cinta dan Kebahagiaan
Mentari mulai terbenam, senja pun mulai naik. Tapi aku masih saja terdiam di tempat ini. Duduk di atas gundukan tanah yang mulai mengering ini. Kulihat purnama mulai memperlihatkan keindahannya.
“ Ningsih…,” nama itulah yang selalu kuingat dan kusimpan di dalam hatiku yang selalu hidup. Karena dialah aku seperti ini sekarang. Karena dialah aku memilih jalan ini. Dan karena perasaan rinduku kepadanya, saat ini aku lari dari tempat terkutuk itu.
Purnama mulai tinggi, pelan tapi pasti aku meninggalkan tempat ini. Aku harus menemui Ningsih. Rasa rindu ini sudah tak tertahankan. Aku tahu dimana dia berada saat ini.
***********************
Seperti biasa, dia ada di beranda rumah saat ini. Menikmati indahnya purnama dan bintang – bintang. Aku pernah berselisih dengannya, tentang mana yang lebih indah antara purnama dan bintang – bintang. Aku lebih memilih purnama, sedangkan dia lebih memilih bintang.
” Bintang memiliki cahayanya sendiri, sedangkan purnama hanyalah memantulkan cahaya matahari,” katanya ketika itu.
” Tapi alangkah bijaksananya purnama. Meskipun tidak memancarkan cahaya sendiri, ia mau membagikan cahaya matahari yang didapatnya kepada bumi. Maka ialah pelita di malam hari,” bantahku.
Ah, itu semua adalah masa lalu. Masa – masa indahku bersama Ningsih, perempuan yang kucintai. Perempuan yang kucintai dan takkan pernah kumiliki, karena kutahu ada laki – laki lain di hatinya yang dia cintai. Tapi aku tak pernah menyesal mencintainya. Bagiku, cinta bukanlah tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita lakukan.
Ya, demi seseorang yang kucintai aku rela melakukan apa saja. Apa saja untuk membuatnya bahagia. Meskipun itu harus mengorbankan kebahagiaanku, mengorbankan hidupku. Mungkin aku adalah seorang yang bodoh, tetapi Ningsih telah membuatku yakin bahwa aku bukan orang bodoh. Mencintainya bukanlah suatu kebodohan, tetapi suatu anugerah karena tidak pernah kutemukan perempuan seperti Ningsih.
Aku tahu Ningsih mencintai orang lain. Aku senang dia percaya padaku. Meskipun tahu aku mencintainya, tetapi dia mau bercerita kepadaku. Dia mencintai seorang laki – laki, dan laki – laki itu pun mencintainya. Krisna nama laki – laki itu. Tetapi sayang hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua Ningsih. Berbagai cara telah dicoba untuk meyakinkan orang tuanya. Tetapi rupanya mereka bersikeras, Ningsih tidak boleh berhubungan dengan Krisna.
Akhirnya Ningsih mengalah, dia mau mengikuti orang tuanya. Tetapi dia meminta waktu untuk menyelesaikan semua hal itu dengan Krisna. Begitu pun dengan Krisna, dia cukup tahu diri. Tidak akan dia memaksakan, bila memang hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua Ningsih.
Tetapi rupanya tidak mudah menyelesaikan semua permasalahan ini. Aku tahu begitu dalam rasa cinta Ningsih pada Krisna, begitu pula perasaan Krisna pada Ningsih. Terkadang aku merasa sedih melihat mereka, terutama kepada Ningsih. Pernah dia menangis di depanku karena begitu keras orang tuanya sampai – sampai mereka begitu membenci Krisna.
Ah, itu semua adalah masa lalu. Masa – masa duka bagi Ningsih. Tetapi aku bahagia sekarang, karena telah datang masa – masa bahagia baginya. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga.
” Ada di sini kau ternyata,” Krisna datang menghampiri Ningsih,” Apa yang sedang kau lakukan, Bintangku?”
” Malam ini purnama, dan aku tahu Putra sangat mengagumi keindahan purnama,” kata Ningsih,”Entah mengapa aku merasa bahwa dia akan datang malam ini.”
” Mengapa berkata seperti itu? Kau tahu itu takkan mungkin, dia...”
” Aku tahu!” potong Ningsih,” Aku hanya tidak tahu apakah aku harus merasa sedih atau bahagia saat ini,”
” Putra orang yang baik. Aku pun merasa kasihan padanya,” kata Krisna
” Jangan kasihan padanya, Putra tidak suka dikasihani. Dia yakin bahwa apa yang terjadi padanya adalah jalan yang harus dia tempuh.”
Aku tersenyum mendengar kata – kata Ningsih.
” Hai, ruh yang sesat!” kudengar suara di belakangku. Aku pun menoleh. Sial! Kulihat dua malaikat iblis datang menghampiriku. Rupanya mereka berhasil melacakku sampai di sini.
” Di sini rupanya kau. Kami berhasil melacakmu sampai ke kuburmu, dan rupanya kau berada disini,” kata salah satu dari malaikat iblis itu.
” Ya, aku ada di sini. Sekedar berjalan – jalan saja,” kataku sambil tersenyum sinis.
” Jangan membual! Kami tahu kau melarikan diri dari pekerjaanmu di tempat tuan kami.”
” Ha...ha...,aku memang melarikan diri sebentar dari tempat terkutuk itu.”
”Sekarang kau harus kembali bersama kami. Sudah cukup kau menyusahkan kami.”
Aku hanya terdiam. Kulihat lagi ke arah Ningsih dan Krisna. Ya, aku memang sudah mati. Tapi aku mati dengan bahagia, karena setelah kematianku, orang tua Ningsih akhirnya merestui hubungan mereka.
” Bila kau dengar kabar kematianku, tolong sampaikan pada ahli warisku, janganlah menyesali kematianku dan jangan menyalahkan siapa – siapa tentang kematianku. Bila aku mati karena sakit, jangan salahkan dokter yang merawatku. Bila aku mati karena kecelakaan, jangan salahkan orang yang mencelakakanku. Bila aku mati karena perang, jangan salahkan orang yang memerangiku. Bila aku mati terbunuh, jangan salahkan orang yang membunuhku. Aku mati karena itu adalah akhir dari jalan hidupku,” begitu aku pernah berpesan pada Ningsih. Aku memang selalu berpikir bahwa aku akan mati muda, dan aku tidak menyesal.
” Putra pernah berpesan padaku, untuk disampaikan pada ahli warisnya, bahwa jangan ada yang menyesali kematiannya. Aku pun merasa sebagai ahli warisnya dan aku tak kan menyesal,” kata Ningsih.
” Putra selalu berharap atas kebahagiaanku, begitu katanya. Dan aku bahagia, karena akhirnya orang tuaku merestui hubungan kita,” kata Ningsih,”Aku akan selalu mengingatnya, dan kuharap di kehidupan yang kekal kelak aku bisa bertemu lagi dengannya,”
Aku menunduk mendengar kata – kata Ningsih. Sayang sekali, Ningsih. Mungkin apa yang kau harapkan itu tak kan terjadi. Kau bahagia di dunia, dan aku yakin kau akan bahagia pula di kehidupan yang kekal kelak. Aku yakin kau akan berada di tempat yang layak. Entah di surga atau di neraka, tetapi itu adalah milik Tuhan. Tetapi aku hanya akan berada di neraka milik iblis, menjadi budak iblis.
” Apa yang kau harap dengan datang ke tempat ini. Menemui perempuan yang kau cintai, tetapi tidak mencintaimu. Kau ini benar – benar bodoh. Baik hidup maupun mati, kau tetap saja bodoh,” cela malaikat iblis.
” Mencintai Ningsih bukanlah suatu kebodohan. Apa pun yang telah kulakukan tidak akan kusesali. Satu – satunya kebodohanku adalah percaya pada tuanmu, iblis yang terkutuk,” balasku.
” Kau sendiri yang meminta untuk menukar jiwa dan nyawamu dengan keikhlasan orang tua Ningsih dan kebahagiaan Ningsih. Mengapa kau sekarang mencerca tuan kami?”
” Aku memang bodoh, tapi aku tidak tolol. Kau pikir aku tidak tahu, iblis tidak punya kemampuan untuk membuat seseorang bahagia, iblis hanya bisa menyesatkan seseorang. Aku tahu dan yakin kebahagiaan Ningsih adalah pemberian dari Tuhan, Dia Yang Maha Pemberi.”
” Ha...ha... tapi itu semua sudah terlanjur. Jiwamu milik tuan kami sekarang, kau harus tinggal bersama kami di neraka iblis dan menjadi budak tuan kami. Ha...ha...”
Ya, malaikat iblis itu benar. Semua sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah tidak bisa merubah semua itu. Sekarang aku harus kembali ke neraka iblis dan kembali menjadi budak iblis. Tetapi aku tetap bahagia. Karena aku tahu,perempuan yang kucintai akan hidup bahagia. Selamat tinggal, Ningsih. Nikmatilah kebahagiaanmu...
“ Ningsih…,” nama itulah yang selalu kuingat dan kusimpan di dalam hatiku yang selalu hidup. Karena dialah aku seperti ini sekarang. Karena dialah aku memilih jalan ini. Dan karena perasaan rinduku kepadanya, saat ini aku lari dari tempat terkutuk itu.
Purnama mulai tinggi, pelan tapi pasti aku meninggalkan tempat ini. Aku harus menemui Ningsih. Rasa rindu ini sudah tak tertahankan. Aku tahu dimana dia berada saat ini.
***********************
Seperti biasa, dia ada di beranda rumah saat ini. Menikmati indahnya purnama dan bintang – bintang. Aku pernah berselisih dengannya, tentang mana yang lebih indah antara purnama dan bintang – bintang. Aku lebih memilih purnama, sedangkan dia lebih memilih bintang.
” Bintang memiliki cahayanya sendiri, sedangkan purnama hanyalah memantulkan cahaya matahari,” katanya ketika itu.
” Tapi alangkah bijaksananya purnama. Meskipun tidak memancarkan cahaya sendiri, ia mau membagikan cahaya matahari yang didapatnya kepada bumi. Maka ialah pelita di malam hari,” bantahku.
Ah, itu semua adalah masa lalu. Masa – masa indahku bersama Ningsih, perempuan yang kucintai. Perempuan yang kucintai dan takkan pernah kumiliki, karena kutahu ada laki – laki lain di hatinya yang dia cintai. Tapi aku tak pernah menyesal mencintainya. Bagiku, cinta bukanlah tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita lakukan.
Ya, demi seseorang yang kucintai aku rela melakukan apa saja. Apa saja untuk membuatnya bahagia. Meskipun itu harus mengorbankan kebahagiaanku, mengorbankan hidupku. Mungkin aku adalah seorang yang bodoh, tetapi Ningsih telah membuatku yakin bahwa aku bukan orang bodoh. Mencintainya bukanlah suatu kebodohan, tetapi suatu anugerah karena tidak pernah kutemukan perempuan seperti Ningsih.
Aku tahu Ningsih mencintai orang lain. Aku senang dia percaya padaku. Meskipun tahu aku mencintainya, tetapi dia mau bercerita kepadaku. Dia mencintai seorang laki – laki, dan laki – laki itu pun mencintainya. Krisna nama laki – laki itu. Tetapi sayang hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua Ningsih. Berbagai cara telah dicoba untuk meyakinkan orang tuanya. Tetapi rupanya mereka bersikeras, Ningsih tidak boleh berhubungan dengan Krisna.
Akhirnya Ningsih mengalah, dia mau mengikuti orang tuanya. Tetapi dia meminta waktu untuk menyelesaikan semua hal itu dengan Krisna. Begitu pun dengan Krisna, dia cukup tahu diri. Tidak akan dia memaksakan, bila memang hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua Ningsih.
Tetapi rupanya tidak mudah menyelesaikan semua permasalahan ini. Aku tahu begitu dalam rasa cinta Ningsih pada Krisna, begitu pula perasaan Krisna pada Ningsih. Terkadang aku merasa sedih melihat mereka, terutama kepada Ningsih. Pernah dia menangis di depanku karena begitu keras orang tuanya sampai – sampai mereka begitu membenci Krisna.
Ah, itu semua adalah masa lalu. Masa – masa duka bagi Ningsih. Tetapi aku bahagia sekarang, karena telah datang masa – masa bahagia baginya. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga.
” Ada di sini kau ternyata,” Krisna datang menghampiri Ningsih,” Apa yang sedang kau lakukan, Bintangku?”
” Malam ini purnama, dan aku tahu Putra sangat mengagumi keindahan purnama,” kata Ningsih,”Entah mengapa aku merasa bahwa dia akan datang malam ini.”
” Mengapa berkata seperti itu? Kau tahu itu takkan mungkin, dia...”
” Aku tahu!” potong Ningsih,” Aku hanya tidak tahu apakah aku harus merasa sedih atau bahagia saat ini,”
” Putra orang yang baik. Aku pun merasa kasihan padanya,” kata Krisna
” Jangan kasihan padanya, Putra tidak suka dikasihani. Dia yakin bahwa apa yang terjadi padanya adalah jalan yang harus dia tempuh.”
Aku tersenyum mendengar kata – kata Ningsih.
” Hai, ruh yang sesat!” kudengar suara di belakangku. Aku pun menoleh. Sial! Kulihat dua malaikat iblis datang menghampiriku. Rupanya mereka berhasil melacakku sampai di sini.
” Di sini rupanya kau. Kami berhasil melacakmu sampai ke kuburmu, dan rupanya kau berada disini,” kata salah satu dari malaikat iblis itu.
” Ya, aku ada di sini. Sekedar berjalan – jalan saja,” kataku sambil tersenyum sinis.
” Jangan membual! Kami tahu kau melarikan diri dari pekerjaanmu di tempat tuan kami.”
” Ha...ha...,aku memang melarikan diri sebentar dari tempat terkutuk itu.”
”Sekarang kau harus kembali bersama kami. Sudah cukup kau menyusahkan kami.”
Aku hanya terdiam. Kulihat lagi ke arah Ningsih dan Krisna. Ya, aku memang sudah mati. Tapi aku mati dengan bahagia, karena setelah kematianku, orang tua Ningsih akhirnya merestui hubungan mereka.
” Bila kau dengar kabar kematianku, tolong sampaikan pada ahli warisku, janganlah menyesali kematianku dan jangan menyalahkan siapa – siapa tentang kematianku. Bila aku mati karena sakit, jangan salahkan dokter yang merawatku. Bila aku mati karena kecelakaan, jangan salahkan orang yang mencelakakanku. Bila aku mati karena perang, jangan salahkan orang yang memerangiku. Bila aku mati terbunuh, jangan salahkan orang yang membunuhku. Aku mati karena itu adalah akhir dari jalan hidupku,” begitu aku pernah berpesan pada Ningsih. Aku memang selalu berpikir bahwa aku akan mati muda, dan aku tidak menyesal.
” Putra pernah berpesan padaku, untuk disampaikan pada ahli warisnya, bahwa jangan ada yang menyesali kematiannya. Aku pun merasa sebagai ahli warisnya dan aku tak kan menyesal,” kata Ningsih.
” Putra selalu berharap atas kebahagiaanku, begitu katanya. Dan aku bahagia, karena akhirnya orang tuaku merestui hubungan kita,” kata Ningsih,”Aku akan selalu mengingatnya, dan kuharap di kehidupan yang kekal kelak aku bisa bertemu lagi dengannya,”
Aku menunduk mendengar kata – kata Ningsih. Sayang sekali, Ningsih. Mungkin apa yang kau harapkan itu tak kan terjadi. Kau bahagia di dunia, dan aku yakin kau akan bahagia pula di kehidupan yang kekal kelak. Aku yakin kau akan berada di tempat yang layak. Entah di surga atau di neraka, tetapi itu adalah milik Tuhan. Tetapi aku hanya akan berada di neraka milik iblis, menjadi budak iblis.
” Apa yang kau harap dengan datang ke tempat ini. Menemui perempuan yang kau cintai, tetapi tidak mencintaimu. Kau ini benar – benar bodoh. Baik hidup maupun mati, kau tetap saja bodoh,” cela malaikat iblis.
” Mencintai Ningsih bukanlah suatu kebodohan. Apa pun yang telah kulakukan tidak akan kusesali. Satu – satunya kebodohanku adalah percaya pada tuanmu, iblis yang terkutuk,” balasku.
” Kau sendiri yang meminta untuk menukar jiwa dan nyawamu dengan keikhlasan orang tua Ningsih dan kebahagiaan Ningsih. Mengapa kau sekarang mencerca tuan kami?”
” Aku memang bodoh, tapi aku tidak tolol. Kau pikir aku tidak tahu, iblis tidak punya kemampuan untuk membuat seseorang bahagia, iblis hanya bisa menyesatkan seseorang. Aku tahu dan yakin kebahagiaan Ningsih adalah pemberian dari Tuhan, Dia Yang Maha Pemberi.”
” Ha...ha... tapi itu semua sudah terlanjur. Jiwamu milik tuan kami sekarang, kau harus tinggal bersama kami di neraka iblis dan menjadi budak tuan kami. Ha...ha...”
Ya, malaikat iblis itu benar. Semua sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah tidak bisa merubah semua itu. Sekarang aku harus kembali ke neraka iblis dan kembali menjadi budak iblis. Tetapi aku tetap bahagia. Karena aku tahu,perempuan yang kucintai akan hidup bahagia. Selamat tinggal, Ningsih. Nikmatilah kebahagiaanmu...
Jumat, 06 Maret 2009
STORY : Kisah Seorang (Aktivis) Mahasiswa
Aku dilahirkan pada bulan Desember 1985, pada masa kejayaan rezim Orde Baru. Di kota Solo, kuhabiskan masa kecilku hingga umur lima tahun. Menjelang aku bersekolah, keluargaku pindah ke kota Semarang. Di kota Semarang inilah kujalani masa – masa sekolahku, mulai dari Taman Kanak – Kanak hingga SMU.
Ketika duduk di kelas III SMU, di jurusan sosial, aku mulai suka membaca buku. Aku suka membaca buku - buku sosial , politik, filsafat, maupun sastra, tapi aku kurang tertarik dengan bidang ekonomi. Yah, kurasa aku memang takkan menjadi seorang ekonom. Dari buku – buku yang kubaca itulah pandanganku mulai berubah, terutama tentang politik dan ideologi. Bagiku politik adalah suatu hal yang kotor dan busuk. Kawan bisa menjadi lawan, dan lawan bisa menjadi kawan. Hal itu dilakukan hanya untuk melanggengkan kedudukan, dan kedudukan adalah alat untuk memperkaya diri sendiri.
Menjelang aku lulus SMU, aku mengalami kejadian yang juga merubah pandanganku. Sekolahku ketika itu berada persis di depan balaikota. Pada suatu hari, seusai pulang sekolah, aku melihat ada aksi demonstrasi mahasiswa di balaikota. Sambil membawa bendera organisasinya, mereka meneriakan tuntutan mereka. Jujur saja, aku kurang simpati, bahkan aku merasa terganggu. Dengan suara keras mereka berteriak – teriak, bahkan ada pula yang menghujat tokoh tertentu. Itukah gambaran mahasiswa, pikirku. Kelak ketika menjadi mahasiswa aku takkan seperti mereka, janjiku dalam hati.
Setelah lulus SMU, aku diterima di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik salah satu Universitas di Semarang.. Kadang aku sering tertawa sendiri, bagaimana mungkin aku yang tidak suka dengan politik masuk ke fakultas yang mempelajari politik. Di kampus aku mulai belajar tentang dunia jurnalistik dan tulis menulis. Inilah jalan yang akan aku pilih kelak, pikirku. Menjadi demonstran tidak harus turun ke jalan, kita bisa menyampaikan aspirasi melalui tulisan.
Aku pun mulai suka menulis. Beberapa tulisanku mulai sering dimuat di media, mulai dari surat pembaca, sampai artikel ilmiah. Bahkan tidak jarang kawan – kawanku di kampus mengajak berdiskusi setelah membaca tulisanku. Tapi aku juga mulai mempunyai musuh, tentu saja orang – orang atau kelompok yang tidak suka dengan tulisanku. Tidak jarang mereka adalah kawan – kawanku sendiri di kampus. Tapi aku tak peduli. Lebih baik aku diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, kata Gie.
*******************
Wahyu membaca tulisan milik Putra. Putra Baruna, sahabatnya, saat ini sedang berada di rumah sakit. Sudah tiga hari ia mengalami koma, akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam perjalanan pulang dari kampus ia ditabrak oleh sebuah mobil. Dan si pelaku rupanya juga tidak bertanggungjawab, ia melarikan diri setelah menabrak Putra.
Wahyu mengacungkan beberapa lembar loose leaf itu kepada Lina. Dari Linalah Wahyu mendapatkan tulisan Putra itu.
”Darimana kamu mendapatkan ini,” tanya Wahyu.
”Di dalam binder Putra,” jawab Lina.
Wahyu melanjutkan membaca.
*******************
Aku sering tidak habis pikir dengan kehidupan politik di kampusku sendiri. Di sini, di kampus, seharusnya kita mempelajari kehidupan politik yang baik, sesuai dengan idealisme kita sebagai mahasiswa. Tapi pada kenyataannya, kehidupan politik mahasiswa di kampusku tidak jauh berbeda dengan politik praktis di pemerintahan sana. Ada kawan, ada lawan, black champaigne, curi start kampanye, penggelembungan suara, bahkan tidak jarang konflik yang mulai menjurus ke arah kontak fisik.Oh man, bagaimana mungkin negara ini bisa maju kalau calon – calon politikus di kampus yang penuh idealisme sudah menerapkan politik kotor!
Pernah suatu kali aku menulis suatu artikel di media. Mengkritisi tentang kehidupan politik di kampusku itu. Salah satu yang aku angkat adalah peran senat mahasiswa. Dalam pemilihan, mereka mengatasnamakan jurusan atau program studi. Tapi setelah mereka terpilih, aku tidak pernah melihat mereka memperjuangkan kepentingan mahasiswa dari jurusan mereka. Bahkan, anggota senat dari jurusan yang sama tidak pernah berkoordinasi untuk memperjuangkan kepentingan konstituen mereka. Yang kulihat, mereka sibuk memperjuangkan kepentingan organisasi mereka masing – masing, yang notabene tidak ada dalam struktur intra kampus.
Dan tebak apa yang terjadi. Aku mulai dimusuhi oleh para politikus – politikus kampus itu, tak terkecuali para anggota senat mahasiswa. Hingga pernah aku diundang dalam suatu sidang senat untuk mempertanggungjawabkan tulisanku itu. Lucunya, tidak semua anggota senat hadir. Bahkan dalam pengamatanku yang hadir saat itu didominasi oleh anggota – anggota senat dari satu organisasi.
Aku pernah bertanya pada diriku sendiri. Bisakah anggota senat mahasiswa itu di-recall seperti halnya anggota legislatif di pemerintahan? Kalau memang bisa, lalu siapa yang berhak melakukan itu? Apakah dari mahasiswa langsung, atau dari Himpunan Mahasiswa? Sayangnya aku belum bisa menemukan jawabannya secara pasti. Seharusnya, karena mereka dipilih oleh mahasiswa, sebagai konstituen, mahasiswa bisa me-recall anggota senat yang dipandang tidak representatif dengan kepentingan mereka.
Tapi aku tidak sendiri. Tidak lama setelah insiden sidang senat itu aku diundang untuk menghadiri rapat Himpunan Mahasiswa Jurusanku. Mereka meminta pendapatku lebih lanjut tentang artikelku. Hingga dalam rapat diputuskan akan mengundang anggota senat dari jurusanku. Sayangnya rencana itu tidak berjalan lancar. Para anggota senat dengan didukung organisasi mereka, tidak setuju dengan rencana itu. Apalagi dengan adanya wacana, bahwa Himpunan Mahasiswa akan me-recall beberapa anggota senat yang tidak representatif dengan kepentingan jurusan. Mereka berpendapat, Himpunan Mahasiswa tidak berhak mengundang anggota senat, apalagi me-recall anggota senat. Tidak ada dasar yang kuat untuk itu, kata mereka. Sedangkan Himpunan Mahasiswa, sebagai konstituen merasa berhak untuk itu.
Permasalahan ini tidak ketemu jalan tengahnya. Bahkan konflik semakin meluas di kalangan mahasiswa. Pihak Dekanat sendiri berkesan masa bodoh. Menurut mereka mahasiswa sudah dewasa, sudah dapat menyelesaikan permasalahan sendiri. Lain halnya dengan pihak jurusan. Mereka masih berusaha untuk membantu meredakan konflik. Bahkan dengan difasilitasi Ketua Jurusan, kubu – kubu yang berseteru berusaha dipertemukan. Tetapi konflik semakin berlarut – larut. Di kampus sendiri kondisi sudah semakin panas. Setidaknya ada dua kubu yang berseteru saat itu. Pertama adalah Himpunan Mahasiswa didukung oleh mahasiswa – mahasiswa yang setuju dengan pemikiran mereka. Yang kedua adalah anggota senat yang didukung oleh organisasi mereka. Bahkan mahasiswa dari jurusan lain yang satu organisasi dengan mereka ikut pula mendukung.
*******************
”Aku nggak nyangka, apa yang dimulai Putra akan menjadi berlarut – larut seperti ini,” kata Lina.
”Ya, siapa yang nyangka. Kurasa nggak seorang pun,” sahut Wahyu.
“Bahkan dosen – dosen dibuat angkat tangan, nggak bisa apa – apa,“ tambah Wahyu.
Wahyu dan Lina sendiri adalah pengurus Himpunan Mahasiswa. Masih jelas di ingatan mereka, bagaimana situasi saat itu. Himpunan Mahasiswa menerima dengan baik keterlibatan dosen dalam menengahi konflik, tetapi anggota senat menolak dengan tegas. Permasalahan di lingkungan mahasiswa harus diselesaikan sendiri oleh mahasiswa, dosen hanya mengurusi permasalahan akademik, alasan mereka.
”Memang akhirnya dekanat turun tangan, setelah didesak oleh dosen – dosen jurusan kita. Tapi kayaknya keputusan yang diambil nggak pas deh,” kata Lina.
”Membekukan senat memang bukan keputusan yang terbaik. Tapi mau gimana lagi. Keputusan dekanat udah bulat. Walau diprotes sama anggota – anggota senat, toh jalan juga,”kata Wahyu.
”Tapi hasilnya... lihat beberapa temen kita dapet teror. Jelas teror itu berasal dari kelompok – kelompok yang mendukung senat. Bahkan Putra sendiri oleh mereka dianggap sebagai provokator dari kejadian ini semua,” kata Lina.
”Ya. Dan sekarang Putra kecelakaan,” kata Wahyu pelan.
”Kepikir nggak... jangan – jangan kecelakaan Putra itu rekayasa mereka,” kata Lina.
”Jangan berspekulasi lah. Toh kasus kecelakaannya Putra kan udah ditangani polisi. Yuk sekarang kita ke rumah sakit. Mudah – mudahan Putra udah sadar,” ajak Wahyu.
Mereka diam membisu dalam perjalanan ke rumah sakit. Putra adalah sahabat mereka. Sekalipun bukan pengurus Himpunan Mahasiswa, Putra sering memberi masukan kepada mereka tentang kegiatan – kegiatan Himpunan Mahasiswa. Sesampainya di rumah sakit, mereka bertemu dengan ayah dan kakak Putra. Ibu Putra telah meninggal ketika Putra kelas II SMU.
”Bagaimana keadaan Putra ?” tanya Lina kepada kakak putra.
”Belum ada perkembangan yang berarti. Tadi ada polisi datang ke sini. Katanya informasi tentang penabrak Putra tidak sesuai. Ternyata nomor polisi mobil si pelaku palsu,” jawab kakak Putra.
”Mungkinkah ada faktor kesengajaan dalam kecelakaan Putra?” tanya Wahyu.
”Polisi juga sudah menduga ke arah itu,” jawab kakak Putra.
*******************
Seperti prajurit mati di medan perang,
Seperti ksatria gugur di medan laga,
Akupun ingin mati untuk apa yang aku perjuangkan.
Bait puisi karangan Putra itu akan selalu diingat oleh Wahyu dan Lina. Saat ini mereka sedang bertakziah ke makam Putra. Putra Baruna, sahabat mereka telah tiada. Setelah empat hari koma, nyawa Putra tak tertolong. Pendarahan di kepalanya, mengakibatkannya meninggal. Dan pelaku penabrak Putra tetap saja tidak terungkap.
Ketika duduk di kelas III SMU, di jurusan sosial, aku mulai suka membaca buku. Aku suka membaca buku - buku sosial , politik, filsafat, maupun sastra, tapi aku kurang tertarik dengan bidang ekonomi. Yah, kurasa aku memang takkan menjadi seorang ekonom. Dari buku – buku yang kubaca itulah pandanganku mulai berubah, terutama tentang politik dan ideologi. Bagiku politik adalah suatu hal yang kotor dan busuk. Kawan bisa menjadi lawan, dan lawan bisa menjadi kawan. Hal itu dilakukan hanya untuk melanggengkan kedudukan, dan kedudukan adalah alat untuk memperkaya diri sendiri.
Menjelang aku lulus SMU, aku mengalami kejadian yang juga merubah pandanganku. Sekolahku ketika itu berada persis di depan balaikota. Pada suatu hari, seusai pulang sekolah, aku melihat ada aksi demonstrasi mahasiswa di balaikota. Sambil membawa bendera organisasinya, mereka meneriakan tuntutan mereka. Jujur saja, aku kurang simpati, bahkan aku merasa terganggu. Dengan suara keras mereka berteriak – teriak, bahkan ada pula yang menghujat tokoh tertentu. Itukah gambaran mahasiswa, pikirku. Kelak ketika menjadi mahasiswa aku takkan seperti mereka, janjiku dalam hati.
Setelah lulus SMU, aku diterima di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik salah satu Universitas di Semarang.. Kadang aku sering tertawa sendiri, bagaimana mungkin aku yang tidak suka dengan politik masuk ke fakultas yang mempelajari politik. Di kampus aku mulai belajar tentang dunia jurnalistik dan tulis menulis. Inilah jalan yang akan aku pilih kelak, pikirku. Menjadi demonstran tidak harus turun ke jalan, kita bisa menyampaikan aspirasi melalui tulisan.
Aku pun mulai suka menulis. Beberapa tulisanku mulai sering dimuat di media, mulai dari surat pembaca, sampai artikel ilmiah. Bahkan tidak jarang kawan – kawanku di kampus mengajak berdiskusi setelah membaca tulisanku. Tapi aku juga mulai mempunyai musuh, tentu saja orang – orang atau kelompok yang tidak suka dengan tulisanku. Tidak jarang mereka adalah kawan – kawanku sendiri di kampus. Tapi aku tak peduli. Lebih baik aku diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, kata Gie.
*******************
Wahyu membaca tulisan milik Putra. Putra Baruna, sahabatnya, saat ini sedang berada di rumah sakit. Sudah tiga hari ia mengalami koma, akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam perjalanan pulang dari kampus ia ditabrak oleh sebuah mobil. Dan si pelaku rupanya juga tidak bertanggungjawab, ia melarikan diri setelah menabrak Putra.
Wahyu mengacungkan beberapa lembar loose leaf itu kepada Lina. Dari Linalah Wahyu mendapatkan tulisan Putra itu.
”Darimana kamu mendapatkan ini,” tanya Wahyu.
”Di dalam binder Putra,” jawab Lina.
Wahyu melanjutkan membaca.
*******************
Aku sering tidak habis pikir dengan kehidupan politik di kampusku sendiri. Di sini, di kampus, seharusnya kita mempelajari kehidupan politik yang baik, sesuai dengan idealisme kita sebagai mahasiswa. Tapi pada kenyataannya, kehidupan politik mahasiswa di kampusku tidak jauh berbeda dengan politik praktis di pemerintahan sana. Ada kawan, ada lawan, black champaigne, curi start kampanye, penggelembungan suara, bahkan tidak jarang konflik yang mulai menjurus ke arah kontak fisik.Oh man, bagaimana mungkin negara ini bisa maju kalau calon – calon politikus di kampus yang penuh idealisme sudah menerapkan politik kotor!
Pernah suatu kali aku menulis suatu artikel di media. Mengkritisi tentang kehidupan politik di kampusku itu. Salah satu yang aku angkat adalah peran senat mahasiswa. Dalam pemilihan, mereka mengatasnamakan jurusan atau program studi. Tapi setelah mereka terpilih, aku tidak pernah melihat mereka memperjuangkan kepentingan mahasiswa dari jurusan mereka. Bahkan, anggota senat dari jurusan yang sama tidak pernah berkoordinasi untuk memperjuangkan kepentingan konstituen mereka. Yang kulihat, mereka sibuk memperjuangkan kepentingan organisasi mereka masing – masing, yang notabene tidak ada dalam struktur intra kampus.
Dan tebak apa yang terjadi. Aku mulai dimusuhi oleh para politikus – politikus kampus itu, tak terkecuali para anggota senat mahasiswa. Hingga pernah aku diundang dalam suatu sidang senat untuk mempertanggungjawabkan tulisanku itu. Lucunya, tidak semua anggota senat hadir. Bahkan dalam pengamatanku yang hadir saat itu didominasi oleh anggota – anggota senat dari satu organisasi.
Aku pernah bertanya pada diriku sendiri. Bisakah anggota senat mahasiswa itu di-recall seperti halnya anggota legislatif di pemerintahan? Kalau memang bisa, lalu siapa yang berhak melakukan itu? Apakah dari mahasiswa langsung, atau dari Himpunan Mahasiswa? Sayangnya aku belum bisa menemukan jawabannya secara pasti. Seharusnya, karena mereka dipilih oleh mahasiswa, sebagai konstituen, mahasiswa bisa me-recall anggota senat yang dipandang tidak representatif dengan kepentingan mereka.
Tapi aku tidak sendiri. Tidak lama setelah insiden sidang senat itu aku diundang untuk menghadiri rapat Himpunan Mahasiswa Jurusanku. Mereka meminta pendapatku lebih lanjut tentang artikelku. Hingga dalam rapat diputuskan akan mengundang anggota senat dari jurusanku. Sayangnya rencana itu tidak berjalan lancar. Para anggota senat dengan didukung organisasi mereka, tidak setuju dengan rencana itu. Apalagi dengan adanya wacana, bahwa Himpunan Mahasiswa akan me-recall beberapa anggota senat yang tidak representatif dengan kepentingan jurusan. Mereka berpendapat, Himpunan Mahasiswa tidak berhak mengundang anggota senat, apalagi me-recall anggota senat. Tidak ada dasar yang kuat untuk itu, kata mereka. Sedangkan Himpunan Mahasiswa, sebagai konstituen merasa berhak untuk itu.
Permasalahan ini tidak ketemu jalan tengahnya. Bahkan konflik semakin meluas di kalangan mahasiswa. Pihak Dekanat sendiri berkesan masa bodoh. Menurut mereka mahasiswa sudah dewasa, sudah dapat menyelesaikan permasalahan sendiri. Lain halnya dengan pihak jurusan. Mereka masih berusaha untuk membantu meredakan konflik. Bahkan dengan difasilitasi Ketua Jurusan, kubu – kubu yang berseteru berusaha dipertemukan. Tetapi konflik semakin berlarut – larut. Di kampus sendiri kondisi sudah semakin panas. Setidaknya ada dua kubu yang berseteru saat itu. Pertama adalah Himpunan Mahasiswa didukung oleh mahasiswa – mahasiswa yang setuju dengan pemikiran mereka. Yang kedua adalah anggota senat yang didukung oleh organisasi mereka. Bahkan mahasiswa dari jurusan lain yang satu organisasi dengan mereka ikut pula mendukung.
*******************
”Aku nggak nyangka, apa yang dimulai Putra akan menjadi berlarut – larut seperti ini,” kata Lina.
”Ya, siapa yang nyangka. Kurasa nggak seorang pun,” sahut Wahyu.
“Bahkan dosen – dosen dibuat angkat tangan, nggak bisa apa – apa,“ tambah Wahyu.
Wahyu dan Lina sendiri adalah pengurus Himpunan Mahasiswa. Masih jelas di ingatan mereka, bagaimana situasi saat itu. Himpunan Mahasiswa menerima dengan baik keterlibatan dosen dalam menengahi konflik, tetapi anggota senat menolak dengan tegas. Permasalahan di lingkungan mahasiswa harus diselesaikan sendiri oleh mahasiswa, dosen hanya mengurusi permasalahan akademik, alasan mereka.
”Memang akhirnya dekanat turun tangan, setelah didesak oleh dosen – dosen jurusan kita. Tapi kayaknya keputusan yang diambil nggak pas deh,” kata Lina.
”Membekukan senat memang bukan keputusan yang terbaik. Tapi mau gimana lagi. Keputusan dekanat udah bulat. Walau diprotes sama anggota – anggota senat, toh jalan juga,”kata Wahyu.
”Tapi hasilnya... lihat beberapa temen kita dapet teror. Jelas teror itu berasal dari kelompok – kelompok yang mendukung senat. Bahkan Putra sendiri oleh mereka dianggap sebagai provokator dari kejadian ini semua,” kata Lina.
”Ya. Dan sekarang Putra kecelakaan,” kata Wahyu pelan.
”Kepikir nggak... jangan – jangan kecelakaan Putra itu rekayasa mereka,” kata Lina.
”Jangan berspekulasi lah. Toh kasus kecelakaannya Putra kan udah ditangani polisi. Yuk sekarang kita ke rumah sakit. Mudah – mudahan Putra udah sadar,” ajak Wahyu.
Mereka diam membisu dalam perjalanan ke rumah sakit. Putra adalah sahabat mereka. Sekalipun bukan pengurus Himpunan Mahasiswa, Putra sering memberi masukan kepada mereka tentang kegiatan – kegiatan Himpunan Mahasiswa. Sesampainya di rumah sakit, mereka bertemu dengan ayah dan kakak Putra. Ibu Putra telah meninggal ketika Putra kelas II SMU.
”Bagaimana keadaan Putra ?” tanya Lina kepada kakak putra.
”Belum ada perkembangan yang berarti. Tadi ada polisi datang ke sini. Katanya informasi tentang penabrak Putra tidak sesuai. Ternyata nomor polisi mobil si pelaku palsu,” jawab kakak Putra.
”Mungkinkah ada faktor kesengajaan dalam kecelakaan Putra?” tanya Wahyu.
”Polisi juga sudah menduga ke arah itu,” jawab kakak Putra.
*******************
Seperti prajurit mati di medan perang,
Seperti ksatria gugur di medan laga,
Akupun ingin mati untuk apa yang aku perjuangkan.
Bait puisi karangan Putra itu akan selalu diingat oleh Wahyu dan Lina. Saat ini mereka sedang bertakziah ke makam Putra. Putra Baruna, sahabat mereka telah tiada. Setelah empat hari koma, nyawa Putra tak tertolong. Pendarahan di kepalanya, mengakibatkannya meninggal. Dan pelaku penabrak Putra tetap saja tidak terungkap.
Langganan:
Postingan (Atom)