Jumat, 29 Mei 2009

NEWS : STRATEGI PEMASARAN POLITIK KURANG TEPAT Bisa Membahayakan Citra Capres-Cawapres

Politik pencitraan yang dilakukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kurang efektif dan berpotensi menjadi blunder bagi citra kandidat yang sedang dibangun. Strategi komunikasi pemasaran politik yang dilakukan pasangan capres-cawapres dinilai kurang tepat dan hanya akan membangun citra untuk jangka pendek.
Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Djoko Setyabudi MM dan Dyah Pitaloka MA mengatakan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Jumat (29/5).
Djoko menilai, ketiga pasangan kandidat capres-cawapres melakukan strategi komunikasi pemasaran politik yang bisa membahayakan citra mereka. Misalnya iklan politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengambil nada jingle iklan yang identik dengan sebuah produk mie instan.
“Dengan mendengar nadanya saja, masyarakat pasti akan langsung ingat dengan produk mie instan. Bila tidak memperhatikan, masyarakat tidak akan tahu bahwa iklan tersebut merupakan iklan politik SBY. Apalagi tema yang dipakai pada iklan tersebut juga sama dengan tema iklan produk tersebut, yaitu keberagaman suku,” kata Djoko.
Sedangkan pasangan kandidat lainnya, Djoko menilai ketidaktepatan strategi komunikasi pemasaran politik mereka terletak pada cara menyingkat nama masing-masing pasangan yaitu Mega-Pro dan JK-Win.
”Mendengar nama Mega-Pro dan JK-Win, masyarakat pasti langsung teringat dengan salah satu merek kendaraan bermotor karena ada merek kendaraan bermotor yang produknya Mega Pro dan Win,” tutur Djoko.
Menurut Djoko, kemungkinan para kandidat tersebut berusaha membangun citra dengan meminjam citra brand yang sudah dikenal masyarakat. Tetapi hal ini bisa merugikan dan justru menguntungkan bagi citra brand yang dipinjam karena seolah-olah dilegitimasi para kandidat, terlebih bila kandidat tersebut terpilih.
”Citra brand tersebut sudah terbentuk dalam benak masyarakat. Tentunya sulit merubah citra yang sudah tertanam, apalagi meminjam citra yang telah dimiliki sebuah brand untuk membangun citra kandidat,” terang Djoko.
Senada dengan Djoko, Dyah Pitaloka mengatakan strategi komunikasi pemasaran politik yang dilakukan para kandidat berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Bahkan Dyah Pitaloka menilai yang dilakukan para kandidat tersebut hanyalah political selling, bukan political marketing.
”Iklan-iklan politik yang muncul lebih mengarah pada lomba jualan politik karena apa yang dilakukan para kandidat tersebut hanya menjual. Seharusnya iklan politik tidak hanya menjual tetapi juga ada sisi edukatif untuk orientasi jangka panjang,” kata Dyah Pitaloka yang akrab disapa Ita.
Menurut Ita, iklan dimasudkan untuk merubah perilaku seseorang. Pada iklan komersil diharapkan perilaku yang muncul, melakukan pembelian dan dilanjutkan dengan pembelian berikutnya. Tetapi, kata Ita, rupanya para kandidat hanya berorientasi pada perilaku masyarakat untuk memilih pada hari pemilihan.
”Padahal orientasi jangka panjang bisa dilakukan, yaitu perilaku memilih dilanjutkan dengan memilih kembali pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan datang,” tutup Ita.

Tidak ada komentar: