Rabu, 13 Mei 2009

NEWS : RATING TELEVISI MASIH JADI ACUAN Meski Hanya Ambil Sampel di 10 Kota

Rating televisi sampai saat ini masih menjadi acuan bagi kalangan industri televisi dan periklanan untuk menentukan program acara bisa diteruskan dan memiliki nilai jual atau tidak. Padahal AGB Nielsen Media Research selaku lembaga rating satu-satunya di Indonesia mengakui, meski menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan, rating AGB Nielsen hanya mengambil sampel di 10 kota besar dan hanya menyajikan data secara kuantitatif tanpa mempertimbangkan kualitas program televisi.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Ilmiah “Rating dan Tanggung Jawab Sosial Media” yang diadakan Program Magister Ilmu Komunikasi Undip di Gedung Pasca Sarjana Undip Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Rabu (13/5).
Senior Marketing Service AGB Nielsen Media Research Christina Afendy selaku pembicara mengatakan, rating yang dilakukan lembaganya memang hanya berupa pengukuran kuantitatif dari pemirsa televisi. Sehingga pihaknya tidak bisa menyajikan kualitas dari isi program, kelayakan terhadap usia pemirsa, serta mengatur apa saja yang disajikan stasiun televisi dan produk apa saja yang beriklan.
Akibat dari rating tersebut, program acara di beberapa stasiun televisi menjadi seragam. Hal ini disebabkan, bila suatu program acara memiliki rating tinggi, maka stasiun televisi lain akan membuat program acara yang sejenis sehingga acara televisi pun menjadi seragam. Hal ini dikemukakan pembicara lainnya, Sekretaris Jenderal Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bekti Nugroho.
“Hal ini karena ruang publik dikuasai oleh pasar, sehingga program acara televisi menjadi seragam. Program berita pun bukan menjadi primadona bagi siaran televisi. Padahal program berita seringkali memunculkan empati dan simpati masyarakat,” kata Bekti.
Pembicara dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)Gilang Iskandar mengatakan meski masih mengacu pada rating AGB Nielsen, stasiun televisi masih mencoba mengambil second opinion dari pihak-pihak lain seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan LSM. “Bahkan seringkali stasiun televisi menanyakan terlebih dahulu kepada KPI apakah suatu program acara layak ditayangkan atau tidak,” kata Gilang.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Amirudin yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tidak melarang rating sebagai pranata riset. Justru KPI memandang rating penting sebagai sarana optimalisasi keberlangsungan hidup media sebagai institusi ekonomi untuk mewujudkan peran media sebagai institusi budaya secara maksimal.
“Media merupakan institusi budaya sekaligus institusi ekonomi. Bila secara ekonomi kuat, maka media sebagai institusi budaya juga akan kuat,” kata Amirudin.
Senada dengan Amirudin, dosen Ilmu Komunikasi Undip Djoko Setyabudi juga menyatakan pentingnya rating televisi terutama bagi stasiun televisi dan kalangan periklanan.
“Berdasarkan rating, stasiun televisi menjual program acara kepada pengiklan dan pengiklan membeli slot iklan berdasarkan rating. Bagi agensi periklanan rating digunakan sebagai dasar penyusunan media plan,” tutur Djoko.

Tidak ada komentar: