Rabu, 01 April 2009

NEWS : BELUM MENYENTUH ISU STRATEGIS Iklan Politik Terjebak Black Campaigne

Iklan politik yang dilakukan oleh sebagian partai politik dalam kampanye Pemilu 2009 dinilai belum ideal, karena masih berisi janji semata yang bersifat makro dan normatif. Selain itu juga belum menyentuh isu-isu strategis.
Demikian papar Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Prof H Sasa Djuarsa Sendjaja PhD dalam Diskusi Ilmiah ‘Kebijakan Media dan Sukses Pemilu 2009’ yang digelar Program Magister Ilmu Komunikasi Undip di Gedung Pascasarjana Undip, Jalan Imam Bardjo Semarang, Rabu (1/4).
Sasa juga memaparkan, iklan politik masih mengarah pada propaganda politik, bukan marketing politik . “Kebanyakan iklan politik masih vulgar dan saling menjelekkan parpol satu dengan yang lain. Selain itu, banyak iklan politik bermasalah karena melanggar undang-undang dan etika yang berlaku seperti menampilkan anak-anak dalam iklan kampanye.,” ungkapnya.
Dalam pelanggaran seperti itu, menurutnya KPI memiliki wewenang menegur lembaga penyiaran yang melanggar agar menghentikan penyiaran iklan. Sedangkan tindakan terhadap partai atau caleg yang beriklan merupakan wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dominasi propaganda politik dalam iklan dibenarkan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Dr Turnomo Raharjo. Menurutnya, propaganda politik itu diindikasikan dengan adanya kampanye yang menjelek-jelekkan pihak lain (black campaigne), menyalah-nyalahkan pihak lain (blame campaigne) dan masih menawarkan mimpi-mimpi yang muluk (blank campaigne)
Selain itu, juga ada pihak-pihak yang membela diri dari kritikan pihak lain atau membela diri terhadap kesalahan yang pernah dilakukan (blocking campaigne) dan menggunakan pihak-pihak lain seperti figur orang tua, artis atau tokoh tertentu untuk membela diri (backing campaigne)
Sementara pembicara lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Antonius Jimmy Silalahi, mengakui banyak televisi lokal terpaksa melanggar aturan tersebut karena alasan komersil. “ Di masa kampanye, media massa baik cetak maupun elektronik harus bekerja lebih keras yang menyebabkan biaya operasional lebih tinggi. Pemasukan dari iklan politik merupakan sumber pendanaan terbesar bagi media untuk menutup biaya operasional. Untuk satu jam penyiaran saja televisi lokal memerlukan dana operasional lebih dari Rp 3 juta,” tandas Jimmy.
Di sisi lain Ketua PWI Jateng Ir Sriyanto Saputro MM selaku pembicara dari PWI Jateng mengatakan , pada masa kampanye media tidak akan bisa netral seratus persen karena banyaknya kepentingan, baik internal maupun eksternal. Meski demikian, dia menilai media-media di Jateng masih mampu menjaga independensinya.
“Wartawan simpatisan atau kader partai semestinya tidak dilibatkan dalam peliputan Pemilu. Bila perlu wartawan yang bersangkutan dinonaktifkan dulu oleh medianya,” kata Sriyanto.
Di akhir diskusi, Sasa Djuarsa Sendjaja yang juga guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) menegaskan, media di Indonesia memang masih banyak kekurangan. “Jangan terlalu menyalahkan media, karena media adalah refleksi dari masyarakat. Bila medianya dinilai jelek, maka masyarakat juga bisa dikatakan masih jelek. Adalah tugas media untuk memberi pencerahan bagi masyarakat, khususnya untuk menghadapi Pemilu 2009. Sehingga pada Pemilu 2009 masyarakat akan memilih wakil dan pemimpinnya yang berkualitas dan kapabel”, tandas Sasa.
Pada penyelenggaraan diskusi ini ditandatangani naskah kerjasama Letter of Intent (LoI) antara Program Magister Ilmu Komunikasi Undip dengan PWI Jateng, KPID Jawa Tengah, PRSSNI Jateng dan ATVLI Pusat.

Tidak ada komentar: