Jumat, 03 April 2009

NEWS : ELIT GAGAL PAHAMI KEKUASAAN Akibatkan Politik Transaksional

Kegagalan elit politik Indonesia di masa lalu dalam memahami kekuasaan, mendorong merebaknya praktek politik transaksional di masa sekarang. Dalam pemahaman elit, kekuasaan bukan mandat rakyat untuk mensejahterakan rakyat, tetapi merupakan alat untuk memperkaya diri karena dengan kekuasaan mereka bisa melakukan apa saja.
Peneliti Center for Strateic and International Strategic (CSIS) Dr J Kristiadi menyampaikan hal itu kepada peserta Seminar Nasional “Politik Transaksional terhadap Ancaman Demokrasi” yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jawa Tengah bekerja sama dengan Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Gedung Rektorat Unnes, Sekaran Gunungpati Semarang, Kamis (2/4).
Elit politik, menurut J Kristiadi, cenderung menghalalkan segala cara untuk berkuasa sehingga menimbulkan perselingkuhan politik antara elit dengan para pemiliki modal. “Elit bisa berkuasa karena memiliki uang. Bekerja sama degan pemilik modal memungkinkan mereka untuk terus berkuasa karena untuk berkuasa perlu uang. Bukan tidak mungkin bila perselingkuhan politik antara elit dengan pemiliki modal mengarah pada bisnis kotor dan ilegal,” tandasnya.
J Kristiadi juga mengatakan, politik transaksional muncul karena pengaruh neo liberalisme yang lebih mengedepankan mekanisme pasar. “Dalam mekanisme pasar, yang terpenting adalah modal bukan negara. Praktek politik menjadi lebih mengarah pada perdagangan (trading politics). Rakyat tidak ditempatkan sebagai warga negara (citizen), tetapi ditempatkan sebagai konsumen (consumer),” ungkapnya.
Praktek politik transaksional juga diungkapkan peneliti Undip Muchamad Yuliyanto,MSi. Berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat di Jawa Tengah, politik transaksional terjadi di hampir seluruh Jawa Tengah. “Di pantura bagian timur, masyarakat tidak segan-segan untuk meminta uang kepada caleg, bahkan langsung menyebut nominal tertentu. Padahal kalau dilihat basis massanya, mayoritas masyarakat wilayah tersebut merupakan masyarakat yang religius,” kata Yuliyanto.
Munculnya praktek politik transaksional di kalangan religius, menurut Ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi akibat adanya sentimen politik agama Orde Baru dengan memunculkan istilah SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). “Saat Orde Baru, isu agama diharamkan masuk ke ranah politik. Setelah Reformasi, agama muncul sebagai ideologi politik, tetapi sebagian golongan tidak bisa membedakan agama sebagai ruang pribadi dengan ruang publik,” katanya.
Di satu sisi, Masdar mengatakan masyarakat cenderung kalkulatif sebagai akibat kemiskinan yang mendera masyarakat. Masyarakat berpandangan, para elit politik merupakan kalangan berduit yang akan membagi-bagikan uangnya. Pandangan tersebut akibat sistem dan kultur yang berkembang selama ini, yang ditunjukkan politik uang para elit politik.
Sebagai penutup seminar, Rektor Unnes Semarang Prof Dr Sudijono Sastroatmodjo MSi mengatakan, pemilu seharusnya menjadi proses transformasional menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik, bukan proses transaksional antara elit politik dengan pemilik modal atau masyarakat. Bila pemilu menjadi proses transformasi tersebut, niscaya kesejahteraan masyarakat akan dapat dicapai.

Tidak ada komentar: