Senin, 11 April 2016

MENCARI KEADILAN UNTUK SURATMI Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 3/4 (Antara) - Perhatian publik sedang mengarah pada kasus kematian Siyono, terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah yang pulang tidak bernyawa setelah ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.

Publik juga dikejutkan dengan keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mendampingi Suratmi, istri Siyono, untuk mencari keadilan atas kematian suaminya.

Banyak yang mengkhawatirkan keputusan itu akan berimbas pada citra organisasi Islam tersebut sebagai pendukung terorisme.

Namun, hal itu dibantah oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar mengatakan pendampingan hukum kepada Suratmi tidak terkait sikap Muhammadiyah yang sejak awal tidak membenarkan aksi terorisme.

"Muhammadiyah tidak membenarkan atau menyalahkan Siyono yang dinyatakan sebagai terduga teroris. Pendampingan yang dilakukan Muhammadiyah adalah agar keluarganya mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara," kata Dahnil.

Dahnil mengatakan pendampingan hukum yang dilakukan kepada keluarga Siyono dilakukan setelah Suratmi didampingi komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) datang ke Muhammadiyah dan diterima oleh Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas.

"Suratmi menyatakan keinginannya agar Muhammadiyah mendampingi upayanya dalam mencari keadilan. Sebagai organisasi yang sudah berdiri sebelum republik ini berdiri, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab untuk membantu mencari keadilan, apa pun latar belakang orang tersebut," tuturnya.

Meskipun bukan kader atau pun warga Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian bersedia mendampingi Suratmi sampai dengan mendapatkan keadilan.

Hal senada juga disampaikan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay. Saleh mengatakan Muhammadiyah tegas menentang radikalisme dan terorisme, dan akan ikut menuntut orang-orang yang terbukti melakukan teror yang menimbulkan korban.

"Dakwah Muhammadiyah selalu moderat. Muhammadiyah pasti akan menuntut agar seorang yang melakukan terorisme dan menimbulkan korban agar diproses sesuai hukum yang berlaku," kata Saleh.

Terkait langkah-langkah yang dilakukan Muhammadiyah untuk memberikan pendampingan hukum kepada Suratmi, Saleh mengatakan bisa ditanyakan langsung kepada pimpinan Muhammadiyah.

Namun, Saleh menduga Muhammadiyah ingin berupaya mengungkap kebenaran yang sesungguhnya di balik kematian Siyono. Tidak ada niat lebih daripada itu, apalagi berpihak kepada teroris.

"Muhammadiyah itu `civil society` yang tugasnya menjadi penyeimbang kekuasaan. Keterlibatan Muhammadiyah dalam kasus ini sebagai perwujudan pelaksanaan fungsi penyeimbang itu," kata legislator Partai Amanat Nasional (PAN) yang duduk sebagai Ketua Komisi VIII DPR itu.

Menurut Saleh, Muhammadiyah tidak pernah mencampuri kerja-kerja Densus 88, termasuk tentang data dan jaringan terorisme.

Namun, bila operasi penegakan hukum terhadap warga negara dilakukan dengan cara yang diduga melawan hukum, Muhammadiyah merasa berkepentingan untuk mengetahui.

"Itu merupakan bagian dari tugas dakwah yang menjadi bidang utama gerakan Muhammadiyah. Apalagi, hal itu juga sejalan dengan tuntutan banyak kelompok masyarakat agar kasus ini dibuka seterang-terangnya," katanya.



Membela Hak

Pernyataan tokoh-tokoh Muhammadiyah itu didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Pengacara publik LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan seorang pengacara bukan membela tindak pidana kliennya, tetapi hak-haknya sebagai warga negara.

"Kuasa hukum bukan membela tindak pidananya, tetapi hak-hak warga negara untuk memperoleh keadilan dan persamaan hak dihadapan hukum," kata Arif.

Arif mengatakan LBH Jakarta setuju bila terorisme ditangani dan diberantas. Namun, penanganan terorisme harus tetap dalam koridor hukum dan hak asasi manusia. Apalagi, terorisme sudah dikategorikan sebagai tindak pidana.

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah cukup menjamin hak-hak asasi manusia siapa pun yang berurusan dengan hukum mulai dari tersangka hingga terpidana.

"Karena itu, LBH Jakarta akan mendukung Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mendampingi Suratmi, untuk mencari keadilan. Apa yang dialami Siyono jangan sampai terulang dan ada `Siyono-Siyono` lainnya," katanya pula.

Arif mengatakan kematian Siyono harus menjadi momentum untuk mengevaluasi kerja Densus 88. Penyebab kematian Siyono harus dibuka secara transparan dan akuntabel, kemudian orang-orang yang terlibat diperiksa secara hukum pidana.

Menurut Arif, apa yang terjadi pada Siyono jangan lagi terulang. Seseorang baru diduga sebagai teroris ditangkap, kemudian pulang dalam kondisi tidak bernyawa, tanpa melalui proses hukum.

"Kalau terus terulang, bukan tidak mungkin kita semua akan mengalaminya. Hanya karena dituduh teroris, lalu ditangkap tanpa ada surat penangkapan dan proses hukum, bahkan diusir dari rumahnya sendiri," ujar dia.



Hak Keluarga

Komisioner Komnas HAM Manager Nasution mengatakan keluarga berhak mengetahui penyebab kematian Siyono sehingga perlu dilakukan autopsi terhadap jenazahnya.

"Komnas HAM sudah ke lapangan dan bertemu dengan keluarganya, dalam hal ini istrinya. Mereka meminta dilakukan autopsi terhadap jenazah Siyono," kata Manager.

Manager mengatakan pernyataan dan permintaan dari istri Siyono, Suratmi, menjadi salah satu fakta yang akan digunakan Komnas HAM dalam merumuskan rekomendasi.

Saat ini Suratmi dalam pantauan Komnas HAM. Menurut dia, Komnas HAM terus berkoordinasi dengan keluarga dan kuasa hukumnya, yaitu Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

"Dalam melakukan autopsi, Komnas HAM akan berkoordinasi dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Komnas HAM mendorong autopsi, selain karena permintaan keluarga, juga agar kasus tersebut terang benderang," tuturnya.

Manager mengatakan bila hasil autopsi menyatakan kematian Siyono wajar, maka hal itu dapat menjadi salah satu cara untuk menjaga nama negara.

"Namun, bila hasil autopsi menyatakan kematian Siyono tidak wajar, maka Komnas HAM akan memberikan rekomendasi agar kasus tersebut diselesaikan. Negera harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara," katanya.

Ia mengatakan, menurut data Komnas HAM, Siyono merupakan orang ke-121 yang tewas sebagai terduga teroris tanpa menjalani proses hukum sejak Detasemen Khusus 88 Antiteror dibentuk.



Pelanggaran HAM

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai banyak pelanggaran hak asasi manusia dalam penangkapan Siyono oleh Densus 88 Antiteror.

"Keluarga sama sekali tidak mendapatkan surat perintah dalam penangkapan dan penggeledahan terhadap Siyono. Surat itu cukup fundamental karena penangkapan Siyono bukan operasi tangkap tangan," kata Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras Putri Kanesia.

Putri mengatakan keluarga juga tidak tahu Siyono dibawa ke mana setelah ditangkap. Keluarga baru tahu kabar Siyono setelah akhirnya dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia.

Keluarga juga tidak diberitahu atau pun diberikan visum yang dilakukan terhadap jenazah Siyono sehingga mereka tidak tahu apa penyebab kematiannya.

"Keluarga melihat jenazah Siyono terdapat luka memar pada pipi, mata lebam, kuku jari kaki yang hampir patah dan darah dari belakang kepala" tuturnya.

Putri mengatakan seluruh proses yang dilakukan terhadap Siyono telah melanggar hak asasi manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah dan siapa pun memiliki hak yang sama di depan hukum.

"Apa penyebab Siyono meninggal? Baru menjadi terduga teroris tetapi sudah mendapatkan perlakuan buruk," ujarnya.

Putri mengatakan pemerintah perlu mengaudit kinerja Densus 88 dan melakukan investigasi penyebab kematian Siyono. Apalagi, kejadian yang menimpa Siyono itu bukan yang pertama kali.

Bagaimana pun keadilan harus ditegakkan. Jangan sampai kematian Siyono menjadi preseden, seseorang bisa dengan mudahnya kehilangan nyawa hanya karena diduga seorang teroris, tanpa ada pembuktian di pengadilan. ***2***

(Disiarkan LKBN Antara pada Minggu, 03 April 2016 pukul 18:45)

Tidak ada komentar: