Kamis, 14 April 2016

"LICENSE TO KILL" DAN PELANGGARAN HAM Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 12/4 (Antara) - "Vodka martini, shaken, not stirred", merupakan salah satu ucapan khas yang hampir selalu muncul dalam setiap sinema agen rahasia asal Inggris James Bond.

Agen MI6 rekaan Ian Fleming itu digambarkan memiliki kemampuan tinggi dalam melumpuhkan musuh-musuhnya, meskipun berpenampilan flamboyan.

Bond memiliki izin untuk membunuh. Salah satu filmnya yang dibintangi aktor asal Wales, Timothy Dalton, berjudul "License to Kill" menceritakan upaya balas dendam Bond atas kematian sahabatnya.

Beberapa satuan elite Indonesia pun memiliki semacam "license to kill". Namun, penghilangan nyawa oleh aparat negara menjadi sensitif dalam ranah hak asasi manusia.

Seperti yang terjadi pada Detasemen Khusus 88 Antiteror, satuan khusus Kepolisian RI untuk menangani terorisme. Kasus terakhir yang menjadi sorotan adalah kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten, setelah ditangkap Densus 88.

Kasus kematian Siyono itu telah ditangani oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang memberikan pendampingan hukum kepada Suratmi, istri Siyono, yang mencari keadilan.

Berkali-kali Komnas HAM dan Muhammadiyah menyatakan upaya yang mereka lakukan untuk Suratmi bukanlah bentuk dukungan terhadap terorisme, tetapi adalah upaya mencari keadilan yang merupakan hak seorang warga negara.



Catatan DPR

Dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR, bersama Komnas HAM, PP Muhammadiyah dan Kontras, Selasa (12/4), Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa menyatakan terdapat tiga catatan mengenai kasus kematian Siyono.

"Apakah betul Siyono seorang teroris, sehingga harus ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror?" tanya Desmond.

Politisi Partai Gerindra itu menyebutkan catatan berikutnya apakah betul Siyono tewas karena berkelahi melakukan perlawanan terhadap anggota Densus 88 saat ditangkap dan diperiksa.

Komisi III juga mempertanyakan uang yang diberikan kepada keluarga Siyono. Menurut Desmond, pemberian uang itu merupakan wajah polisi sebagai penegak hukum dalam menghargai nyawa seseorang.

"Uang itu juga berbicara terkait dengan pernyataan Kapolri serta tindakan dan tanggung jawab Densus 88 dalam penanganan Siyono sebagai terduga teroris," ujarnya pula.

Desmond mengatakan Komisi III akan mendorong sanksi bagi aparat negara yang terbukti telah melakukan pelanggaran, termasuk Densus 88 dalam penanganan terorisme itu.

"Namun, dorongan Komisi III untuk memberikan sanksi kepada aparat negara selalu mendapat penolakan dari mitra-mitra kami," katanya.



Pelanggaran HAM

Dalam rapat dengar pendapat itu, Komnas HAM menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 dalam penanganan terduga teroris asal Klaten, Siyono.

"Kesimpulan Komnas HAM dalam penyelidikan kematian Siyono adalah diduga ada pelanggaran hak tidak disiksa dan hak hidup yang sama sekali tidak bisa dikurangi oleh siapa pun," kata Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat.

Imdadun mengatakan kesimpulan tersebut diambil setelah Komnas HAM menemukan beberapa fakta terkait kematian Siyono. Fakta pertama yang ditemukan adalah jenazah Siyono baru diautopsi pertama kali oleh tim dari PP Muhammadiyah yang didampingi Komnas HAM.

Fakta tersebut, kata Imdadun, bertentangan dengan pernyataan pihak polisi sebelumnya yang menyatakan bahwa jenazah Siyono sudah pernah diautopsi dan penyebab kematiannya adalah lemas karena kelelahan.

"Komnas HAM menemukan fakta terdapat tanda-tanda kekerasan berupa patah tulang rusuk di dada Siyono. Kami menemukan penyebab kematian Siyono adalah rasa sakit akibat patah tulang rusuk yang menembus jantung," tuturnya.

Fakta penyebab kematian yang ditemukan Komnas HAM tersebut, bertentangan dengan pernyataan dari kepolisian tentang penyebab kematian Siyono.

Komnas HAM juga menemukan tidak ada tanda-tanda perlawanan yang dilakukan, ditandai dengan tidak adanya bekas luka di tangan Siyono. Fakta tersebut lagi-lagi berbeda dengan keterangan polisi bahwa Siyono melakukan perlawanan.

"Kasus Siyono merupakan pengulangan yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu kematian seorang terduga teroris di luar proses hukum dan pengadilan serta adanya penyiksaan," katanya.



Radikalisasi Baru

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan cara kerja Detasemen Khusus 88 Antiteror lebih berpotensi menciptakan radikalisasi baru daripada deradikalisasi.

"Cara kerja Densus 88 justru memicu adanya perasaan dendam dan marah yang akan menyebabkan muncul radikalisasi-radikalisasi baru," kata Dahnil.

Menurut Dahnil, Siyono memiliki lima anak yang saat ini masih trauma dengan kematian ayahnya sebagai terduga teroris. Beberapa anak Siyono kerap mengigau dan menyebut-nyebut kematian ayahnya.

Dahnil mengatakan anak-anak Siyono bila tidak mendapatkan penyembuhan trauma yang tepat, bisa saja menyimpan dendam dan berikutnya berpotensi menjadi radikal.

"Karena itu, Muhammadiyah berusaha merangkul anak-anak dan keluarga Siyono, serta memberikan penyembuhan trauma kepada mereka tanpa ada dana dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang salah satu programnya adalah deradikalisasi," ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Hariz Azhar menilai kepolisian telah melakukan penghakiman tanpa pengadilan terhadap Siyono.

"Pernyataan Humas Polri selalu menyebutkan bahwa Siyono adalah pimpinan teroris dan lain-lain. Padahal, belum ada pembuktian sama sekali di pengadilan yang menyatakan Siyono adalah teroris," kata Hariz.

Hariz mengatakan dalam penangkapan Siyono, terdapat beberapa prosedur hukum yang tidak dilakukan Densus 88 yang pada akhirnya bisa mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.

Prosedur pertama yang tidak dilakukan Densus 88 adalah menangkap Siyono tanpa menunjukkan surat penangkapan serta koordinasi sebelumnya dengan aparat desa setempat.

"Prosedur lain yang tidak dilakukan adalah tidak ada berita acara serah terima jenazah kepada keluarga yang menyatakan kondisi dan penyebab kematian Siyono," tuturnya.

Hariz mengatakan kematian Siyono, yaitu kematian seorang terduga teroris tanpa melalui proses pengadilan, harus menjadi ketidakjelasan penegakan hukum yang dilakukan Densus 88 yang terakhir.



Pemberian Uang

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Pol Badrodin Haiti mengatakan uang senilai Rp100 juta yang diterima istri terduga teroris Siyono, Suratmi, tidak berasal dari kas negara, tetapi dari Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.

"Bukan uang negara, itu uang pribadi Kadensus," kata Kapolri.

Menurut Badrodin, pemberian santunan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan namun merupakan ungkapan turut berduka cita.

"Kalau ada kematian, pasti ada rasa simpatilah. Rasa berduka cita. Itu sah-sah saja," katanya.

Uang Rp100 juta tersebut diterima Suratmi dan Wagiono, kakak almarhum Siyono, dari lima perempuan yang diduga merupakan anggota polisi dari Densus 88. Suratmi dan Wagiono masing-masing mendapatkan satu gepok uang dalam bungkus warna cokelat.

Satu gepok uang untuk Suratmi diberikan untuk biaya hidup dirinya dan kelima anaknya, sedangkan satu gepok uang untuk Wagiono diberikan untuk membiayai pemakaman Siyono.

Suratmi dan Wagiono tidak membuka bungkusan uang tersebut dan kemudian menyerahkannya ke PP Muhammadiyah yang bertindak sebagai kuasa hukum mereka.

Kapolri juga mengucapkan terima kasih kepada PP Muhammadiyah yang telah membentuk tim dokter untuk mengautopsi jenazah Siyono.

Menurut Kapolri, dari hasil autopsi Siyono bisa ditelusuri apakah ada pelanggaran atau tidak yang dilakukan oleh tim Densus 88 Antiteror Polri dalam menangkap dan mengawal Siyono ketika masih hidup.

Hasil autopsi tersebut akan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan Divisi Profesi Pengamanan (Divpropam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri yang saat ini masih memeriksa kasus Siyono.

Badrodin menyatakan siap menerima koreksi bila jajarannya, dalam hal ini tim Densus 88, benar-benar terbukti melakukan penyimpangan hingga menyebabkan kematian Siyono.

"Ada Itwasum yang melakukan pengawasan, ada Propam yang melakukan pemeriksaan. Kalau ditemukan ada pelanggaran, tentu akan disidangkan kalau pelanggarannya kode etik atau disiplin. Kalau pelanggaran pidana, akan diproses hukum," katanya. ***2*** (T.D018)

(Disiarkan LKBN Antara pada Rabu, 13 April 2016 pukul 10:03 WIB)

Tidak ada komentar: