Selasa, 12 April 2016

MEMPERTANYAKAN PENDEKATAN NEGARA TANGANI TERORISME Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 3/4 (Antara) - Teroris. Satu kata tersebut bisa berdampak banyak hal bagi hidup seseorang bila sudah dituduhkan atau dilekatkan pada dirinya.

Tidak hanya pada diri sendiri. Dampak dari stigma seorang "teroris" juga bisa berpengaruh pada keluarga seseorang, meskipun keluarga sama sekali tidak tahu apa sebabnya.

Dampaknya bisa bermacam-macam. Mulai dari diusir dari kampung halaman, sampai ditolak jenazahnya untuk dimakamkan di kuburan desa bila seseorang tewas dengan predikat sebagai teroris.

Sebenarnya apa itu terorisme?

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan terorisme sebagai salah satu bentuk tindak pidana.

Karena itu, meskipun Presiden Amerika Serikat George W Bush pernah menyerukan perang terhadap terorisme, maka para pelakunya diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bukan sebagai penjahat perang.

Itu pula sebabnya terorisme ditangani oleh satuan khusus yang ada di kepolisian, yaitu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.

Meskipun TNI juga memiliki satuan-satuan khusus antiteror, tetapi yang memiliki kewenangan menangani terorisme di Indonesia adalah Densus 88, karena TNI berada pada wilayah pertahanan negara bukan penegakan hukum pidana.

Namun, pendekatan negara dalam menangani terorisme saat ini sedang dipertanyakan menyusul kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten yang tewas setelah ditangkap oleh Densus 88.

Apalagi, data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan Siyono merupakan terduga teroris ke-121 yang tewas tanpa dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting mengatakan pendekatan negara terkait terorisme harus digugat karena berkaitan dengan penegakan hukum pidana.

"Peraturan perundang-undangan di Indonesia menyatakan terorisme sebagai tindak pidana. Namun, pendekatan yang dilakukan negara saat ini seperti di luar wilayah hukum pidana," katanya.

Miko mengatakan peraturan perundang-undangan tentang terorisme yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Kepala Polri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme.

"Bila benar pendekatan negara dalam menanggulangi terorisme adalah pidana, hal itu tidak terlihat dalam penanganan yang dilakukan oleh Densus 88 Polri," tuturnya.

Miko mengatakan istilah terduga teroris tidak ada dalam nomenklatur hukum. Nomenklatur hukum hanya mengenal istilah tersangka. Seseorang dinyatakan sebagai tersangka pun setelah melalui proses penyelidikan karena harus memiliki bukti permulaan.

"Seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka, dapat dikenai upaya paksa oleh aparat, yaitu penangkapan, penggeledehan, dan lain-lain. Tidak boleh ada upaya paksa sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka," katanya.

Karena itu, Miko menilai penangkapan dan penggeledehan terhadap Siyono sebagai tindakan dengan pendekatan di luar hukum pidana.

"Apalagi Siyono tidak hanya ditangkap dan digeledah, tetapi juga diduga mengalami penyiksaan. Itu sudah di luar pendekatan hukum pidana dan merupakan tindakan kesewenang-wenangan," tuturnya.

Karena itu, ia mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Densus 88 Antiteror.



Cara Orba

Pernyataan lebih keras bahkan dikatakan oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti. Ray menilai Densus 88 menggunakan cara-cara yang digunakan rezim Orde.

"Cara-cara Densus 88 seperti Kopkamtib rezim Orde Baru. Sejarah akan mencatat Reformasi masih belum bisa menghargai nyawa warga negara. Itu memalukan bagi Reformasi kita," katanya.

Menurut Ray, generasi-generasi selanjutnya bisa saja menanyakan berapa harga nyawa seorang warga negara. Harga nyawa seseorang tentu tidak ternilai.

Namun, entah mengapa, nyawa Siyono yang pulang dalam keadaan tidak bernyawa setelah ditangkap Densus 88 karena diduga seorang teroris dihargai dengan dua gepok uang.

"Dalam kasus Siyono, setidaknya ada tiga hal yang bisa dipertanyakan. Apa dasar seorang terduga teroris ditangkap dan hilang hak-haknya? Apa dasar kematian Siyono? Apa arti dua gepok uang yang diberikan kepada keluarganya?" katanya.

Meskipun data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan 121 orang meninggal dunia tanpa melalui proses hukum sejak Densus 88 dibentuk, kata Ray, bukan tidak mungkin jumlah yang sebenarnya melebih angka tersebut.

"Angka 121 saja mengerikan dan memalukan. Nyawa-nyawa warga negara hilang diduga oleh aparat negara atau sedang dalam penanganan petugas negara. Bagaimana kita akan menjelaskan kepada generasi selanjutnya?" tuturnya.

Karena itu, Ray mendesak pemerintah untuk mereformasi seluruh sistem yang ada di kepolisian, khususnya Densus 88. Penyelesaian kematian Siyono tidak bisa hanya diselesaikan di internal kepolisian, tetapi harus melalui investigasi independen.



Pasukan Elit

Sementara itu, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tindakan Densus 88 Antiteror yang menangkap Siyono tanpa surat penangkapan dan kemudian memulangkannya dalam keadaan tidak bernyawa tidak menunjukkan cara kerja sebagai pasukan elit kepolisian.

"Densus 88 itu pasukan elit, tetapi kok tindakannya seperti itu. Padahal pernah dilatih sampai ke Australia dengan biaya negara yang tidak sedikit," katanya.

Donal mengatakan tindakan Densus 88 tidak ubahnya polisi-polisi biasa yang menangani tindak kriminal lainnya. Padahal, menurutnya, sebagai pasukan elit, Densus 88 seharusnya bekerja dengan kehati-hatian yang tinggi.

"Pasukan elit harus hati-hati dalam mencari pelaku kejahatan dan bekerja sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pasukan elit harus melakukan tindakan-tindakan yang elit," ujarnya pula.

ICW juga menyoroti dua gepok uang yang diberikan kepada keluarga Siyono yang telah diakui pihak kepolisian sebagai uang duka. Donal mempertanyakan uang tersebut milik siapa dan dianggarkan dari pos apa.

"Sebelumnya sudah pernah terjadi, polisi digugat oleh masyarakat karena salah tembak dan dimintai ganti rugi, tetapi tidak diberikan. Mengapa kali ini, tanpa diminta, ada yang memberikan uang kepada keluarga Siyono," ujarnya mempertanyakan.

Karena itu, Donal mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kinerja Densus 88, termasuk mengaudit anggaran yang digunakan pasukan elit kepolisian tersebut.

"Apa yang dilakukan Densus 88 sudah mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Harus ada perbaikan agar hukum bisa ditegakkan," ujarnya pula.

Donal juga mendesak DPR membentuk panitia khusus untuk mengevaluasi kinerja Densus 88. Menurut dia, DPR jangan hanya mempersoalkan cara kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja.

"Kalau KPK memiliki kewenangan untuk menyadap, DPR berteriak. Mengapa kali ini DPR hanya diam?" tanyanya.

Donal mengatakan DPR pernah mempersoalkan penggeledahan yang dilakukan KPK karena dinilai tidak sesuai prosedur. Namun, dia mempertanyakan mengapa DPR tidak mempersoalkan penangkapan dan penggeledahan terhadap Siyono yang tidak disertai surat penangkapan.

"Penangkapan koruptor oleh KPK tidak pernah sampai ada yang mati. Siyono, baru diduga sebagai teroris, sudah harus kehilangan nyawa," ujarnya.

Menurut Donal, kematian Siyono merupakan bentuk tindakan arogan Densus 88 kepada warga negara. Baru diduga sebagai teroris, Siyono sudah kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, bahkan harus kehilangan nyawa.

"Legislatif harus melakukan kewenangannya untuk mengusut kejadian itu dan mengevaluasi kinerja Densus 88. DPR harus membentuk pansus dan memanggil Kapolri untuk mendapatkan keterangan mengenai kejadian tersebut," tuturnya.



Sesuai Prosedur

Sementara itu, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Dwi Priyatno mengatakan tidak ada prosedur yang dilanggar oleh Densus 88 dalam penangkapan terduga teroris Siyono di Klaten.

"Sebetulnya SOP sudah diterapkan karena yang kita hadapi (terduga) teroris. Kalau dia melawan petugas, polisi bisa melakukan tindakan sesuai undang-undang," kata Dwi.

Dwi mengatakan pemborgolan Siyono oleh tim Densus 88 juga telah sesuai aturan.

"Sebetulnya SOP-nya diborgol tapi kan perlu dilepas, masa orang mau makan harus diborgol, kan tidak," katanya.

Kendati demikian, Dwi menyatakan Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri masih menelusuri kemungkinan adanya pelanggaran dalam penangkapan Siyono.

"Prinsipnya kalau ada hal yang diduga penyimpangan, kami dari Propam Irwasum turun untuk melaksanakan pemeriksaan khusus. Sampai sejauh ini belum selesai pemeriksaannya," katanya. ***2***

(Disiarkan LKBN Antara pada Minggu, 03 April 2016 pukul 19:00 WIB)

Tidak ada komentar: