Jumat, 22 April 2016

MENGAPA SIYONO HARUS TERBUNUH? Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 21/4 (Antara) - Penyebab kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten yang tewas dalam penanganan Detasemen Khusus 88 Antiteror, masih menjadi teka-teki.

Teka-teki kematian Siyono terus bergulir ketika hasil autopsi yang dilakukan tim dokter forensik Muhammadiyah terhadap jenazah Siyono memiliki beberapa perbedaan dengan apa yang sudah disampaikan pihak kepolisian sebelumnya.

Dua bungkusan berisi uang yang diterima keluarga Siyono juga menjadi tanda tanya meskipun pimpinan Polri sudah menyatakan bahwa itu adalah uang dukacita yang berasal dari kantong pribadi Kepala Densus 88.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa Siyono harus mati? Bukankah dengan tetap menjaga dia hidup, Densus 88 bisa tetap mendapatkan informasi tentang jaringan yang melibatkan Siyono?

Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan bahwa kematian Siyono tidak diinginkan karena menyebabkan Densus 88 kehilangan informasi.

"Yang bersangkutan menyimpan banyak informasi, termasuk soal senjata api yang sudah diserahkan kepada seseorang. Dari Siyono, bisa mengungkap jaringan Jamaah Islamiyah lebih dalam," katanya.

Bersama dengan kematian Siyono, kata Badrodin, akses informasi yang seharusnya bisa didapatkan dengan penangkapannya menjadi hilang.

Siyono merupakan salah satu panglima dalam jaringan Jamaah Islamiyah yang menyimpan informasi tentang senjata-senjata milik jaringan tersebut.

"Siyono ditangkap setelah pengembangan dari penangkapan anggota jaringan sebelumnya oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror," tuturnya.

Mantan Kepala Polda Jawa Timur itu mengatakan bahwa Jammah Islamiyah merupakan kelompok jaringan yang berbaiat kepada Al Qaidah. Dalam perjuangannya, Jamaah Islamiyah mengubah struktur dengan nama-nama baru.

Menurut Badrodin, pada bulan Mei 2014 Densus 88 berhasil mengungkap dan menangkap sembilan orang tersangka tindak pidana terorisme. Mereka kemudian dipidana dengan hukuman 5 tahun hingga 10 tahun.

"Dari mereka, Densus 88 berhasil mengamankan barang bukti berupa bunker berisi senjata dan bahan peledak, baik pabrikan maupun rakitan, serta mesin pembuat senjata," tuturnya.

Kemudian, Densus 88 menangkap empat orang lagi di Jawa Timur yang saat ini berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Dari empat orang inilah Densus 88 mendapatkan informasi yang mengarah kepada Siyono.



Kesalahan Prosedur

Badrodin mengakui ada prosedur standar operasional yang dilanggar Densus 88 Antiteror dalam penanganan Siyono, yaitu hanya dikawal satu orang dan dalam keadaan tidak diborgol.

"Anggota yang menangani dan komandannya saat ini sedang diperiksa dan menjalani sidang disiplin karena ada kelalaian," kata Badrodin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, Rabu.

Menurut Badrodin, sudah ada peraturan Kepala Polri yang mengatur prosedur pengawalan terhadap terduga teroris, yaitu harus dikawal oleh lebih dari satu orang, dan prosedur tentang pemborgolan.

"Saat itu, Siyono tidak diborgol agar bersikap kooperatif saat dibawa untuk mengembangkan informasi. Namun, saat di mobil dalam perjalanan di perbatasan antara Klaten dan Prambanan, Siyono melawan dan menyerang satu orang anggota, sementara komandannya mengemudi," tuturnya.

Badrodin mengatakan bahwa perkelahian dan pergumulan di dalam kendaraan tidak bisa dihindari. Siyono terus berusaha memukul, menendang, dan merebut senjata milik anggota yang mengawal.

Salah satu tendangan Siyono bahkan mengenai kepala pengemudi sehingga kendaraan berjalan oleng dan sempat menabrak pembatas jalan. Akhirnya, anggota yang mengawal berhasil melumpuhkan Siyono sampai terduduk lemas.

"Siyono kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY yang kemudian dinyatakan sudah meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan luar, ditemukan memar di kepala sisi kanan belakang, pendarahan di bawah selaput otak, dan tulang rusuk patah akibat benda tumpul," katanya.



Tidak Kehilangan

Berbeda dengan yang disampaikan Kapolri, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Tito Karnavian mengatakan bahwa polisi dan Densus 88 tidak kehilangan informasi meskipun terduga teroris Siyono yang ditangkap akhirnya tewas.

"Banyak cara untuk mengungkap jaringan tanpa melalui tersangka. Jaringan ini semua sudah dipelajari. Banyak jalur untuk mengungkap itu," kata Tito.

Mantan Kepala Densus 88 itu mengatakan bahwa sering kali Densus sudah mendapat banyak informasi sebelum menangkap terduga teroris. Oleh karena itu, meskipun akhirnya terduga teroris itu tewas, mungkin ada informasi yang belum diungkap, Densus sudah mengetahuinya.

Terkait dengan kematian Siyono, Tito mengatakan bahwa bukan kewenangannya untuk membahas detail kasus tersebut karena Densus 88 bukan berada di bawah BNPT.

"Namun, berdasarkan informasi yang saya tahu, dia adalah anggota jaringan yang melakukan perlawanan saat sedang ditahan oleh Densus," tuturnya.

Menurut Tito, BNPT juga menghargai dan menghormati upaya internal yang dilakukan Polri terkait dengan kematian Siyono.

"Saya tidak ingin mendahului hasil pemeriksaan internal Polri. Polri telah melakukan pemeriksaan, kita tunggu saja nanti akan disampaikan," katanya.

Terkait dengan adanya dugaan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan anggota Densus 88 kepada Siyono, Tito mengatakan bahwa hasil autopsi terhadap jenazah Siyono yang dilakukan tim dokter forensik Muhammadiyah tidak bisa membuktikan adanya penyiksaan.

"Apakah hasil autopsi menjelaskan bentuk pukulan dan mengapa pemukulan itu terjadi? Jangan langsung mengambil kesimpulan," kata Tito di sela-sela rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Jakarta, Rabu.

Mantan Kepala Polda Papua dan Polda Metro Jaya itu mengatakan bahwa hasil autopsi hanya akan memberikan informasi adanya kekerasan dari benda tumpul, tetapi bagaimana bentuk kekerasan seperti apa yang terjadi tidak bisa dijelaskan melalui autopsi.

Menurut Tito, dugaan adanya penyiksaan terhadap Siyono hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan dan keterangan saksi-saksi.



Utamakan HAM

Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman mengatakan bahwa pihaknya berada pada posisi mendukung Densus 88 memberantas terorisme tetapi tetap dengan mengutamakan hak asasi manusia (HAM).

"Oleh karena itu, prosedur standar operasional perlu dijalankan oleh Densus 88. Nanti mungkin perlu dipikirkan apakah perlu ada panitia kerja untuk melihat cara kerja Densus," kata politikus Partai Demokrat itu.

Senada dengan Benny, anggota Komisi III Daeng Muhammad mengatakan bahwa DPR bukan tidak mendukung polisi atau Densus 88 dalam memberantas terorisme. Namun, sebagai legislatif yang memiliki fungsi pengawasan, DPR harus mengingatkan kepolisian.

"Tugas mulia yang diemban Polri harus dilakukan secara mulia. Selama ini ada program deradikalisasi. Akan tetapi, kalau penangananya salah, malah bisa memunculkan radikalisasi baru," tuturnya.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu memandang perlu ada penguatan penerapan prosedur standar operasional dalam penanganan terorisme. Barangkali, menurut dia, di tingkat pimpinan Polri prosedur sudah dibuat dengan baik, tetapi penerapan di bawah yang masih kurang baik.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Muhammad Syafi`i mengatakan bahwa BNPT perlu mendefinisikan terorisme secara jelas.

"Pemaknaan terorisme yang tidak jelas, bahkan bermakna ganda, bisa menimbulkan hal yang berbahaya di tengah masyarakat," katanya.

Dari definisi tersebut, Syafi`i mengatakan bahwa Densus 88 juga perlu membuat prosedur standar operasional dalam penanganan terorisme.

Apalagi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan terdapat 121 terduga teroris yang tewas tanpa melalui proses hukum sejak Densus 88 berdiri.

"Program deradikalisasi akan terbantu kalau Densus 88 memiliki prosedur standar operasional yang jelas dalam menangani terorisme. Bila tidak ada perbaikan, program deradikalisasi hanya akan menjadi omong kosong," tuturnya.

Politikus Partai Gerindra itu juga menyoroti BNPT yang cenderung mengidentikkan terorisme dengan Islam. Hal itu terlihat dalam nota-nota kesepahaman BNPT yang mayoritas dengan organisasi-organisasi Islam.

"Tidak ada agama yang mengajarkan teror. Mengapa teroris identik dengan Islam? Di dalam Islam tidak ada ajaran untuk menjadi teroris. Bila Islam itu teroris, MUI adalah sarang teroris," katanya. ***2***

(Disiarkan LKBN Antara pada Kamis, 21 April 2016 pukul 10:42  WIB)

Tidak ada komentar: