Selasa, 26 April 2016

NENEK MOYANG MEWARISKAN CANDI, BUKAN CANDU Oleh Dewanto Samodro

Sriwijaya dan Majapahit masih menjadi kebangsaan bangsa Indonesia di Nusantara akan kejayaan nenek moyang di masa lalu.

Kebanggaan akan kejayaan nenek moyang itu bahkan menginspirasi para pendiri bangsa seperti Sukarno dan Muhammad Yamin dalam merumuskan dasar dan bentuk negara yang akan lahir bernama Indonesia.

Banyak kesenian dan budaya yang diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia dan masih terus terpelihara hingga kini, seperti batik, wayang kulit, Tari Saman hingga Candi Borobudur yang menjadi salah satu keajaiban dunia.

Kata "candi" merujuk pada bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindhu dan Buddha di Indonesia. Bangunan itu digunakan sebagai tempat memuja dewa-dewi Hindhu atau memuliakan Buddha.

Namun, istilah "candi" tidak hanya digunakan masyarakat untuk menyebut tempat ibadah, karena banyak situs-situs purbakala nonreligi dari masa lalu yang berfungsi sebagai istana, pemandian dan gapura yang juga disebut "candi".

Meskipun banyak ditemukan di Jawa, tetapi beberapa candi juga ditemukan di Bali, Sumatera dan Kalimantan seperti Candi Gunung Kawi di Bali, Candi Muara Takus di Riau atau Candi Tanjungpura di Kalimantan Barat.

Cukup banyak candi yang merupakan warisan budaya nenek moyang yang masih bertahan dan harus terus dipertahankan.

Namun, belakangan ini ada pihak-pihak yang berusaha memasukkan hal lain sebagai warisan budaya. Bentuknya bukan candi, tetapi candu yang bernama rokok kretek.

Upaya memasukkan rokok kretek sebagai warisan budaya pernah dilakukan saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Kebudayaan di DPR. Namun, upaya itu gagal dan akhirnya pasal atau ayat tentang kretek dicoret.

Tidak pantang menyerah, pihak-pihak yang menginginkan rokok kretek diakui sebagai warisan budaya mencoba meloloskan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan.

Bunyi pasal-pasal tentang rokok kretek sebagai warisan budaya sama persis dengan pasal-pasal yang dicoret dari RUU Kebudayaan.

Belum ada kepastian tentang pengakuan "warisan budaya" terhadap rokok kretek, Kementerian Perindustrian sudah bertindak lebih "progresif".

Dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Produksi Industri Hasil Tembakau 2015-2020, rokok kretek sudah disebut sebagai warisan budaya.



Bukan Budaya

Direktur Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (Raya) Indonesia Hery Chariansyah mengatakan warisan budaya terlahir bukan dari candu dan rasa kecanduan.

Budaya lahir dan tumbuh bersama komunitas yang mengembangkan dan menggali dari kearifan lokal berikut falsafah yang mengiringinya.

"Karena itu, rokok kretek bukan warisan budaya Indonesia. Dia tidak bisa disamakan dengan Candi Borobudur, angklung dan tari kecak," kata Hery.

Karena itu, alih-alih memaksakan rokok kretek diakui sebagai warisan budaya, Hery mengatakan rokok dan rokok kretek lebih baik disimpan di museum sebagai bagian dari pelajaran sejarah tentang candu atau sistem tanam paksa.

"Rokok kretek tidak memiliki nilai yang patut dipertahankan, dilestarikan keberadaanya atau diwariskan dari generasi ke generasi," ujarnya.

Menurut Hery, menjadikan rokok kretek sebagai warisan budaya hanya akan menguntungkan industri rokok, bukan bagi bangsa secara keseluruhan.

"Saat ini produksi rokok di Indonesia lebih dari 90 persen adalah jenis kretek. Bila rokok kretek dijadikan warisan budaya maka pemerintah wajib melakukan upaya melindungi, mempromosikan dan melestarikannya," katanya.

Hery mengatakan bila benar rokok kretek dipaksakan untuk diakui menjadi warisan budaya, maka akan sangat menguntungkan industri rokok dengan mengorbankan masyarakat.

Karena itu, Hery menilai agenda menjadikan rokok kretek sebagai warisan budaya Indonesia adalah agenda kepentingan bisnis industri rokok yang menggunakan sentimen kultural sebagai kedok, tanpa peduli dengan kesehatan masyarakat.

"Padahal, rokok kretek bukan merupakan warisan budaya Indonesia karena merokok bukanlah budaya asli Indonesia dan tidak memberikan manfaat bagi generasi mendatang sehingga tidak memenuhi unsur penting dan persyaratan utama sebagai warisan budaya," tuturnya.

Rokok kretek merupakan hasil olahan tembakau yang ditambah dengan cengkih. Tembakau adalah tanaman yang dapat menimbulkan adiksi karena mengandung nikotin dan karsinogen serta zat beracun lainnya bagi tubuh manusia.

UNESCO mendefinisikan warisan budaya suatu bangsa apabila memiliki ciri-ciri orisinal, unik, memiliki nilai-nilai yang diterima di seluruh dunia, mempunyai nilai kemanusiaan secara menyeluruh, serta menyejahterakan orang banyak.

"Dari definisi itu terlihat jelas bahwa rokok kretek tidak masuk dalam kualifikasi pengertian warisan budaya. Rokok bukan khas Indonesia, rokok adalah salah satu faktor risiko kemiskinan bahkan rokok tidak tercatat dalam sejarah sebagai benda yang mempersatukan Indonesia," katanya.



Diperkenalkan Belanda

Sementara itu, Ketua Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) Melawan Kebohongan Industri Rokok dr Kartono Mohamad mengatakan, merokok bukan kebiasaan asli rakyat Indonesia, melainkan diperkenalkan oleh orang-orang Belanda.

"Kata rokok diadopsi dari bahasa Belanda `roken` yang berarti mengisap asap tembakau," kata Kartono.

Tembakau pun bukan tanaman asli Indonesia. Kartono mengatakan, tembakau berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat. Tembakau diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad XVI dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu mengembangkan dan memproduksi tanaman tembakau menjadi tanaman komersial melalui sistem tanam paksa yang diberlakukan kepada petani-petani pribumi.

"Bangsa Belanda menjajah Indonesia selama 3,5 abad. Sepanjang itulah rokok ditanam di Indonesia dan hingga kini rokok diinovasi dengan berbagai rasa, termasuk kretek," tuturnya.

Karena itu, tembakau sebenarnya memiliki sejarah yang cukup kelam di Indonesia karena merupakan salah satu komoditas yang dipaksakan penjajah untuk ditanam di tanah Nusantara untuk kepentingan ekonominya.

Tembakau tentu memiliki nilai yang berbeda dengan cengkeh atau lada yang meskipun juga merupakan salah satu komoditas tanam paksa, tetapi merupakan tanaman asli Indonesia.

Jadi, pantaskah rokok kretek yang berbahan dasar tembakau ditetapkan sebagai warisan budaya hanya karena sebagian orang Indonesia kecanduan mengisap asapnya tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarnya? ***4***

(Disiarkan LKBN Antara pada Senin, 25 April 2016 pukul 11:22  WIB)

Tidak ada komentar: