Jumat, 14 Agustus 2009

LETTER : Fenomena Citizen Journalism

Citizen Jurnalism (CJ) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai jurnalisme warga sebenarnya bukanlah hal baru, namun baru beberapa tahun terakhir ini dikenal di Indonesia. CJ sendiri oleh Shayne Bowman dan Chris Willis didefinisikan sebagai “the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”.

Jadi CJ bisa diartikan kegiatan jurnlisme yang meliputi proses pencarian, pengolahan, pelaporan, penganalisaan berita dan informasi oleh warga (non-jurnalis) dimana warga memiliki peran yang aktif dalam kegiatan tersebut.

Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis. Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan CJ? Perbedaannya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi. Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya sama, yaitu mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.

Lalu darimanakah asal mula CJ? Di Amerika Serikat ketika Pemilihan Presiden tahun 2004, dua calon presiden , George W Bush dari Partai Republik dan John Kerry dari Partai Demokrat bersaing ketat. Banyak warga Amerika yang bosan dengan berita-berita yang disampaikan oleh media konvensional seperti koran, karena media tersebut dikuasai oleh partai politik. Akhirnya, dari mana orang memperoleh berita dengan perspektif yang berbeda? Dari Weblog.

Mungkin inilah contoh konkrit CJ. Inti CJ adalah masyarakat menjadi obyek sekaligus subyek berita. Bisa dikatakan bahwa CJ lahir dari perkembangan teknologi. Sekarang, berita-berita di media cetak sudah mulai didampingi oleh internet, bahkan setiap orang bisa menjadi penulis. Hal ini bukan merupakan bentuk persaingan media, tapi justru merupakan perluasan media.

J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003), mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe, yaitu:

* Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
* Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
* Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
* Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
* Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
* Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).

Perkembangan CJ di Asia sendiri diawali di Korea dengan adanya OhmyNews.com pada 2002. OhmyNews.com berkembang sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Korea yang terlalu mengatur dan mengontrol pemberitaan di media massa. Bisa dibilang, kebebasan pers di Korea kurang terjamin. Dengan adanya OhmyNews.com ini, warga Korea bisa mendapat alternatif media karena pemerintah belum melakukan kontrol ketat terhadap media internet. Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah Korea saat ini pun mulai melakukan kontrol terhadap media internet.

Perkembangan CJ di Indonesia masih belum lama. Yang mengawali mungkin adalah detik.com, yang menampilkan berita-berita segar dan tidak terkungkung. Tetapi situs ini dibuat oleh insitusi untuk banyak orang. Berbeda dengan blog, blog disiapkan oleh banyak orang untuk dibaca orang banyak pula. Bisa dibilang, keberadaan blog di Indonesia saat ini sudah sangat banyak, salah satu blog terbaik adalah perspektif.net sebagaimana masuk dalam 10 blog terbaik pilihan Majalah Tempo.

Ditanya mengenai akuntabilitas berita di blog, bagaimana caranya mengatur supaya tidak ada SARA, pornografi, dll serta diperlukan atau tidak adanya aturan terhadap blog. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah crime-nya, bukan mediumnya (blog). Pengaturan perilaku itu perlu, tapi jangan apriori, karena kalau segala sesuatunya diatur, orang malah tidak ada inisiatif. Blog yang baik itu memiliki fasilitas jawab dan melakukan fungsi moderator. Tidak perlu ada UU khusus yang mengatur blog seperti UU Pers, karena bagaimanapun Etika pribadi tiap-tiap orang itu jauh lebih kuat daripada berbagai macam UU.

Dikaitkan dengan masalah politik, blog di Indonesia yang bernuanasa politik secara kuantitas masih kecil, namun kualitasnya sangat bermutu. Sebagian besar blog di Indonesia isinya masih merupakan masalah pribadi, hal ini wajar saja, karena blogger umumnya berusia 20-35 tahun. Hal ini bagus, karena dapat menunjukkan bagaimana dinamika masyarakat dan dapat menjelaskan juga bagaimana pemikiran masing-masing orang tentang banyak hal. Terkait dengan masalah politik, sebenarnya blog bisa juga dijadikan alat kampanye yang baik. Substansi sebuah kampanye bisa dimuat diblog. Kalau seseorang ingin berkampanye lewat media cetak mungkin ruangnya bisa terbatas, tapi lewat blog, hal itu menjadi tidak terbatas.

Lalu apa isu dan implikasi dari berkembangnya CJ? Beberapa diantaranya yang dapat diamati adalah sebagai berikut:
1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.

2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku CJ

3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memposisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup CJ menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media konvensional.

4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani.

5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku CJ bisa disebut wartawan? Kenyataannya, CJ mengangkat slogan ‘everybody could be a journalist!’ Apakah blogger bisa disebut sebagai ‘the real journalist?’.

6. Isu etika: apakah setiap pelaku CJ perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.

7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku CJ? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.

8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku CJ yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.

9. Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor CJ memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka. Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.

Referensi :

http://lunjap.wordpress.com/2008/06/03/citizen-journalism-sebuah-fenomena/

http://daisyawondatu.wordpress.com/2006/10/11/citizen-journalism/

Tidak ada komentar: