Senin, 07 Maret 2016

PENGALAMAN MENJADI TERDAKWA DI PENGADILAN

Jumat (26/2) lalu seusai meliput relokasi warga Kalijodo di Rumah Susun Marunda, saya dihentikan oleh seorang polisi lalu lintas di depan pintu masuk Pelabuhan Tanjung Priok. Penyebabnya adalah lampu sepeda motor saya tidak menyala. Memang saklar lampu sepeda motor saya rupanya sering tergeser sehingga tanpa disadari lampu tidak menyala.

Polisi lalu lintas itu bertanya sesuai prosedur, "Dari mana dan mau ke mana?". Saya jawab, "Dari Marunda mau kembali ke kantor,". Dia lalu meminta saya menunjukkan SIM dan STNK.

Sial bagi saya, SIM saya ternyata mati Desember lalu. Akhirnya saya pun ditilang. Polisi lalu lintas itu sempat menawarkan untuk titip sidang, tetapi saya menjawab saya sidang sendiri saja.

Akhirnya surat tilang sudah berada di tangan saya dan tertulis bahwa saya sebagai terdakwa harus ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Jumat (4/3). Polisi itu bilang, Pengadilan Negeri Jakarta Utara ada di Ancol.

Satu minggu kemudian, saya pun menuju ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Baru berbelok dari jalan menuju pelabuhan saja, sudah banyak calo yang mencegat untuk menawarkan jasa menjadi joki di pengadilan. Masuk semakin dalam, semakin banyak calo.

Karena banyak calo, saya jadi enggan bertanya ke mana jalan arah ke pengadilan. Kalau yang saya tanya ternyata salah satu calo, malah urusan jadi panjang karena harus meladeni penawaran mereka dulu.

Dan ternyata yang berpikir seperti itu tidak hanya saya. Saat saya salah jalan karena enggan bertanya, ternyata ada pengendara sepeda motor di belakang saya yang mengikuti. Ketika saya berhenti, dia ikut berhenti di samping saya dan bertanya, "Pengadilannya di mana, Pak?". Akhirnya kami pun mencari bersama-sama.

Setelah sampai di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan sedang melihat-lihat jadwal sidang. Lagi-lagi saya dicegat oleh salah satu calo. Dia menawarkan untuk mencari nama saya di jadwal sidang. "Saya bantu carikan. Nanti kalau mau sidang sendiri tidak apa-apa," katanya sambil mengambil surat tilang saya.

Dan ternyata, dia berhasil menemukan nama saya. Dia lalu menuliskan nomor urut dan halaman daftar jadwal sidang di surat tilang saya. "Bapak tidak punya SIM. Nanti dendanya Rp105 ribu, biaya perkara Rp20 ribu, jadi total Rp125 ribu. Kalau lebih, paling-paling maksimal Rp250 ribu," katanya.

Lalu saya bilang kalau saya mau sidang sendiri saja. Dia sedikit memaksa. "Sidangnya baru mulai jam 09.30. Nanti juga harus antre. Bapak berani berapa deh," katanya.

Saya tetap tidak mau. Akhirnya surat tilang dikembalikan ke saya. Surat tilang itu kemudian saya serahkan ke salah satu petugas pengadilan dan saya diberitahu untuk menunggu di depan ruang sidang.

Setelah menunggu satu jam, pintu ruang sidang akhirnya dibuka. Bersama terdakwa lain, saya bergegas masuk. Saya dengar, mereka banyak membicarakan bagaimana mereka bisa ditilang.

Sidang pun dibuka dan para terdakwa dipanggil satu persatu. Saya tidak tahu apa dakwaan kepada terdakwa pertama, tapi dia didenda Rp39 ribu dan harus membayar biaya perkara Rp1.000, jadi total Rp40 ribu. Begitu pun terdakwa kedua, ketiga dan seterusnya.

Hingga akhirnya nama saya dipanggil, seingat saya di urutan keenam. Saat berhadapan dengan hakim, dia pun menyebutkan denda yang harus saya bayar total Rp40 ribu.

Setelah hakim membacakan vonis, saya harus pindah ke ruang sebelah untuk bertemu dengan jaksa dan membayar denda. Betul-betul saya hanya membayar Rp40 ribu. Jauh di bawah nominal yang disebutkan calo tadi pagi!!!

Seandainya saya tadi menggunakan jasa calo untuk menjadi joki di pengadilan, berapa uang yang akan dia terima? Itu baru dari saya, belum dari terdakwa lainnya. Mungkin itu memang rejekinya, dia mencari nafkah dengan cara seperti itu.

Di tengah kinerja negatif aparat birokrasi dan hukum, selalu ada orang-orang yang berusaha memanfaatkan untuk mencari keuntungan. Ketika aparat birokrasi dan hukum mulai memperbaiki diri, stigma negatif itu tidak serta merta hilang sehingga orang-orang yang berusaha mencari keuntungan itu masih terus ada. (*)

Tidak ada komentar: