Selasa, 15 Maret 2016

MENGHARAP UPAH YANG BERKEADILAN Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 14/3 (Antara) - Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan masih terus mendapat penolakan dari kalangan buruh karena dinilai menghilangkan kesempatan kelompok pekerja untuk merundingkan upah minimum.

Peraturan tersebut mengatur bahwa kenaikan upah minimum di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota akan ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, bukan lagi perundingan tripartit antara pekerja, pengusaha dan pemerintah daerah berdasarkan komponen hidup layak (KHL).

Kalangan buruh menilai kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak akan adil bagi daerah-daerah yang upah minimumnya kecil. Dengan nilai awal yang kecil, maka kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak akan terlalu signifikan.

Dengan formula tersebut, maka daerah-daerah yang memiliki upah minimum rendah tidak akan bisa mengejar ketertinggalan dengan daerah lain yang upah minimunya sudah jauh lebih tinggi.

Namun, di antara sejumlah hal yang menimbulkan penolakan dari kalangan buruh, yang terus menyuarakan agar Presiden Joko Widodo membatalkan Peraturan tersebut, terdapat beberapa hal yang sebenarnya cukup progresif yaitu tentang struktur dan skala upah.

Peraturan tersebut menyebutkan pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah dengan memerhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi. Struktur dan skala upah yang disusun wajib diberitahukan kepada seluruh pekerja.

Struktur dan skala upah wajib dilampirkan oleh perusahaan saat mengajukan permohonan pengesahan dan pembaruan peraturan perusahaan atau pendaftaran, perpanjangan dan pembaruan perjanjian kerja bersama.

Apa tujuan dari struktur dan skala upah? Bagian penjelasan Peraturan tersebut menyebutkan struktur dan skala upah dimaksudkan untuk mewujudkan upah yang berkeadilan.

Selain itu, struktur dan skala upah juga untuk mendorong peningkatan produktivitas di perusahaan, meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan menjamin kepastian upah dan mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi.



Sudah Adilkah?

Apakah yang dimaksud dengan upah yang beradilan?

Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Andriani mengatakan upah yang berkeadilan adalah upah yang adil bagi pengusaha, pekerja maupun sesama pekerja di dalam satu perusahaan.

"Masih banyak perusahaan yang belum adil dalam memberikan upah antara karyawan satu dengan lainnya," kata Andriani.

Karena itu, untuk mewujudkan upah yang berkeadilan, pemerintah mewajibkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Menurut Peraturan itu, setiap perusahaan wajib memiliki struktur dan skala upah paling lambat dua tahun setelah Peraturan tersebut diundangkan.

"Dalam pendaftaran perjanjian kerja bersama baru maupun perbaikan, Kementerian Ketenagakerjaan sudah mensyaratkan perusahaan untuk melampirkan salinan struktur dan skala upah. Hal itu bukan untuk mempersulit, tetapi untuk memastikan perusahaan menjalankan aturan," tuturnya.

Menurut Andriani, struktur dan skala upah menjadi acuan dalam menentukan upah tertinggi dan terendah di perusahaan sesuai dengan jenjang jabatan maupun pangkatnya tanpa ada diskriminasi.

"Prinsipnya adalah pekerjaan yang sama harus mendapatkan upah yang sama tanpa memandang suku, agama, bahkan pekerja asing maupun lokal. Yang masih terjadi saat ini adalah pekerja asing dianggap lebih hebat sehingga diupah lebih mahal," katanya.

Pekerjaan yang sama dapat diupah dengan nilai yang berbeda, hanya bila pekerjaan itu memiliki risiko yang berbeda. Misalnya tukang las di darat dan di laut.

"Sisi risiko juga harus dihargai dan diperhitungkan dalam struktur dan skala upah," ujarnya.



Stabilitas Perusahaan

Adanya kewajiban bagi pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah mendapat sambutan baik dari kalangan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai struktur dan skala upah dapat menjaga stabilitas perusahaan.

Anggota Apindo Alfan Zen dalam Dialog Nasional Tripartit Ketenagakerjaan "Pengupahan dan Struktur Skala Upah Yang Berkeadilan" pada Kamis (10/3) mengatakan struktur dan skala upah dapat menjaga stabilitas kerja karena menjaga motivasi pekerja.

"Struktur dan skala upah juga dapat mewujudkan pembayaran upah yang berkeadilan, mendorong pengembangan keahlian dan karier serta mempertahankan pekerja yang berkualitas," kata Alfan.

Meskipun mendukung adanya struktur dan skala upah di perusahaan, General Manager Sumber Daya Manusia PT Adis Group yang memproduksi sepatu dengan merk Nike itu menyatakan masih banyak perusahaan yang kesulitan dalam menyusun struktur dan skala upah.

Menurut dia, penyusunan struktur dan skala upah harus mempertimbangkan analisis kerja dan evaluasi kerja. Karena itu, waktu dua tahun yang ditetapkan pemerintah cukup menyulitkan beberapa perusahaan.

"Waktu dua tahun tidak cukup untuk menyusun dan menerapkan struktur dan skala upah. Namun, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan patut diapresiasi karena memiliki program bimbingan penyusunan struktur dan skala upah yang cukup bagus," tuturnya.

Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan pekerja berhak mendapatkan upah yang layak dan bagi hasil keuntungan yang adil dari perusahaan agar terjalin hubungan industrial yang baik.

"Hubungan industrial tidak dapat dipisahkan dengan pola hubungan tripartit antara pekerja, pengusaha dan pemerintah," katanya.

Menurut Mirah, negara memiliki peran untuk memberikan perlindungan sosial bagi pekerja dan rakyat. Dalam hubungan kemitraan tripartit, kaum pekerja perlu dilibatkan dalam proses pengembangan usaha melalui program kepemilikan saham perusahaan.

Untuk mewujudkan pengupahan yang layak dan adil, Mirah meminta Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera menerbitkan peraturan menteri sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Pemerintah harus memastikan bahwa setiap perusahaan memiliki struktur dan skala upah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi," tuturnya.

Mirah juga mendesak agar pemerintah menerapkan sanksi tegas terhadap perusahaan yang tidak memiliki struktur dan skala upah agar tidak terjadi eksploitasi tenaga kerja. ***3***

(Disiarkan LKBN Antara pada Senin, 14 Maret 2016 pukul 10:04 WIB)

Tidak ada komentar: