Selasa, 01 Maret 2016

BUAH SIMALAKAMA PROSTITUSI Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 29/2 (Antara) - Perhatian sebagian masyarakat masih menuju pada penertiban Kalijodo, Jakarta Utara, salah satu kawasan prostitusi untuk kelas bawah yang masih tersisa di Ibu Kota.

Penertiban tersebut dilakukan karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menilai kawasan prostitusi dan permukiman rumah tangga tersebut berada di lahan yang seharusnya digunakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH).

Hal itu mengundang pandangan pro dan kontra dari berbagai pihak. Pihak yang mendukung menilai kawasan tersebut memang patut ditertibkan karena merupakan salah satu sarang "penyakit" masyarakat karena menjadi lokasi transaksi prostitusi dan minuman keras.

Sedangkan pihak yang menentang penertiban tersebut berpandangan tidak hanya prostitusi yang berada di kawasan tersebut, tetapi juga rumah tangga yang setiap tahun membayar pajak bumi dan bangunan (PBB).

Pihak yang menentang juga khawatir bila kawasan prostitusi Kalijodo ditertibkan, maka para pekerja seks komersial (PSK) yang bekerja di kawasan tersebut akan menyebar ke mana-mana dan "berjualan" sembarangan di tempat lain.

Begitulah prostitusi. Dilokalisasi bisa menimbulkan protes sebagian orang, dibubarkan juga bisa memunculkan kekhawatiran bagi sebagian lainnya. Bagaikan buah simalakama.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Jakarta Devie Rahmawati mengatakan setiap kebijakan terkait prostitusi, baik melegalkan maupun tidak, sama-sama memiliki risiko bagi masyarakat di negara tersebut.

"Hal itu terbukti melalui studi yang dilakukan di negara-negara yang melegalkan prostitusi maupun yang tidak melegalkan," kata Devie.

Devie mengatakan 196 negara di dunia terbelah terkait penanganan prostitusi. Sebanyak 77 negara memilih melegalkan sedangkan sisanya memberlakukan sistem yang sangat ketat terhadap praktik lokalisasi.

Indonesia bersama Thailand, termasuk yang tidak melegalkan secara hukum. Namun, pada tataran praktik kemasyarakatan, bisnis prostitusi tersedia untuk melayani publik.

Devie mengatakan contoh negara yang melegalkan prostitusi dan memberikan kebebasan bagi pelaku seks komersial adalah Jerman dan Belanda. Namun, pelegalan tersebut tidak mampu mengurangi praktik kekerasan terhadap perempuan.

"Berdasarkan studi di Belanda, sebanyak 70 persen perempuan masih mengalami kekerasan," ujarnya.

Menurut Devie, 79 persen perempuan PSK di Belanda juga ingin keluar dari jerat prostitusi meskipun bisnis tersebut dilegalkan dan dibebaskan.

"Pembebasan justru membuat praktik penjualan orang semakin meluas dan praktik prostitusi anak semakin menguat," tuturnya.



Dua Pendekatan

Devie mengatakan menyelesaikan persoalan prostitusi harus menggunakan dua pendekatan, yaitu mengurangi penawaran atau mengurangi permintaan.

Contoh dua pendekatan yang berbeda bisa dilihat dari Swedia dan Amerika Serikat. Namun, Swedia layak menjadi salah satu kisah sukses yang bisa dicontoh Indonesia karena berhasil menurunkan angka pelaku seks komersial.

Meskipun melegalkan prostitusi, tetapi Swedia memilih mengurangi permintaan dengan memberlakukan hukuman denda yang ketat terhadap para konsumen prostitusi.

Dengan adanya hukuman denda bagi para konsumen prostitusi, maka masyarakat akan berpikir dua kali bila ingin menggunakan jasa para pelaku seks komersial. Dengan begitu, permintaan terhadap jasa seks komersial akan menurun, meskipun prostitusi dilegalkan

"Sedangkan contoh negara yang memilih menggunakan pendekatan mengurangi penawaran adalah Amerika Serikat dengan kebijakan tidak melegalkan prostitusi. Hasilnya, Amerika Serikat justru gagal mengurangi angka pelaku seks komersial," katanya.

Menurut studi, 82 persen perempuan mengalami kekerasan. Namun, karena prostitusi ilegal, PSK yang menjadi korban kekerasan tidak berani melapor kepada polisi.

"Sebanyak 68 persen mengalami pemerkosaan dan para perempuan itu 18 kali berpotensi lebih besar untuk bunuh diri karena tekanan emosional," katanya.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Devie mengatakan pemerintah pusat dan daerah harus secara tegas dan kompak memilih aturan untuk melegalkan prostitusi atau tidak.

"Bila memilih tidak dilegalkan harus disiapkan seperangkat infrastruktur kebijakan makro dan mikro yang tepat," katanya.

Menurut Devie, pada level makro pemerintah harus memastikan ketersediaan lapangan kerja atau jaminan sosial yang mampu memenuhi kebutuhan standar dasar hidup seperti sandang, pangan, papan dan pendidikan khususnya di kawasan kantong-kantong kemiskinan.

"Hal itu untuk mencegah masyarakat tidak mampu melakukan `migrasi sosial` ke profesi prostitusi," ujarnya.

Secara mikro, Devie mengatakan diperlukan pendataan yang komprehensif kemudian dibuat profil, baru intervensi hingga pembuatan identitas baru agar para pelaku prostitusi bisa terbebas dari stigma dan label negatif serta dapat menata ulang kehidupannya.

Menurut Devie, pendatang di kota perlu dikembalikan kepada pemerintah daerah asal yang memang seharusnya membina mereka. Bila semua diserahkan kepada pemerintah perkotaan yang menjadi daerah tujuan, tentu akan memberatkan.

"Jakarta akan `kehabisan oksigen` bila harus melayani seluruh permintaan negeri untuk mencicipi kue ekonomi," tuturnya.



Pengentasan PSK

Ketua Harian Yayasan Bandungwangi Endang Supriati mengatakan mengeluarkan seorang PSK dari dunia prostitusi tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak singkat.

Endang kemudian mencontohkan penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya oleh Wali Kota Tri Rismaharini. Saat itu, sebelum Dolly resmi ditutup, pemerintah kota dan Kementerian Sosial memiliki program pelatihan dan pemberian modal.

"Apakah kemudian program itu berhasil? PSK dari Dolly malah kemudian ke Jakarta. Uang yang didapat sebagai modal usaha malah dijadikan modal untuk pergi ke Jakarta dan kembali menjadi PSK," tuturnya.

Menurut Endang, Yayasan Bandungwangi dalam memberikan pendampingan kepada PSK selama ini tidak pernah memaksa agar mereka meninggalkan dunia prostitusi.

Yayasan Bandungwangi lebih banyak mendampingi PSK agar mereka paham risiko pekerjaannya, terutama tentang infeksi menular seksual dan HIV/AIDS.

"Mereka rata-rata tulang punggung keluarga. Kalau memang belum mampu dan siap, mengapa harus dipaksakan," ujarnya.

Namun, Yayasan Bandungwangi juga berusaha agar motivasi untuk keluar dari dunia prostitusi muncul dari diri PSK sendiri. Untuk memunculkan motivasi tersebut, Endang mengatakan memerlukan waktu yang tidak sebentar.

"Dukungan yang diberikan pelan, tapi pasti. Bagi PSK keluar dari dunia prostitusi tidak mudah karena faktor ekonomi menjadi tuntutan sementara mereka tidak berpendidikan atau memiliki keterampilan lain," katanya.

Menurut Endang, bila motivasi awalnya keluar dari di dunia prostitusi tidak dari diri sendiri, seorang mantan PSK bisa kembali bekerja sebagai perempuan penghibur.

"Untuk mengeluarkan seorang PSK dari dunia prostitusi harus dilihat dari berbagai masing-masing orang. Apa sebabnya, apa masalahnya. Tidak bisa semua disamakan," katanya.

Endang kemudian mencontohkan salah satu PSK binaan Yayasan Bandungwangi yang sempat berhenti sebagai perempuan penghibur setelah menikah dengan salah satu pelanggannya.

Usia pernikahan mereka berlangsung cukup lama, tetapi kemudian suami mantan PSK tersebut ketahuan selingkuh sehingga kemudian akhirnya mereka bercerai. Setelah itu, mantan PSK itu kembali ke dunia prostitusi.

"Harus ada kemauan dari diri PSK sendiri. Tidak bisa hanya dengan menutup lokalisasi dan memberikan pelatihan kerja serta modal saja," kata Endang. ***4***

(Disiarkan LKBN Antara pada Senin, 29 Februari 2016 pukul 10:34  WIB)

Tidak ada komentar: