Kamis, 10 Maret 2016

MENYELAMATKAN BONUS DEMOGRAFI INDONESIA Oleh Dewanto Samodro *)

"Industri rokok berusaha menyasar anak-anak muda untuk menjadi perokok," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Emil Salim beberapa waktu lalu.

Pernyataan Emil tampaknya memang perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Generasi muda yang menjadi sasaran industri rokok untuk menjadi perokok bukanlah isapan jempol, tetapi merupakan hal yang nyata.

Hal itu terlihat dalam proyeksi pertumbuhan produk rokok yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 yang sangat proindustri.

Menurut peta jalan tersebut, produksi rokok diproyeksikan 421,1 miliar batang pada 2016 dan 524,2 miliar batang pada 2020.

Dari total produksi rokok yang diproyeksikan tersebut, yang paling banyak peningkatannya adalah sigaret kretek mesin "mild" yaitu dari 121,3 miliar batang pada 2016 menjadi 306,2 miliar batang pada 2020.

Angka peningkatan jenis rokok tersebut jauh bila dibandingkan rokok jenis lainnya seperti sigaret kretek tangan (77,1 miliar menjadi 77,5 miliar), sigaret kretek mesin reguler (122,6 miliar menjadi 147,3 miliar) dan sigaret putih mesin (23,2 miliar menjadi 27,7 miliar).

Bila dilihat dari sisi strategi pasar, proyeksi tersebut akan disebut menunjukkan selera konsumen rokok saat ini yang lebih mengarah kepada sigaret kretek "mild". Namun, bila dilihat dari paradigma kritis, benarkah proyeksi tersebut semata-mata sekadar untuk memenuhi selera pasar?

Paradigma kritis terutama bersumber dari pemikiran "mazhab" Frankfurt. Aliran Frankfurt ini banyak memperhatikan aspek ekonomi politik dalam proses penyebaran pesan.

Paradigma kritis ingin mengoreksi paradigma konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.

Menurut paradigma ini, media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok yang dominan.

Bila media, pesan dan makna bukanlah sesuatu yang netral dan sangat mungkin dikendalikan oleh kelompok yang dominan, maka begitu pula dengan proyeksi pertumbuhan industri rokok yang tercantum peta jalan Kementerian Perindustrian.

Karena itu, sangat mungkin terdapat kelompok-kelompok dominan yang berusaha mengendalikan proyeksi pertumbuhan produksi tembakau untuk meraih keuntungan.


Selera Pasar
Apakah selera pasar yang memengaruhi media, atau media yang memengaruhi selera pasar? Adorno dan Horkheimer, salah satu pemikir paling menonjol mazhab Frankfurt mengkritik media sebagai industri budaya yang mengubah budaya tinggi dan budaya rakyat menjadi komoditas yang dijual demi keuntungan.

Begitu pula dengan industri rokok yang "memaksa" pasar untuk mengonsumsi sigaret kretek mesin "mild" lebih banyak daripada rokok jenis lain.

Proyeksi produksi sigaret kretek mesin "mild" jauh di atas jenis lainnya karena rokok jenis ini merupakan kegemaran anak-anak muda. Sigaret kretek mesin "mild" memiliki kadar nikotin yang lebih sedikit dan lebih ringan sehingga menjadi favorit anak-anak muda.

Tujuan penetapan proyeksi produksi sigaret kretek mesin "mild" yang tinggi itu tidak lain adalah untuk menciptakan para perokok baru dan mempertahankan anak-anak muda yang sudah merokok untuk tetap menjadi perokok. Nyata-nyata generasi muda yang disasar.

Demi kepentingan meraup keuntungan dan melanggengkan bisnisnya, industri rokok berusaha membentuk kelompok perokok pengganti bila konsumen setianya yang sudah tua berhenti merokok, baik karena kesadaran sendiri, sakit maupun mati.

Para pendukung industri rokok pun secara terbuka berusaha membenarkan perilaku merokok dengan memunculkan wacana bahwa rokok kretek adalah "budaya" Indonesia.

Sebagaimana kritik Adorno dan Horkheimer, industri berupaya menjual "budaya" buruk merokok sebagai komoditas yang dijual untuk meraup keuntungan.

Dan harus diwaspadai bangsa Indonesia, industri rokok berusaha meraup keuntungan dengan menyasar anak-anak muda, yang menurut para pakar ekonomi, adalah bonus demografi yang menjadi harapan Indonesia pada 2025-2035.


Pengendalian Tembakau
Satu-satunya cara untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia untuk tetap menjadi bonus demografi 2025-2035 adalah dengan pengendalian tembakau. Karena itulah, industri rokok selalu memusuhi segala upaya pengendalian tembakau.

Industri rokok di negara mana pun terus berupaya menghalangi upaya pembuatan regulasi pengendalian tembakau. Hal itu bisa diketahui dari risalah rapat dewan direksi Philips Morris International.

Upaya pengendalian tembakau pertama kali diawali di Jerman oleh Adolf Hitler melalui Partai Nazi. Pada saat itu, semua anggota Nazi dilarang menghisap rokok.

Seiring dengan kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II, isu pengendalian tembakau ikut surut. Baru pada 1950-an muncul gerakan pendukung kesehatan masyarakat di Amerika Serikat yang berhadapan dengan industri rokok.

Saat itu, kelompok pendukung kesehatan masyarakat menginginkan ada regulasi pengendalian tembakau yang ditentang oleh Philips Morris.

Industri rokok melakukan berbagai cara untuk menghalangi proses legislasi pengendalian tembakau dengan menuntut kesamaan hak dan duduk bersama dengan pemerintah dalam membuat peraturan tentang rokok.

Industri rokok juga berusaha memengaruhi penyusunan regulasi yang menguntungkan mereka dan menentang segala upaya pemerintah dalam mengendalikan tembakau. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menyuap anggota parlemen dan mendekati pemerintah.

Salah satu contohnya adalah di Argentina pada 2005, ketika industri rokok bekerja sama dengan parlemen dan kelompok ilmuwan yang berhasil menunda undang-undang pengendalian tembakau.

Di Indonesia, sudah cukup banyak dinamika legislasi yang menunjukkan interferensi industri rokok. Yang pertama adalah upaya menghilangkan pernyataan bahwa nikotin merupakan zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan pada 1992 dan yang terbaru mereka penyusupan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas di DPR.


Ancaman
Keberadaaan RUU Pertembakauan dalam Prolegnas Prioritas DPR akan menjadi ancaman bagi upaya pengendalian tembakau di Indonesia yang hingga saat ini masih lemah. RUU tersebut berpotensi mematikan regulasi tentang pengendalian tembakau yang sudah ada.

Saat ini terdapat beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengendalian tembakau seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Selain itu, juga ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2013 tentang Panduan Peta Jalan Pengendalian Masalah Tembakau Bagi Kesehatan dan berbagai peraturan tentang kawasan tanpa rokok di tingkat provinsi maupun kabupaten-kota.

"Kementerian Keuangan juga mengatur pengendalian tembakau melalui cukai dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Keberadaan aturan-aturan tersebut akan terancam bila RUU Pertembakauan disahkan menjadi undang-undang. Pasalnya, pada naskah RUU Pertembakauan yang sedang dibahas DPR disebutkan bahwa segala aturan tentang tembakau yang sudah ada sebelumnya harus disesuaikan dalam waktu dua tahun.

Beberapa aturan yang terancam misalnya pembatasan iklan, promosi dan sponsorship rokok serta keberadaan kawasan tanpa rokok.

Karena itu, bila Presiden Joko Widodo betul-betul serius dengan Nawa Cita yang dia buat sendiri sebagai visi dan misinya dalam memimpin negeri, sudah seharusnya pemerintah menolak pembahasan RUU Pertembakauan bersama DPR.

Bila hal itu tidak dilakukan, maka Nawa Cita hanya akan menjadi cita-cita yang tidak kunjung tercapai. ***4***

*) Wartawan LKBN Antara, penerima Medco-Paramadina Fellowship for Political Communication

(Disiarkan LKBN Antara pada Selasa, 08 Maret 2016 pukul 14:33 WIB)

Tidak ada komentar: