Rabu, 17 Juni 2009

NEWS : UU PEMILU TIDAK KONSISTEN Implikasi Keputusan MK Tentang Suara Terbanyak

Pasca keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak, filosofi Pemilu 2009 mengalami perubahan. Bila sebelumnya dengan penetapan nomor urut, partai politik (parpol) diasumsikan sebagai pihak yang paling mengetahui kualitas calon anggota legislatif (caleg), maka dengan suara terbanyak diasumsikan pemilih sudah tahu kualitas caleg. Padahal kenyataannya para pemilih banyak yang belum mengenal dan mengetahui kualitas para caleg.
Hal tersebut mengemuka pada Seminar “Implikasi Formula Penetapan Caleg Terpilih di Pemilu 2009” yang diselenggarakan Jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan Program Magister Ilmu Politik Undip di Gedung Pascasarjana Undip Jalan Imam Bardjo SH Semarang, Rabu (17/6).
Mantan Wakil Ketua KPU Pusat Prof Dr Ramlan Surbhakti MA PhD yang hadir sebagai pembicara mengatakan, UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu merupakan UU tentang Pemilu yang paling buruk dari segi kepastian hukum karena multitafsir dan tidak konsisten. Selain itu terdapat banyak kesalahan yang akhirnya menjadi perdebatan pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
“Pemilu 2009 menjadi amburadul karena terdapat inkonsistensi dalam pelaksanaannya. Keputusan MK yang mencabut pasal 214 tentang caleg terpilih berdasarkan nomor urut secara de facto juga membatalkan pasal 55 tentang caleg disusun berdasarkan nomor urut. Padahal keputusan MK keluar setelah daftar caleg disusun berdasarkan nomor urut,” kata Ramlan yang juga guru besar Unair Malang.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Undip Prof Dr Arif Hidayat MHum yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan UU merupakan produk politik yang dibuat oleh institusi politik sehingga banyak faktor di luar hukum yang yang mempengaruhi.
“Hukum menjadi cacat sejak lahir karena banyak kepentingan seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, agama dan lain-lain yang mempengaruhi,” kata Arif.
Selain itu, Arif menambahkan, UU merupakan aturan hukum yang masih memerlukan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Tetapi untuk UU Pemilu, aturan pelaksananya tidak bisa PP atau Perpres karena KPU merupakan lembaga independen, sehingga bila aturan pelaksananya menggunakan PP atau Perpres akan menjadikan KPU tidak independen.
“Oleh karena itu, secara implisit Peraturan KPU setara dengan PP atau Perpres. Begitu pula dengan keputusan MK yang juga setara dengan PP atau Perpres,” kata Arif.
Meski dinilai amburadul, pembicara lain, mantan Ketu KPU Jateng Fitriyah MA mengatakan hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu menghasilkan beberapa kelebihan dibandingkan Pemilu 2004.
“Berdasarkan para caleg yang terpilih, ternyata pemilu 2009 menghasilkan anggota legislatif yang lebih muda, lebih terdidik dan memiliki keterwakilan perempuan lebih tinggi dibanding Pemilu 2004,” kata Fitriyah yang juga pengajar Jurusan Pemerintahan Undip.
Namun dengan sistem yang digunakan, Pileg 2009 juga memiliki kekurangan berupa dana politik yang kian besar, caleg populer lebih berpeluang terpilih dan jumlah kasus sengketa hasil pemilu yang kian meningkat.
“Dengan kekurangan yang muncul tersebut, muncul pertanyaan, apakah wakil rakyat yang terpilih akan benar-benar mewakili rakyat atau menjadi wakil rakyat untuk mencari kerja,” tutup Fitriyah.

Tidak ada komentar: