Rabu, 24 Februari 2016

DARURAT GIZI DI TENGAH TINGGINYA KONSUMSI ROKOK Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 23/2 (Antara) - Indonesia telah darurat gizi, kata Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Jakarta (LDUI) Abdillah Ahsan pada seminar "Gizi Kurang, Kemiskinan dan Konsumsi Rokok" di Jakarta, Selasa.

Pernyataan Abdillah tersebut bisa jadi ada benarnya. Setidaknya, apa yang disampaikan ahli gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Diah Mulyawati Utari mendukung hal itu. Posisi masalah gizi di Indonesia memenuhi seluruh kategori yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Terdapat tiga kategori masalah gizi. Kategori A meliputi kurang energi protein sehingga tubuh anak-anak kurus dan pendek, kategori B meliputi kurang vitamin A dan zat besi, serta kategori C adalah gizi lebih yang menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas.

"Semua masalah gizi ada di Indonesia, yaitu kurang energi protein, kurang vitamin A, anemia akibat kurang zat besi, gizi lebih dan kekurangan yodium," kata Diah.

Diah mengatakan kebanyakan permasalahan gizi terjadi pada keluarga rumah tangga miskin. Namun, yang menjadi ironi, kepala rumah tangga miskin tetap merokok meskipun anak-anaknya kurang gizi.

"Padahal, dua batang rokok saja bisa dibelikan satu butir telur. Itu sudah cukup untuk memenuhi gizi balita. Namun, ternyata belanja rokok rumah tangga miskin menempati urutan kedua setelah beras," tuturnya.

Menurut Diah, paparan asap rokok juga terbukti memengaruhi asupan gizi anak dan balita sejak dari dalam kandungan.

Paparan asap rokok akan menyebabkan paru-paru anak terinfeksi. Infeksi tersebut akan mengurangi nafsu makan anak sehingga asupan gizinya kurang.

Kondisi tersebut diperparah oleh fakta bahwa lebih dari setengah populasi balita di Indonesia terpapar asap rokok, tujuh dari 10 anak usia 13 tahun hingga 15 tahun terpapar asap rokok dan lebih dari setengah perokok pasif adalah kelompok rentan, yaitu balita dan perempuan.

"Penelitian yang dilakukan Semba di Indonesia sepanjang 1999 hingga 2003 yang menyurvei 175.000 keluarga miskin di perkotaan Indonesia menunjukkan bahwa tiga dari lima kepala keluarga adalah perokok aktif," tuturnya.

Menurut penelitian tersebut, perilaku merokok kepala rumah tangga memiliki hubungan bermakna terhadap gizi buruk balita. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan makanan bergizi untuk tumbuh kembang balita.

"Padahal, risiko kematian balita keluarga perokok mencapai 14 persen di perkotaan dan 24 persen di perdesaan. Bahkan, satu dari lima kasus kematian balita berhubungan dengan perilaku merokok orang tua," katanya.

Sementara itu, Kepala Subdit Statistik Kerawanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Ahmad Avenzora mengatakan rokok merupakan salah satu jebakan kemiskinan. Pasalnya, rokok merupakan salah satu komponen yang memengaruhi kemiskinan.

Menurut Ahmad, angka kemiskinan di Indonesia bisa berkurang bila konsumsi tembakau dikendalikan dan orang miskin tidak lagi merokok.

"Bila uang untuk membeli rokok digunakan memenuhi gizi keluarga, rumah tangga miskin bisa lebih sejahtera," katanya.

Ahmad mengatakan bahwa konsep kemiskinan yang digunakan BPS adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Kebutuhan dasar makanan ditentukan sebesar 2.100 kilokalori per kapita per hari berdasarkan 52 jenis komoditas makanan dan minuman serta tembakau.

Kebutuhan dasar bukan makanan ditetapkan berdasarkan 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.

"Tembakau dan rokok sama sekali tidak memiliki nilai kalori sehingga tidak menyumbang apa pun dalam mengangkat rumah tangga miskin dari garis kemiskinan. Tentu sangat berbeda bila uang untuk membeli rokok digunakan untuk membeli telur," tuturnya.

Ahmad mengatakan bahwa rokok kretek filter berada pada posisi kedua sebagai komoditas yang memberi pengaruh besar terhadap garis kemiskinan.

Berdasarkan survei BPS pada bulan September 2015, rokok kretek filter menyumbang kemiskinan 8,08 persen di perkotaan dan 7,68 persen di perdesaan.



Tujuan SDGs

Kemiskinan dan kesehatan masyarakat sangat berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang telah ditetapkan negara-negara di dunia.

Karena itu, Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA) mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengefektifkan sistem pajak dan cukai tembakau untuk mengurangi konsumsi tembakau dan mengurangi kemiskinan serta mencapai tujuan SDGs.

"Penggunaan tembakau menghalangi pembangunan dan memperburuk kemiskinan," kata Manajer Program Pajak Tembakau SEATCA Sophahan Ratanachena.

Sophahan mengatakan konsumsi tembakau di Indonesia terus meningkat dan telah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Saat ini, dua per tiga laki-laki Indonesia adalah perokok.

Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2013, prevalensi merokok laki-laki Indonesia meningkat dari 53,4 persen pada 1995 menjadi 64,9 persen pada 2013, disebabkan oleh harga rokok yang murah dan terjangkau.

Sophahan menilai harga rokok di Indonesia yang murah dan terjangkau juga disebabkan oleh interferensi industri tembakau dalam kebijakan pengendalian tembakau�yang menyebabkan konflik agenda pemerintah.

"Menurunkan konsumsi tembakau penting bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen dalam melaksanakan 17 tujuan SDGs. Indonesia masih memiliki sistem pajak dan cukai tembakau yang rumit dan tidak efisien yang menyebabkan harga rokok murah dan terjangkau," tuturnya.

Karena itu, Wakil Kepala LDUI Abdillah Ahsan mendesak pemerintah untuk mengambil posisi pro-kesehatan masyarakat untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam mengurangi konsumsi rokok.

"Kesehatan masyarakat diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945," kata Abdillah.

Selain dalam Undang-Undang Dasar 1945, kesehatan masyarakat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Undang-Undang tersebut juga diatur tentang pengendalian konsumsi rokok.

Dalam Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan disebutkan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif, termasuk tembakau, diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan.

"Pengendalian tembakau juga diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Sebagai barang terkena cukai, maka tembakau harus dikendalikan konsumsinya dan diawasi peredarannya karena pemakaiannya berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup," tuturnya.

Menurut Abdillah, konstitusi dan peraturan perundang-undangan sudah jelas mengamanatkan pengendalian konsumsi rokok. Karena itu, semua pihak harus taat.

Pemerintah juga seharusnya memiliki kebijakan yang tegas mengatur pengendalian tembakau melalui pengenaan cukai yang tinggi, larangan iklan rokok, peringatan kesehatan bergambar dan kawasan tanpa rokok.

"Yang ironis adalah banyak perokok adalah orang miskin yang pembelanjaan untuk rokok menempati posisi kedua. Bila orang miskin bisa dicegah untuk membeli rokok, uang mereka bisa digunakan untuk meningkatkan gizi keluarga," katanya. ***4***

(DIsiarkan LKBN Antara pada Selasa, 23 Februari 2016 pukul 21.51 WIB)

Tidak ada komentar: