Rabu, 24 Februari 2016

MENCARI SOLUSI BAGI KALIJODO Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 22/2 (Antara) - Niat pemerintah daerah untuk menggusur dan menertibkan kawasan tertentu selalu menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang terkena dampak langsung rencana tersebut.

Begitu pula dengan kawasan prostitusi Kalijodo, yang bagi sebagian orang lainnya di luar kawasan itu mungkin menimbulkan keresahan tersendiri karena tudingan sebagai pusat penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, jumlah pengidap HIV di seluruh Kecamatan Penjaringan, tempat kawasan prostitusi tersebut berada, relatif cukup tinggi. Data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Penjaringan menunjukkan terdapat 101 orang yang positif HIV.

"Dari 101 orang itu, tidak semuanya pekerja seks komersial (PSK). Ada juga yang ibu rumah tangga," kata Koordinator HIV/AIDS Puskesmas Kecamatan Penjaringan dr. Intan Novita beberapa waktu lalu.

Meskipun yang positif HIV tidak semuanya PSK, Intan menyatakan yang paling banyak adalah dari kawasan Kalijodo. Hal itu merupakan hal yang wajar karena PSK Kalijodo memiliki perilaku yang berisiko terkena HIV.

Intan menyebutkan dari 101 warga Kecamatan Penjaringan yang positif HIV, sebanyak 80 orang yang rutin memeriksakan diri ke puskesmas. Khusus PSK Kalijodo, mereka beralasan tidak diperbolehkan oleh mucikarinya untuk keluar.

"Padahal, mereka mendapatkan obat antiretroviral (ARV) dari puskesmas. Setiap 6 bulan sekali, seseorang yang positif HIV juga harus melakukan pemeriksaan CD4 untuk mengetahui tingkat ketahanan tubuhnya," tuturnya.

Data dari Posko Pendaftaran dan Penanganan Warga RW 05 Kalijodo, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan menyatakan jumlah wanita penghibur di lokalisasi tersebut mencapai kurang lebih 445 orang, dengan perincian 195 orang terikat dan 250 orang tidak tetap.

Dari 445 PSK di kawasan Kalijodo, Intan menyatakan yang telah melakukan pemeriksaan HIV secara sukarela baru 220 orang. PSK yang dinyatakan positif HIV kemudian diwajibkan untuk datang ke Puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Namun, memang tidak semua mau menjalankan kewajiban itu," katanya.



Berpotensi Menularkan

Keberadaan sejumlah PSK yang telah dinyatakan positif HIV di kawasan Kalijodo tentu menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang lainnya. Pasalnya, bukan tidak mungkin laki-laki hidung belang yang kerap "jajan" di kawasan tersebut tertular HIV dan penyakit menular lainnya.

Menurut data Kementerian Kesehatan, ibu rumah tangga merupakan kelompok yang paling banyak mengidap HIV. Data tersebut mungkin cukup mencengangkan, tetapi tidak mengherankan karena ibu rumah tangga tertular HIV dari suaminya yang melakukan perilaku berisiko, di antaranya berhubungan seksual dengan PSK tanpa alat kontrasepsi.

Perilaku berisiko tersebut betul-betul terjadi di Kalijodo, sebagaimana disampaikan dr. Intan Novita.

"Beberapa PSK pengidap HIV yang rutin memeriksakan diri ke puskesmas mengeluh karena ada beberapa pelanggan yang enggan menggunakan alat kontrasepsi," katanya.

Meskipun PSK tersebut sudah mengonsumsi obat ARV, menurut Intan, tetap memiliki kemungkinan untuk menularkan HIV. Pasalnya, ARV hanya menekan virus HIV agar tidak aktif di dalam tubuh. HIV pada dasarnya memang tidak bisa diobati.

Menurut Intan, Puskesmas Kecamatan Penjaringan selalu berusaha memberikan pemahaman kepada PSK Kalijodo agar menggunakan alat kontrasepsi agar tidak menularkan atau tertular HIV.

"Kami memberi pemahaman kepada PSK agar mereka merasa memiliki kewajiban moral agar tidak menularkan HIV. Pasalnya, dari PSK tersebut bisa saja menularkan kepada pelanggan, kemudian kepada istrinya, lalu kepada anak yang akan dilahirkan," katanya.



3.052 Jiwa

Kawasan Kalijodo berdiri di atas lahan kurang lebih 1,6 hektare dan dihuni 3.052 jiwa atau 1.340 kepala keluarga. Kawasan tersebut meliputi wilayah RW 05 Kelurahan Pejagalan (RT 001, RT 003, RT 004, RT 005, dan RT 006), Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, serta RT 007 dan RT 008 di RW 010 Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Di kawasan tersebut terdapat 250 bangunan permanen dan 300 bangunan semipermanen, di antaranya yang terdaftar memiliki pajak bumi dan bangunan (PBB) sekitar 90 persen.

Terdapat pekerja yang bekerja baik secara langsung maupun tidak langsung di kawasan tersebut dengan total mencapai kurang lebih 1.405 orang. Selain 445 PSK, juga terdapat 60 pengojek, 100 petugas keamanan, 500 pramusaji, dan 300 pekerja lain.

Para pekerja tersebut bekerja secara langsung maupun tidak pada 58 kafe yang ada. Pada saat hari libur, omzet kawasan lokalisasi Kalijodo diperkirakan mencapai Rp1 miliar hingga Rp1,5 miliar.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki sejumlah rencana terhadap para pekerja dan warga Kalijodo yang terkena dampak penertiban. Warga yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta akan direlokasi ke sejumlah rumah susun, seperti Rumah Susun Marunda di Jakarta Utara dan Rumah Susun Pulogebang di Jakarta Timur.

"Bagi yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta, kami menyarankan untuk kembali ke kampung halaman masing-masing," kata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Untuk mencegah rumah susun menjadi lokasi prostitusi, calon penghuni akan diverifikasi terlebih dahulu. Warga yang terindikasi sebagai PSK tidak akan direlokasi ke rumah susun.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menyiapkan sejumlah pelatihan-pelatihan di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi bagi para pelaku prostitusi yang ingin beralih profesi.

Mereka juga akan diberikan kesempatan untuk berdagang. Hal ini akan dikoordinasikan melalui PD Pasar Jaya dan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan (KUMKMP).



Selain Prostitusi

Meskipun sudah mendapatkan jaminan relokasi dan kesempatan usaha, sejumlah warga Kalijodo tetap menyayangkan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena yang ada di kawasan tersebut bukan hanya prostitusi.

"Di Kalijodo juga ada warga yang bekerja secara halal. Berdagang, menjadi tukang ojek, juga ada pabrik mi. Kami harus ke mana kalau kemudian digusur?" kata Yan Fadhila (46).

Apalagi, warga juga tidak diberi waktu untuk mempersiapkan kepindahan. Menurut Yan, batas waktu yang singkat akan menyulitkan warga untuk mempersiapkan diri.

"Untuk pindah, kan perlu biaya. Sementara itu, Kalijodo sekarang sudah mulai sepi. Pelanggan kafe dan wisma yang biasanya ramai, sekarang tidak berani datang. Mereka dapat uang dari mana untuk pindah?" tuturnya.

Menurut Yan, sejak Kalijodo ramai diberitakan, sejumlah aparat dan wartawan kerap datang ke kawasan tersebut. Akibatnya, wisma dan kafe yang biasanya ramai pelanggan saat ini mulai sepi. Beberapa PSK juga sudah mulai meninggalkan kawasan tersebut.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya membuka pintu bagi warga Kalijodo untuk berdialog dan mendengar aspirasi mereka. Namun, hingga saat ini seolah-olah tidak ada pintu dialog.

Tidak hanya pelaku bisnis prostitusi dan warga Kalijodo yang kebingungan bila kawasan tersebut dibongkar dan ditertibkan, tetapi Cindy (37), pedagang yang menjual barang secara kredit kepada warga, juga mengaku kebingungan.

"Sekarang saja sudah banyak yang pergi. Saya bingung harus menagih ke mana," kata Cindy.

Warga Pesing, Jakarta Barat, itu mengatakan bahwa dirinya menjual barang-barang keperluan rumah tangga, mulai pakaian, seprai, hingga alat elektronik, seperti kipas angin dan televisi.

Cindy memperkirakan nilai kredit yang belum dilunasi pelanggannya mencapai Rp20 juta hingga Rp30 juta. Barang-barang dagangannya dijual secara kredit dan dibayar setiap hari Rp20 ribu hingga Rp30 ribu oleh pelanggannya.

Dari para pelanggan yang membayar utang tersebut, setidaknya dia menerima Rp300 ribu setiap hari.

Cindy mengatakan bahwa beberapa pekerja kafe dan wisma di kawasan Kalijodo yang menjadi pelanggannya beberapa sudah pergi tanpa melunasi utangnya. Dia mengaku hanya bisa pasrah bila kemudian utang-utang tersebut tidak dilunasi. ***4***

(Disiarkan LKBN Antara pada Senin, 22 Februari 2016 pukul 11.19 WIB)

Tidak ada komentar: