Minggu, 08 Desember 2013

LAMUNAN DI SEBUAH BUS KOTA

Hari itu, aku berangkat agak siang. Menggunakan kereta rel listrik dari Stasiun Sudimara, kemudian turun di Stasiun Tanah Abang. Dari Stasiun Tanah Abang, perjalanan dilanjutkan menggunakan Kopaja 502 jurusan Tanah Abang-Kampung Melayu.

Seperti biasa, waktu di dalam bus kota kuhabiskan dengan melamunkan berbagai hal, mulai dari hal-hal yang melankolik hingga permasalahan masyarakat yang kulihat di sepanjang jalan.

Tiba-tiba, lamunanku buyar. Seorang anak, mungkin seusia pelajar SMP, masuk ke dalam bus dan menawarkan tisu. Ketika dia mendekat, aku bertanya berapa harga tisu yang dia jual.

"Dua ribu," katanya sambil menyodorkan dua bungkus tisu.

"Satu saja," kataku sambil menyerahkan selembar dua ribuan.

Sebenarnya aku tidak terlalu membutuhkan tisu itu. Namun entah mengapa ingin saja rasanya membeli dagangan anak itu.

Setelah tisu itu ada di tanganku, benakku pun berpikir. "Sekolahkah anak itu?". Kulihat jam tangan dan kupikir, mungkin dia sudah pulang sekolah, kemudian setelah itu berjualan tisu di bus-bus kota.

Aku pun berpikir, seorang anak sekecil itu mau mencari uang dengan berjualan tisu. Entah berapa laba yang dia peroleh dari berjualan itu. Mungkin hasilnya untuk biaya sekolah, atau sekadar menambah uang sakunya saja.

Kejadian selanjutnya sungguh sangat-sangat kontras dengan yang baru saja kualami. Tak lama kemudian, naik seorang pemuda, mungkin usianya menjelang 20 tahun. Dia bukan penumpang, tapi juga bukan pedagang asongan.

"Bapak, ibu, om, tante. Saya tidak bermaksud mengganggu perjalanan. Saya hanya ingin mencari rezeki halal. Sudilah kiranya bapak, ibu, om, tante memberikan uang kepada saya," katanya.

"Bukannya saya malas. Saya juga ingin bekerja seperti bapak, ibu, om, tante. Namun apalah daya, saya tidak punya ijazah. Betapa sulitnya mencari pekerjaan tanpa ijazah di Jakarta ini," lanjutnya.

Entah mengapa, mendengar fisik, tindak tanduk dan penjelasannya, nuraniku tak tergerak meskipun hanya untuk merogoh sekeping uang logam yang ada di saku celanaku.

Meskipun dia mengucapkan kata-kata betapa besar pahala orang yang bersedekah, imanku tidak membuat aku memberikan sekadar recehan kepada pemuda itu.

Namun mengapa ketika ada anak kecil yang menjual tisu, hati ini menyuruhku membeli dagangan anak itu. Padahal, tisu itupun sebenarnya tidak terlalu aku butuhkan.

Masih menggenggam tisu yang aku beli tadi, lamunanku kembali melayang. Mengapa anak sekecil itu mau berjualan? Dari mana dan berapa modal yang dia miliki untuk berjualan?

Aku juga bertanya, kenapa pemuda yang masih sehat, kuat dan parasnya tergolong tampan, rela merendahkan diri meminta-minta di dalam bus kota. Benarkah begitu sulitnya mendapatkan pekerjaan di Jakarta, sehingga dia memilih membujuk penumpang untuk memberikan seribu atau dua ribu rupiah?

Pikiranku pun teringat pesan siaran yang aku terima dari temanku beberapa waktu lalu. Isinya tentang upaya Walikota Bandung yang ingin merekrut anak-anak jalanan dan pengemis untuk menjadi penyapu jalan. Namun, ajakan walikota memberikan mereka pekerjaan itu bertepuk sebelah tangan. Mereka tetap memilih hidup di jalan dan mengemis.

Beberapa hari ini, media massa juga sempat ramai memberitakan seorang peminta-peminta yang diciduk di kawasan Pancoran, ternyata menyimpan uang 25 juta. Uang itu dia peroleh dari meminta-meminta selama dua minggu.

Sungguh beberapa manusia ternyata lebih memilih merendahkan dan menghinakan diri sendiri demi mendapatkan uang dengan mudah. Apalagi, cara yang mudah itu ternyata memberikan banyak uang.

Aku pun kembali teringat pada tisu yang masih aku genggam. Sayup-sayup di dalam batinku, aku seolah mendengar lagu yang pernah dinyanyikan Iwan Fals.

"Si Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan. Di simpang jalan tugu Pancoran, tunggu pembeli jajakan koran".

Tidak ada komentar: