Jumat, 06 September 2013

Kemajuan kelas ekonomi PT KAI

Perlintasan kereta api Permata Hijau Jakarta (Foto: Dewanto Samodro)
Mudik dan balik Lebaran tahun ini mungkin meninggalkan kesan mendalam. Apalagi bagi penumpang kereta api yang setelah sekian lama "terpaksa" harus naik kelas ekonomi lagi.

Pun begitu bagi saya, yang selama ini "menjauh" dari kereta ekonomi untuk tujuan jarak jauh. Meskipun sudah pernah mendengar bahwa kelas ekonomi kereta api kini sudah lebih baik karena berpendingin udara dan tak ada lagi penumpang berdiri, tapi bayangan betapa "repotnya" naik kereta kelas tersebut masih tetap ada di dalam benak.

Namun Idul Fitri 1434 H rupanya benar-benar memberikan "pencerahan" bagi saya betapa sudah majunya kelas ekonomi kereta api.

Lebaran tahun ini saya bersama istri mudik ke Tegal. Mudik menggunakan kelas bisnis Cirebon Ekspress jurusan Jakarta Gambir-Tegal, balik menggunakan kelas ekonomi Menoreh jurusan Semarang Tawang-Jakarta Pasar Senen.

Saat mendapat tiket balik kelas ekonomi itu, saya sempat dongkol kepada PT Kereta Api. Mengapa pemesanan tiket semua kelas dilayani sejak 90 hari sebelum keberangkatan?

Kebijakan itu membuat saya yang untuk mudik dan balik harus menunggu kepastian jadwal piket dari kantor, terpaksa membeli tiket mendekati waktu keberangkatan dengan risiko kehabisan tiket.

Namun, begitu saya melihat sendiri kereta Menoreh kelas ekonomi, yang tiketnya "terpaksa" saya beli, bayangan tentang repotnya kelas ekonomi yang jorok dan fasilitasnya yang rusak serta merta hilang. Bahkan, tanpa bermaksud lebay seperti anak-anak muda saat ini bilang, saya harus kagum dengan PT KAI.

Kelas ekonomi kini benar-benar berbeda. Selain berpendingin udara, kursi-kursinya ternyata juga baru-baru. Beberapa bahkan masih ada yang terbungkus plasik. Saya yang sebelumnya membayangkan kursi kelas ekonomi yang keras dan lusuh, "terpaksa" menghapus bayangan tersebut.

Bayangan bahwa saya harus beradu lutut dengan sesama penumpang yang berhadapan dengan saya juga kembali sirna. Meskipun didesain saling berhadapan, ternyata jarak antarkursi cukup jauh.

Yang mengagetkan saya, ternyata di kereta ekonomi itu juga disediakan colokan listrik untuk mengisi ulang telepon seluler atau perangkat elektronik lainnya.

Fasilitas itu benar-benar tak saya bayangkan sebelumnya, meskipun saat mudik menggunakan kelas bisnis saya sempat kaget juga ada fasilitas tersebut di sana. Masa iya di kelas ekonomi ada colokan listrik untuk men-"charge" ponsel?

Meskipun saya dibuat kagum dengan fasilitas di kelas ekonomi, tapi ternyata tetap ada kesamaan dengan kereta yang dulu dan menjadi ciri khas kelas ekonomi, yaitu penumpang yang tidur di sepanjang lorong.

Saya yang saat itu membawa barang cukup banyak, sedikit repot juga saat berjalan di antara orang-orang yang tidur itu.

Melihat fasilitas-fasilitas tersebut, saya kemudian berpikir mungkin kurang lebih beginilah kondisi kereta api di negara-negara maju yang sering saya lihat di televisi, majalah, internet atau yang sering dibicarakan beberapa orang. Fasilitas yang nyaman, meski di kelas ekonomi sekalipun.

Saya berpikir, setidaknya dengan merasakan fasilitas publik yang bagus di negeri sendiri, saya tidak akan terlalu "ndeso" bin "katro" bila mendapat kesempatan naik kereta yang "wah" di luar negeri. Seperti yang sering almarhum Pak Harto katakan dulu, "Aja sok gumunan" alias "Jangan suka terheran-heran".

Sampai kapan?
Masih dengan benak yang terkagum-kagum, saya kemudian berpikir dan bertanya lagi, sampai kapan segala fasilitas yang baik ini bisa tetap terjaga?

Mungkin harus kita sadari bersama, stereotype bangsa Indonesia adalah "tidak senang kalau melihat ada fasilitas publik yang bagus" atau "tidak mau ikut merawat fasilitas publik". Ada fasilitas bagus, pasti banyak "tangan-tangan usil" yang sudah gatal untuk merusak.

Di kereta api misalnya, dulu sering kita temui kaca yang retak. Tanya sana tanya sini, ternyata saya dapat informasi itu disebabkan orang-orang iseng yang melempari kereta api yang lewat dengan batu.

Memikirkan itu, saya teringat salah satu tulisan almarhum budayawan Umar Kayam yang pada medio 1980-1990-an memiliki kolom di surat kabar Kedaulatan Rakyat terbitan Yogyakarta, dan buku kumpulan kolomnya sempat saya baca.

Dalam salah satu tulisan, dikisahkan Pak Ageng --nama karakter Umar Kayam dalam kolom tersebut-- saat muda sering bolak-balik Yogyakarta-Jakarta menggunakan kereta api. Saya lupa apa nama keretanya, yang pasti Pak Ageng menggambarkan betapa fasilitas di kereta tersebut sangat baik dan nyaman.

Seiring dengan semakin banyaknya penerbangan pesawat yang melayani perjalanan Jakarta-Yogyakarta dan sebaliknya, Pak Ageng pun mulai meninggalkan kereta api tersebut.

Hingga suatu hari, Pak Ageng yang sedang ada urusan di Jakarta, ingin bernostalgia dengan pulang ke Yogyakarta menggunakan kereta api tersebut.

Namun, ternyata kenyamanan dan fasilitas bagus yang dia bayangkan tak lagi dia temui di kereta tersebut. Kereta itu menjadi jorok dan banyak fasilitasnya yang rusak.

Sesampai di Yogyakarta, Pak Ageng disambut Mister Rigen, pembantu setianya, yang ingin mendengar kisah nostalgia "ndoro"-nya itu. Bukannya bercerita, Pak Ageng malah mengeluh dan minta dipijat karena kecapekan naik kereta "kebanggaannya".

Teringat tulisan itu, saya pun berpikir, apakah mungkin kejadian yang sama akan terulang pada saya? Sekarang saya terkagum-kagum melihat kemajuan kelas ekonomi PT KAI. Namun, apakah mungkin berapa puluh tahun ke depan, saya akan mengalami kejadian yang dialami Pak Ageng alias Umar Kayam?

Tentu saja saya berharap tidak. Saya katakan pada istri saya, "Yang penting sekarang kita jaga bersama. Jangan dirusak. Jangan cuma menyalahkan PT KAI saja kalau nanti kereta api jelek-jelek dan banyak yang rusak, padahal ternyata kita sendiri yang merusak".

Tidak ada komentar: