Rabu, 26 Desember 2012

Resensi Film - ANTISIPASI BENCANA DENGAN MELIHAT "PESAN DARI SAMUDRA"



Oleh Dewanto Samodro

Pesan Dari Samudra
(Courtesy of www.pesandarisamudra.com)












"Opa Hali! Opa Hali! Air laut surut! Air laut surut!" Sambil berlari menuruni bukit, Thomas (Bardi Diaz) memberitahukan apa yang dia lihat sebagai tanda-tanda datangnya bencana.

Sebelumnya, gempa bumi mengguncang Desa Lawaloba, sebuah desa yang berada di dekat Kota Ranatua, Flores.

Saat gempa itu terjadi, Thomas -yang hidup sendiri karena orangtuanya bekerja di Malaysia- sedang bermain-main di atas bukit yang menghadap ke laut.

Di atas bukit, bocah berusia tujuh tahun itu melihat air laut yang surut setelah dua gempa bumi mengguncang desanya.

Karena sudah diajarkan Opa Hali, dia tahu surutnya air laut setelah gempa adalah tanda akan datangnya tsunami.


Mendengar laporan dari Thomas, Opa Hali (Andi Bersama) -salah seorang tokoh tua di desa itu- segera mengajak warga desa untuk segera naik ke atas bukit.

Sebelumnya, dia sempat dianggap tidak waras ketika menentang keras penutupan jalan setapak menuju bukit oleh salah seorang warga pemilik lahan di desa itu.

Sikap kerasnya itu terbukti. Pascagempa, warga harus melewati jalan setapak itu untuk menuju bukit dan melihat bagaimana tsunami menghantam dan menghancurkan desa mereka.

Di sisi lain, Nara (Putri Ayudya) -cucu Opa Hali yang sedang menenangkan diri di kampung halamannya karena masalah keluarga- kehilangan kontak dari Samudra, anaknya yang menyusul dari Jakarta.

Sementara Samudra (Bintang Panglima), yang mendengar Desa Lawaloba, tempat ibunya berada, dihempas tsunami, tak bisa tinggal diam.

Bocah 11 tahun itu nekad pergi dari Ranatua ke Lawaloba dengan bersembunyi di dalam mobil PMI yang akan mengirimkan bantuan ke lokasi bencana.

Di Jakarta, Sakti (Lukman Sardi) juga dilanda kepanikan ketika mendengar berita tentang gempa dan tsunami di Lawaloba.

Meskipun berhasil memastikan anaknya selamat, tetapi dia belum bisa menghubungi istrinya, Nara.

Sebagai sebuah film televisi, "Pesan dari Samudra" besutan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana mengajarkan pentingnya tindakan antisipasi dan sadar bencana.

"Kita hidup di negara yang indah, tetapi juga rawan terhadap bencana. Karena itu, kita harus memahami tindakan-tindakan antisipasi bencana," kata Riri Riza saat pemutaran perdana film televisi berdurasi 76 menit di Goethe Institute, Jakarta, Kamis malam.

Film televisi hasil kerja sama Palang Merah Indonesia, Australian Red Cross, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Australian Aid dan didanai Australian-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) itu akan ditayangkan di Metro TV pada Sabtu, 29 Desember 2012 pukul 21.30 WIB.

Riri mengatakan sengaja tidak mengambil seting di Aceh. Sebab, kata dia, gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 masih sangat segar di ingatan masyarakat Indonesia.

"Mungkin masyarakat masih trauma dengan tsunami Aceh. Melihat film ini juga masyarakat pasti langsung teringat Aceh," katanya.

Film "Pesan Dari Samudra" sendiri merupakan sebuah kisah fiktif. Nama Desa Lawaloba dan Kota Ranatua adalah rekaan, meskipun lokasinya merujuk pada Desa Kawaliwu dan Kota Larantuka di Flores, Nusa Tenggara Timur.

"Nama desa dan kota memang sengaja kami ganti. Sebab, tidak seorang pun ingin terjadi gempa dan tsunami di wilayah Indonesia," kata Riri.

Larantuka sendiri pernah diguncang gempa dan tsunami pada 1992. Sebagian besar penduduk setempat yang terlibat dengan pembuatan film televisi, merupakan korban dan saksi dahsyatnya tsunami saat itu.

"Penduduk setempat yang berakting ketakutan terlihat sangat natural. Mereka benar-benar terlihat ketakutan karena mereka sendiri kehilangan keluarga mereka saat tsunami 1992," ujar Riri.

Bila melihat tujuannya, pemilihan film televisi dibandingkan layar lebar sangatlah tepat. Melalui media televisi, masyarakat akan lebih mudah menangkap pesan yang ingin disampaikan melalui film itu.

Mira Lesmana mengatakan, film yang proses syutingnya di Jakarta dan Larantuka hanya memakan waktu tiga bulan itu sudah direncanakan sejak lima tahun lalu.

"Meskipun proses produksinya hanya sebentar, tetapi film ini sudah dibicarakan sejak lima tahun lalu," katanya.

Dia mengaku bangga bisa mempersembahkan film itu kepada masyarakat Indonesia. Dia berharap melalui film ini, masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di wilayah rawan bencana bisa tahu apa yang dilakukan bila terjadi bencana.

"Setelah ditayangkan di televisi, saya juga akan membawa film ini untuk diputar di beberapa wilayah pesisir," ujarnya.

Dari sisi sinematografi, film itu menawarkan gambar keindahan alam Flores. Pantai dengan laut biru terlihat indah berhadapan dengan perbukitan yang hijau.

Sayangnya, Riri kurang memperlihatkan keganasan gempa dan tsunami dalam film itu.

Pengambilan gambar air bah dari laut hanya dilakukan secara close up sehingga kurang memperlihatkan kedahsyatan bencana itu.

Namun, di balik kekurangan itu, film televisi itu tetap layak dan wajib ditonton, terutama bagi kita yang tinggal di kawasan rawan bencana.

Hal itu tidak lepas dari tujuan pembuatan film tersebut yang ingin mengajarkan apa yang harus dilakukan bila bencana terjadi. ***3*** (T.D018)


Disiarkan Perum LKBN ANTARA pada Jumat, 21 Desember 2012 pukul 18:11:25

Tidak ada komentar: