Jumat, 07 Desember 2012

MENGGANTUNG ASA DARI PEMBAHASAN UNDANG-UNDANG MIGAS BARU


Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 26/11 (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pasal tentang tugas dan fungsi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 bertentangan dengan konstitusi.

Putusan MK itu membawa konsekuensi pembubaran BP Migas, sebuah badan pelaksana yang melaksanakan kegiatan usaha hulu termasuk melaksanakan tender pengelolaan blok-blok migas, dan keharusan untuk membentuk undang-undang yang baru.

"Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya undang-undang baru yang mengatur hal tersebut," kata Ketua Majelis Hakim mahfud MD, saat membacakan putusan pengujian UU Migas di Jakarta, Selasa (13/11).

Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana tidak mempermasalahkan putusan MK yang membawa konsekuensi pembubaran BP Migas karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

"Kami di Komisi VII harus menghargai putusan itu karena pasti bukan tanpa dasar," katanya.

Politisi Partai Demokrat itu mengaku tidak kaget dengan putusan MK yang mengabulkan uji materiil Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sehingga membubarkan BP Migas.

Pasalnya, Komisi VII sendiri saat ini sedang membahas rancangan undang-undang (RUU) untuk merevisi Undang-Undang itu, termasuk di dalamnya peran BP Migas dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

"Jadi Komisi VII hanya keduluan MK saja. Tapi tidak masalah karena semangat putusan itu untuk mengembalikan pengelolaan migas sesuai dengan UUD 1945 yang mengamanatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," katanya.


Jangan ada "kekosongan"

Namun, dia berharap tidak terjadi kekosongan dan kegaduhan hukum pascaputusan pembubaran BP Migas itu. Menurut dia, kontrak-kontrak lama yang sudah ada sebelum pembubaran BP Migas harus tetap berjalan, dan tidak boleh ada kontrak baru.

Dia mengatakan selama ini pengelolaan sumber minyak bumi dan gas ditenderkan oleh BP Migas. Tender dan kontrak yang sudah disahkan BP Migas itu tidak boleh dibatalkan dan harus tetap berjalan.

Sutan mengatakan, proses tender yang dijalankan BP Migas merupakan salah satu hal yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi karena Undang-Undang Dasar 1945 mengatur kekayaan alam dikuasai negara.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

"Selama ini, bahkan Pertamina harus ikut tender yang dilakukan BP Migas. Proses tender itu yang tidak prorakyat," ucapnya.

Menurut Sutan, dalam pembahasan RUU itu masih banyak kemungkinan untuk memperbaiki tata kelola migas, termasuk mengembalikan seperti dulu, yaitu dikelola negara melalui badan usaha milik negara (BUMN), PT Pertamina.

"Kami akan segera membahas RUU Migas yang baru bersama pemerintah. Saya yakin bisa dipercepat karena sifatnya hanya merevisi undang-undang yang lama," katanya.

Dia menargetkan pembahasan RUU migas yang baru itu bisa dikebut dalam waktu enam bulan. Untuk mengisi kekosongan hukum, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP Migas).

"Namanya satker sementara, sehingga tentu jangka waktunya juga hanya sementara. Selama RUU Migas dikebut pembahasannya, cukup ditangani satker sementara di bawah Kementerian ESDM dulu," tuturnya.

Menurut dia, perlu segera ada lembaga baru yang permanen sebagai pengganti BP Migas. Karena itu, pembahasan RUU Migas yang baru perlu dipercepat untuk menetapkan lembaga pengganti BP Migas yang permanen.

Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Ekonomi dan Keuangan Hadi Purnomo mendesak DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Migas yang baru.

"SKSP Migas sifatnya hanya sementara. Undang-undang baru yang dibentuk harus sesuai aspirasi," katanya.

Dia mengatakan RUU Migas untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan prakarsa dari DPR. Karena itu, pascapembubaran BP Migas, dia berharap RUU itu segera diproses.

"DPR dan pemerintah harus segera mencari titik temu untuk dituangkan dalam RUU tersebut. Setelah disepakati dan disahkan, semua harus bisa menghormati," tuturnya.


Junjung tinggi

Hadi mengatakan putusan MK yang membubarkan BP Migas telah memiliki sifat mengikat dan final. Karena itu, pemerintah akan menjunjung tinggi putusan itu.

"Sebenarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 sudah melalui proses dan menjadi kesepakatan bersama. Namun, setelah dikaji oleh pemohon judicial review dan MK, ternyata ada yang tidak sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945," katanya.

Dia berharap putusan MK itu bisa mendorong perbaikan yang berkelanjutan sehingga sistem pengelolaan migas bisa lebih baik.

Dia juga berharap undang-undang migas yang baru bisa mengubah pengelolaan serta industri migas dan pertambangan menjadi lebih bermanfaaat untuk rakyat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pemerintah dan DPR jangan hanya "mengganti baju" BP Migas dalam pembahasan RUU Migas yang baru.

"Segera selesaikan pembahasan undang-undang migas yang baru di DPR, tetapi jangan cuma sekedar `ganti baju`," katanya.

Dia berharap SKSP Migas yang telah dibentuk Kementerian ESDM untuk mengisi kekosongan hukum pascapembubaran BP Migas tidak dipermanenkan karena akan bertentangan dengan putusan MK.

"Kalau SKSP dipermanenkan, maka sama saja dengan BP Migas yang akan mengurangi penguasaan negara dalam mengelola migas," katanya.

Menurut dia, putusan MK telah mengamanatkan agar negara menjalankan konstitusi dengan mengerjakan sendiri eksplorasi dan eksploitasi migas.

"Konstitusi mengamanatkan penguasaan migas oleh negara untuk kemakmuran rakyat, meskipun dengan cara lain pun masih ada kemungkinan memakmurkan rakyat," katanya.

Namun, kata dia, dengan penguasaan langsung oleh negara menjadikan lebih ada jaminan bila pengelolaan migas digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Dia juga meminta pemerintah dan DPR tidak menginterpretasikan macam-macam putusan MK terhadap "judicial review" Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

"Putusan MK sudah gamblang, yaitu BUMN sebagai pengelola migas. Jangan sampai putusan itu diinterpretasikan secara kreatif karena ada kepentingan-kepentingan politik," tuturnya.

Dia mengusulkan BUMN untuk bermitra dengan badan usaha milik daerah (BUMD) dalam mengelola mlok-blok minyak dan gas bumi untuk menarik keterlibatan daerah.

Kemitraan dengan BUMN akan membuat sebuah BUMD mendapat jaminan saat mengajukan pinjaman untuk terlibat dalam pengelolaan sebuah blok migas.

"BUMN itulah yang menjamin pinjaman perbankan untuk BUMD," ujarnya.


BUMD

Mantan Anggota Panitia Khusus Pertambangan DPD Nurmawati Dewi Bantilan menyatakan sangat mendukung bila pengelolaan migas melibatkan daerah dan BUMD.

"Dengan begitu akan ada pembagian hasil dan alih teknologi yang jelas bagi daerah dalam pengelolaan migas," katanya.

Menurut dia, selama ini terjadi ketimpangan dalam pengelolaan migas karena kondisi masyarakat di daerah tambang justru berbanding terbalik dengan kekayaan daerahnya. Karena itu, dia mendukung keterlibatan daerah dan BUMD dalam mengelola migas.

Dia juga mendorong adanya perbankan khusus di bidang pertambangan yang bisa memberikan pinjaman kepada BUMD yang bermitra dengan BUMN dalam pengelolaan sebuah blok migas.

Dengan adanya keterlibatan daerah dalam mengelola sebuah blok migas, dia berharap adanya pembagian hasil yang lebih adil untuk daerah.

"Sumber migas dan tambang itu `kan ada di daerah. Namun, selama ini daerah tambang justru mendapat pembagian hasil yang paling sedikit," kata anggota Komite IV DPD yang salah satunya membidangi perimbangan keuangan daerah dan pusat itu.

Anggota DPD dari Provinsi Sulawesi Tengah itu mengatakan, dalam pengelola migas dan barang tambang, pemerintah pusat mendapat pembagian hasil yang paling banyak.

"Seharusnya daerah tambang mendapat bagi hasil yang paling besar. Idealnya, setengahnya untuk daerah, baru setengahnya lagi dibagi untuk provinsi dan pusat," tuturnya.

Selain pembagian hasil, Nurma juga berharap ada alih teknologi antara pusat dengan daerah dalam pengelolaan migas dan tambang.

Dengan begitu, daerah juga memiliki kemampuan untuk mengelola sumber migas dan tambangnya sehingga keadilan lebih terasa. ***2*** (T.D018/B/A011/A011)

Disiarkan Perum LKBN ANTARA pada Senin, 26 November 2012 pukul 10:59 WIB


Tidak ada komentar: