Jumat, 07 Desember 2012

QUO VADIS MINYAK DAN GAS BUMI INDONESIA?


Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 25/11 (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pasal tentang tugas dan fungsi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 bertentangan dengan konstitusi.

Putusan MK itu membawa konsekuensi pembubaran BP Migas, sebuah badan pelaksana yang melaksanakan kegiatan usaha hulu, termasuk melaksanakan tender pengelolaan blok-blok migas.

Dengan adanya badan pelaksana itu, PT Pertamina yang notabene adalah badan usaha milik negara (BUMN) di bidang migas pun harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan swasta, terutama asing, dalam tender pengelolaan sebuah blok migas.

Pengelolaan blok migas yang harus diperebutkan melalui tender antara PT Pertamina dan perusahaan-perusahaan asing itu rupanya salah satu hal yang mendorong MK mengabulkan "judicial review" terhadap Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

MK menyatakan frasa "dengan Badan Pelaksana" dalam Pasal 11 ayat (1), frasa "melalui Badan Pelaksana" dalam Pasal 20 ayat (3), frasa "berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 21 ayat (1) dan frasa "Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 49 Undang-Undang Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Pasal itu membawa konsekuensi seluruh kekayaan alam, termasuk migas, harus dikuasai oleh negara, dan negara harus menjamin bahwa penguasaan kekayaan alam itu dipergunakan untuk memakmurkan rakyatnya.

Sebelum MK mengabulkan permohonan "judicial review" dan memutuskan keberadaan BP Migas bertentangan dengan konstitusi, Komisi VII DPR sudah terpikir untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.

Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana mengatakan sedang membahas rancangan undang-undang untuk merevisi Undang-Undang itu, termasuk di dalamnya peran BP Migas dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

"Jadi Komisi VII hanya keduluan MK saja. Tapi tidak masalah karena semangat putusan itu untuk mengembalikan pengelolaan migas sesuai dengan UUD 1945 yang mengamanatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," katanya.

Politisi Partai Demokrat itu mengatakan proses tender yang dijalankan BP Migas tidak sesuai dengan konstitusi yang mengatur bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

"Selama ini, bahkan Pertamina harus ikut tender yang dilakukan BP Migas. Proses tender itu yang tidak prorakyat," ucapnya.

Dia mengatakan pembubaran BP Migas oleh MK bisa menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola migas di Indonesia.

Menurut dia, dalam pembahasan rancangan undang-undang migas yang baru masih banyak kemungkinan untuk memperbaiki tata kelola migas, termasuk mengembalikan seperti dulu, yaitu dikelola negara melalui BUMN, yaitu Pertamina.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan putusan MK tentang "judicial review" Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi secara gamblang mengisyaratkan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara dalam menguasai migas.

"Dengan BUMN, maka ada harapan migas dikelola dengan pendekatan bisnis. Pemerintah hanya mengawasi BUMN yang mengelola migas," katanya.

Namun, kalaupun pemerintah memutuskan membentuk BUMN baru selain PT Pertamina untuk mengelola migas, dia mengatakan jangan hanya sekedar BP Migas yang "ganti baju".

Dia meminta pemerintah dan DPR tidak menginterpretasikan macam-macam putusan MK tentang "judicial review" Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

"Putusan MK sudah gamblang, yaitu BUMN sebagai pengelola migas. Jangan sampai putusan itu diinterpretasikan secara kreatif karena ada kepentingan-kepentingan politik," tuturnya.

Dia mengatakan, putusan MK tersebut sebenarnya mengamanatkan kepada negara untuk kembali menguasai migas sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Menurut dia, konstitusi sebenarnya sudah mengatur secara mendasar, sederhana, tetapi sangat fundamental.

"Kalau tidak ada konflik kepentingan sebenarnya mudah saja menjalankan penguasaan negara atas migas. Karena ada konflik kepentingan, akhirnya penguasaan atas migas menjadi sangat `kreatif`," katanya.

Dia mengatakan, bila mengacu pada konstitusi, Indonesia sebenarnya tidak memerlukan badan apa pun untuk mengawasi pengelolaan migas. Sebab, sudah ada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang melakukan pengawasan.

Yang justru sangat diperlukan adalah BUMN, sebagai kepanjangan tangan negara dalam menguasai migas, sebagai pelaku pengelolaan migas.

"BUMN itu harus diberi kewenangan untuk menjalin kontrak dengan daerah arau asing. Bukan pemerintah yang mengawasi para kontraktor itu, melainkan BUMN tersebut layaknya perusahaan mengawasi rekanan," tuturnya.

Mantan Anggota Panitia Khusus Pertambangan DPD Nurmawati Dewi Bantilan mengatakan badan hulu migas yang baru harus bisa menjawab tantangan pengelolaan migas yang "bussiness to bussiness".

"Ke depan, pengelolaan migas harus sudah `bussiness to bussiness`, bukan lagi `government to bussiness," kata Nurmawati Dewi Bantilan.

Anggota DPD dari Provinsi Sulawesi Tengah itu mengatakan jangan sampai kesalahan dalam pengelolaan migas yang tidak sesuai konstitusi kembali terulang.

Menurut dia, rancangan undang-undang migas baru yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR harus berpihak kepada kemakmuran rakyat.

"Jangan sampai terulang adanya undang-undang yang tidak berpihak pada kemakmuran rakyat," ujarnya.

Dia mengatakan pengelolaan migas harus memiliki visi jauh ke depan bukan sekedar untuk generasi saat ini.

"Negara-negara maju sudah memiliki visi pengelolaan migas untuk 250 tahun ke depan. Kita selama ini tidak memiliki visi sejauh itu," katanya.

Menurut dia, migas, mineral, dan barang tambang lainnya tidak hanya milik generasi saat ini.

Karena itu, kata dia, harus ada visi yang jauh ke depan supaya generasi selanjutnya tetap memiliki hak dan kesempatan untuk mengelola migas seperti generasi saat ini.

"Setidaknya kita harus memiliki visi pertambangan dan migas Indonesia 100 tahun ke depan. Kita harus berpikir untuk menyimpan cadangan migas dan tambang," tuturnya.

Menurut dia, negara-negara maju sudah berpikir tidak mengeksplorasi dan mengeksploitasi cadangan migasnya secara besar-besaran untuk cadangan bagi generasi berikutnya.

Karena ingin menyimpan cadangan migasnya, kata dia, negara-negara maju itu melirik Indonesia untuk mengambil minyak dari negeri ini, sementara rakyat dan pemerintahnya tidak berpikir untuk menyimpan.

"Banyak konflik kepentingan dalam pengelolaan migas di Indonesia karena semua berpikir jangka pendek, hanya untuk lima tahun ke depan," ujarnya.

Menurut dia, bila para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan migas memiliki visi ke depan yang sama, maka tidak akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan migas.

"Kita tidak bisa menafikan adanya kepentingan di balik pengelolaan migas. Kalau rakyat di daerah tambang nyata-nyata kesejahteraannya tidak berubah, lalu siapa yang diuntungkan?" katanya. ***1*** (T.D018/B/Z003/Z003)

Disiarkan Perum LKBN ANTARA pada Minggu, 25 November 2012 pukul 17:39 WIB

Tidak ada komentar: