Selasa, 11 Agustus 2015

MUNGKINKAH "PELANGI" ITU BERKIBAR DI INDONESIA? (Bagian Ketiga-Selesai) Oleh Dewanto Samodro

Meskipun euforia pelegalan pernikahan sejenis di seluruh negara bagian Amerika Serikat juga sampai di Indonesia, diyakini hal tersebut tidak akan terjadi di Tanah Air.

Kelompok pelaku cinta sejenis dan para pendukungnya menganggap pelegalan pernikahan sejenis di Amerika Serikat sebagai kemenangan kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT)
Salah satu bentuk euforia terhadap pelegalan itu adalah pemasangan warna-warni pelangi pada foto profil media sosial dan tanda pagar #LovesWin.

Mulai dari legislator hingga kalangan agamawan meyakini Indonesia masih akan tetap memegang norma-norma budaya dan agama sehingga tidak akan melegalkan pernikahan sejenis.

Apalagi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengakui pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin, yaitu antara laki-laki dan perempuan.

Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan pelegalan pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat tidak akan berpengaruh di Indonesia, karena perbedaan nilai budaya dan agama antara kedua negara.

"Karena itu, tidak tepat membawa isu itu ke Indonesia. Pernikahan sesama jenis hanya akan mengganggu tatanan kehidupan sosial dan mengganggu keyakinan dan nilai-nilai spiritual masyarakat," kata Saleh Partaonan Daulay

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan tidak ada satu pun agama yang melegalkan pernikahan sejenis, karena semua agama memandang pernikahan sebagai suatu ikatan suci dan sakral antara dua orang manusia yang berbeda jenis kelamin.

Menurut Saleh, pernikahan adalah tradisi dan ajaran agama. Karena itu, bila tidak menggunakan tradisi dan ajaran agama, tidak akan ada pernikahan.

"Kalau hanya sekadar hidup serumah, tetapi belum ada ikatan lewat ajaran dan tradisi agama, tetap tidak dianggap menikah," ujar tokoh muda Muhammadiyah itu.

Karena itu, Saleh menilai pernikahan identik dengan tradisi dan ajaran agama. Setiap pernikahan tidak boleh melanggar ajaran-ajaran agama. Maka, hubungan sesama jenis tidak bisa diformalkan dan dilegalkan sebagai pernikahan dan tidak bisa dicatatkan atas nama agama.

"Perlu diingat bahwa pernikahan adalah ranah agama, dan bukan ranah negara. Tugas negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan pelaksanaannya," tukasnya.

Saleh mengatakan pencatatan diperlukan untuk menertibkan administrasi dan data kependudukan. Karena itu, negara semestinya tidak mencatatkan suatu pernikahan yang menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama.



Politis

Sementara itu, rohaniwan Katolik Pastor Antonius Benny Susetyo mengatakan pelegalan perkawinan sejenis di Amerika Serikat lebih disebabkan faktor politis sehingga tidak mungkin diterapkan di Indonesia.

"Yang sedang berkuasa di Amerika Serikat saat ini adalah Partai Demokrat. Dalam kampanyenya, Barrack Obama memang sudah menjanjikan akan melegalkan perkawinan sejenis," katanya.

Benny mengatakan di Amerika Serikat keputusan itu pun menimbulkan sikap pro dan kontra karena tidak semua orang menerima. Gereja Katolik di Amerika Serikat pun bersikap oposisi terhadap keputusan pemerintah di negara tersebut yang melegalkan perkawinan sejenis.

"Gereja Katolik di Amerika Serikat tentu saja menolak hal itu. Memang ada beberapa gereja tertentu yang menyetujui, tetapi sangat kecil," katanya.

Karena didasari oleh keputusan yang bersifat politis, Benny menilai sangat mungkin keputusan itu dianulir (dibatalkan)bila Partai Demokrat sudah tidak lagi berkuasa di negara itu.

"Bila Partai Republik yang berkuasa, sangat mungkin mereka akan mengubah keputusan itu. Partai Republik selama ini lebih menjunjung norma, berbeda dengan Partai Demokrat yang lebih liberal," tuturnya.

Menurut Benny, dalam banyak hal memang banyak perbedaan sikap terkait dengan norma-norma antara Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat.

Dia mencontohkan sikap kedua partai itu dalam menanggapi isu aborsi. Partai Republik sangat menentang aborsi, sedangkan Partai Demokrat mendukung seseorang untuk menggugurkan kandungan.

"Dalam menyikapi isu aborsi, Partai Republik lebih bersikap `pro-life`, sedangkan Partai Demokrat lebih `pro-choice`," ujarnya.

Benny mengatakan gereja Katolik sendiri sejak awal tidak akan mengakui perkawinan sejenis karena menyalahi kodrati manusia yang diciptakan Tuhan berpasangan laki-laki dan perempuan.

"Namun, gereja tetap menghormati dan mencintai kelompok-kelompok penyuka sesama jenis dan merangkul mereka sebagai manusia," katanya.

Menurut Benny, perkawinan adalah buah dari prokreasi antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, perkawinan sejenis bertentangan tentang penciptaan manusia oleh Tuhan karena akan mengaburkan identitas laki-laki dan perempuan.

"Selain itu, perkawinan sejenis juga akan menghilangkan makna keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Anak yang hidup dalam keluarga dari orang tua sejenis akan kehilangan figur ayah atau ibu," jelasnya.

Karena itu, Benny meyakini Indonesia tidak akan mungkin melegalkan perkawinan sejenis karena memegang kuat norma-norma agama.

"Perkawinan sejenis jelas bertentangan dengan Pancasila yang menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa. Seluruh agama di Indonesia pasti menentang perkawinan sejenis," katanya.



Melawan hukum alam

Senada dengan pemuka agama Katolik yang menyatakan pernikahan sejenis menyalahi kodrat manusia yang diciptakan berpasangan, pemuka agama Buddha mengatakan pernikahan sejenis melawan hukum alam.

Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja mengatakan agama Buddha memandang perkawinan sejenis dan perilaku homoseksual sebagai tindakan yang tidak wajar dan menyimpang dari hukum alam.

"Memang larangan perilaku homoseksual tidak tercantum dalam sastra-sastra Buddha. Namun, hukum agama Buddha berdasarkan kepada kewajaran dan hukum alam," katanya.

Karena itu, Suhadi mengatakan segala perilaku yang dilakukan di luar kewajaran bertentangan dengan ajaran Buddha. Buddha melihat segala sesuatu harus kembali kepada hukum alam.

Tentang perkawinan sejenis dan perilaku homoseksual, Suhadi mengatakan hukum alam mengenal ada beberapa cara bereproduksi seperti bertelur atau melalui pembuahan sel telur oleh sperma.

"Menurut hukum alam, perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Karena itu, Buddha menolak perkawinan sejenis, baik antara laki-laki dengan laki-laki maupun antara perempuan dengan perempuan," tutur Wakil Ketua Widyasabha Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) itu.

Karena itu, Indonesia tidak perlu ikut-ikutan melegalkan perkawinan sejenis sebagaimana dilakukan oleh Amerika Serikat karena tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut di Indonesia.

"Kita harus punya pendirian, kalau ada orang lain yang berbeda dengan kita, tidak harus diikuti. Kita tetap harus memilih yang benar," katanya.

Suhadi mengimbau masyarakat Indonesia, khususnya umat Buddha, untuk berlaku sesuai dharma dan kewajaran serta seirama dengan hukum alam untuk mencapai kesejahteraan hidup.



Tidak akan direstui

Sekretaris Umum Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom mengatakan gereja-gereja Kristen Protestan tidak akan merestui dan memberlakukan perkawinan sejenis karena hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

"Pada prinsipnya, menurut hukum gereja di Indonesia, perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan. Saya pikir gereja-gereja di seluruh dunia juga seperti itu," katanya.

Gomar mengatakan meskipun perkawinan sejenis di Amerika Serikat dilegalkan, gereja-gereja di negeri tersebut belum tentu mengesahkan atau merestui perkawinan tersebut. Begitu pula dengan sikap gereja-gereja di Belanda yang negaranya lebih dahulu melegalkan perkawinan sejenis.

Menurut Gomar, Amerika Serikat dan Belanda bisa melegalkan perkawinan sejenis karena di negara tersebut perkawinan merupakan ranah pencatatan sipil, berbeda dengan di Indonesia.

"Di Indonesia, catatan sipil mencatatkan perkawinan setelah perkawinan dilakukan di lembaga agama. Negara tidak mengakui perkawinan yang tidak dilakukan di lembaga agama," tuturnya.

Padahal, semua agama di Indonesia tidak akan mengakui perkawinan sejenis. Karena itu, tidak ada jalan bagi para pelaku homoseksual dan pendukungnya untuk melegalkan perkawinan sejenis di Indonesia.

"Namun, meskipun gereja tidak akan merestui dan melakukan perkawinan sejenis. Saya berpendapat para pelaku homoseksual tetap harus diakui sebagai manusia dan dilindungi hak-hak hidupnya oleh negara," katanya.



Pergaulan bebas

Sementara itu, Ketua Umum Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Sang Nyoman Suwisma mengatakan agama Hindu melarang pergaulan bebas yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, apalagi hubungan sejenis.

"Dalam tata krama dan tata susila agama Hindu, perilaku homoseksual dilarang. Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah saja dilarang, apalagi sejenis," kata Suwisma.

Suwisma mengatakan agama Hindu melarang perkawinan dan hubungan antara manusia dengan jenis kelamin yang sama. Sebab dalam sastra Hindu, disebutkan bahwa Hyang Widhi menciptakan laki-laki sebagai bapak dan perempuan sebagai ibu melalui upacara perkawinan.

"Tidak ada sama sekali sastra Hindu yang membolehkan hubungan seksual sejenis. Karena itu, umat Hindu menentang perkawinan sejenis," tuturnya.

Suwisma mengatakan, perkawinan sejenis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga umat Hindu menentang wacana pelegalan perkawinan tersebut.

"Perkawinan sejenis juga bertentangan dengan keyakinan agama Hindu. Umat Hindu menghormati catur guru, salah satunya adalah guru wisesa, yaitu pemerintah. Karena itu, umat Hindu mengikuti keputusan pemerintah," katanya.

Suwisma mengatakan, umat Hindu di Indonesia menghormati dan mendukung Undang-Undang Perkawinan yang diantaranya mengatur jenis kelamin, usia dan agama. Undang-Undang tersebut jelas tidak mengakomodasi perkawinan sejenis.

"Karena itu, perkawinan sejenis bertentangan dengan Undang-Undang dan keyakinan agama Hindu," tuturnya. ***4***


(Disiarkan LKBN Antara pada Senin, 3 Agustus 2015 pukul 06.01 WIB)

Tidak ada komentar: