Selasa, 11 Agustus 2015

MUNGKINKAH "PELANGI" ITU BERKIBAR DI INDONESIA? (Bagian Kedua) Oleh Dewanto Samodro


Para pelaku homoseksualisme, baik lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), dan para pendukungnya, kukuh menyatakan bahwa perilaku tersebut bukanlah sebuah penyakit kejiwaan.

Dasar pendapat itu adalah dikeluarkannya homoseksualisme dari Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1990.

Indonesia, sebagai anggota dari WHO, juga melakukan hal yang sama. Pada 1993, Departemen Kesehatan menghapuskan homoseksualisme dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III.

Dihapusnya homoseksual dari daftar penyakit tampaknya menjadi "senjata" bagi para pelaku dan pendukungnya untuk mengukuhkan perilaku tersebut sebagai sesuatu yang normal. Mereka bahkan mewacanakan dilegalkannya pernikahan sejenis.

Belanda merupakan negara pertama di dunia yang mengakui dan melegalkan pernikahan sejenis, antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Amerika Serikat mengikuti dengan 36 negara bagian yang melegalkan pernikahan homoseksual, sementara 14 lainnya melarang.

Puncaknya adalah keputusan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat yang melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian melalui keputusan bersejarah pada Jumat, 26 Juni 2015. MA mencabut larangan pernikahan sesama jenis yang diterapkan oleh 14 negara bagian.

Lalu, bagaimana pandangan dunia psikologi terhadap homoseksualisme dan transgender?



Gangguan

Psikolog dari Klinik Tumbuh Kembang Anak Pela 9 Jane Cindy mengatakan dalam ilmu psikologi dikenal adanya gangguan identitas gender.

Sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi transgender, atau melakukan prosedur operasi untuk mengganti jenis kelamin, biasanya mengalami gangguan tersebut terlebih dahulu.

"Sedangkan homoseksual awalnya dikategorikan sebagai salah satu bentuk gangguan seksual oleh Asosiasi Psikiatri Amerika (APA). Namun, setelah para peneliti mengkaji ulang, homoseksual dikategorikan sebagai perilaku ketertarikan seksual yang tidak lazim," katanya.

Cindy mengatakan penyebab seseorang mengalami gender identity disorder adalah faktor genetik dan faktor sosial. Salah satu contoh faktor sosial adalah ketika seorang anak laki-laki berdandan dan berpakaian seperti wanita, malah mendapatkan respon positif dari orang tuanya.

Secara tidak sadar, perilaku orang tua yang demikian merupakan suatu penguatan positif, sehingga anak tersebut akan merasa nyaman dengan perilakunya tersebut.

Sedangkan, homoseksual disebabkan oleh faktor biologis, yaitu dipengaruhi hormon, dan faktor sosial, umumnya disebabkan karena anak laki-laki kurang mendapatkan "figur ayah".

"Anak yang lebih banyak diasuh figur perempuan seperti ibu, nenek maupun kakak perempuan, sementara kurang mendapatkan peran gender laki-laki dari figur ayah, akan lebih banyak mencontoh peran gender perempuan," tuturnya.

Anak juga dapat meniru perilaku pasangan sejenis bila melihat pasangan tersebut. Hal itu dapat terjadi karena anak-anak masih berada pada fase meniru orang-orang di sekitarnya

Karena itu, pelegalan perkawinan sejenis, bila benar-benar terjadi di Indonesia, maka akan berdampak negatif karena pasangan homoseksual akan semakin bebas menunjukkan jati diri dan eksistensinya di depan umum.

"Hal tersebut dapat dicegah oleh orang tua, selama orang tua benar-benar menjalankan perannya untuk mengajarkan peran gender terhadap anak-anak. Ibu mengajarkan serta memberi contoh kepada anak perempuannya dan ayah mengajarkan serta memberikan contoh kepada anak laki-lakinya," katanya.

Peran gender yang dapat diajarkan orang tua, kata Cindy, berupa bagaimana seorang berperilaku, berpenampilan, dan berperan sesuai dengan jenis kelaminnya di masyarakat.

Ibu dapat mengajarkan kepada anak perempuannya bagaimana seorang perempuan berperilaku. Ibu juga dapat mengajarkan bahwa riasan dan rok merupakan suatu hal yang wajar bila dikenakan oleh perempuan, serta menjadi contoh bagi anak perempuannya.

Sebaliknya, ayah pun harus memenuhi figur laki-laki yang dibutuhkan oleh anak laki-laki. Ayah dapat mengajarkan kepada anak laki-lakinya bagaimana seorang laki-laki berperilaku. Ayah dapat mengajarkan bahwa anak laki-laki tidak lazim untuk mengenakan riasan, rok, maupun atribut wanita lainnya.

Lalu apa yang harus dilakukan bila seorang anak bertanya mengenai pasangan homoseksual yang dilihatnya di tempat umum?

Cindy mengatakan orang tua perlu secara terbuka menjelaskan bahwa homoseksual merupakan suatu perilaku ketertarikan seksual yang tidak lazim. Orang tua harus menjelaskan bahwa ketertarikan seksual yang lazim adalah yang terjadi antara lawan jenis.

"Orang tua dapat memberikan contoh pasangan heteroseksual yang lazim dalam keluarga seperti ayah dan ibu, kakek dan nenek, paman dan bibi," tuturnya.



Bersinggungan dengan homoseksual

Bagi seseorang berorientasi heteroseksual, bersinggungan dengan homoseksual ternyata bisa juga cukup membingungkan. Apalagi bila ada seorang homoseksual yang menyatakan cinta.

Hal itu dituturkan oleh Adi, sebut saja begitu. Kepada Antara, Adi meminta agar namanya dan orang-orang yang dia ceritakan disamarkan supaya tidak ada yang tersinggung.

Adi mengatakan bersinggungan pertama kali dengan seorang gay saat duduk di kelas III sekolah menengah pada 2004 di Semarang. Gay yang dia maksud itu adalah kawannya sendiri satu sekolah.

"Saat itu dia salah satu teman dekat saya. Saya tidak tahu bahwa dia adalah seorang gay karena mengatakan menyukai salah satu teman perempuan," tuturnya.

Ternyata, pernyataan menyukai seorang teman perempuan itu adalah kamuflase Dede, sebut saja begitu, untuk mendekati Adi.

Adi mengaku tidak pernah menyangka Dede adalah seorang gay, meskipun perilakunya memang cukup feminin. Perawakan badannya cukup tinggi dengan kulit putih dan paras yang cukup manis untuk ukuran seorang laki-laki.

"Meskipun pendiam, dia dekat dengan teman-teman perempuan. Ani, teman perempuan yang dia bilang ke saya dia sukai, juga sebenarnya merasa didekati oleh Dede," katanya.

Hingga akhirnya Dede menyatakan cinta kepada Adi. Caranya pun cukup unik. Pada saat itu, tepat 14 Februari, Dede mengatakan bahwa dia akan menyatakan cinta kepada seseorang.

"Saya kira itu Ani, makanya saya mendukung. Dede kemudian meminta untuk diajari membuat surat cinta. Katanya akan dikirimkan lewat surat elektronik," katanya.

Dede kemudian mengajak Adi ke sebuah warnet. Di dalam bilik warnet itulah, Dede kemudian membuka surat elektronik dan mulai mengetikkan surat cinta.

Kalimat yang diketik Dede cukup singkat. Menurut Adi, Dede menulis "Terserah kamu akan berpikir seperti apa, tapi aku sayang kamu Ani".

Setelah mengetikkan kalimat itu, Dede kemudian meminta pendapat Adi. Adi pun setuju dengan kalimat itu. Tanpa diduga, Dede kemudian mengganti huruf N pada nama Ani dengan huruf D sehingga berubah menjadi Adi.

"Seketika itu saya kaget. Saya tanya apa maksudnya. Dia lalu bilang `Terserah kamu mau bagaimana, tapi memang harus aku sampaikan`," ujarnya.

Adi sempat tidak percaya dengan apa yang Dede lakukan. Seketika Adi mengaku tidak bisa berpikir dan salah tingkah. Dia langsung mengajak Dede pulang.

Dalam perjalanan pulang menggunakan sepeda motor. Mereka hanya terdiam. Namun, Adi merasa Dede yang membonceng di belakangnya memasukkan sesuatu ke dalam tasnya yang ada di belakang punggungnya.

Sesampainya di rumah Dede, Adi masih tetap terdiam. Hanya Dede yang kemudian berucap, "Maafkan aku. Terserah kamu. Tapi memang aku begini".

Setelah mengantar Dede, Adi kemudian kembali ke sekolah. Karena khawatir, dia kemudian meminta salah satu temannya untuk memeriksa tasnya.

Ternyata di dalam tasnya ada sebatang coklat yang sengaja dimasukkan Dede. Merasa bingung Dede kemudian pulang ke rumahnya.

Setelah sampai di rumah, Dede ternyata menelepon Adi. Di telepon, Dede mengatakan bahwa dia benar-benar menyukai Adi.

"Lalu dia saya ajak untuk bertemu di sekolah sore itu juga. Setelah bertemu, coklat dari dia saya kembalikan. Saya katakan padanya, ada yang lebih pantas menerima itu," katanya.

Dede ternyata bisa menerima apa yang Adi sampaikan. Dia juga sempat meminta maaf kepada Adi. Namun, bagaimana pun Adi merasa bingung.

"Saya bingung besok harus bagaimana kalau bertemu Dede. Selama ini kami berteman. Apakah saya harus bersikap seperti biasa? Saya juga takut dia merasa patah hati lalu terjadi sesuatu yang negatif," tuturnya.

Adi kemudian memutuskan untuk tetap mencoba menjaga pertemanan dengan Dede. Namun, dia mengakui bahwa hubungan mereka sudah tidak lagi seperti sebelumnya. Waktu pun berlalu hingga akhirnya mereka lulus sekolah dan berpisah.

Tentang pengalamannya itu, Adi mengaku sebenarnya masih tidak percaya homoseksual itu ada, meskipun dia sudah melihat sendiri adanya laki-laki transgender yang berdandan seperti perempuan.

Dengan pengalaman itu, dia akhirnya menemukan sendiri seseorang yang suka dengan sejenisnya. Namun, dia tetap menolak pernikahan sejenis dilegalkan di Indonesia.

"Efeknya pasti negatif bagi masyarakat. Bila dilegalkan, lama-lama masyarakat akan semakin permisif dengan perilaku homoseksual. Yang saya khawatirkan adalah anak-anak yang melihat perilaku tersebut," katanya.

Adi mengatakan orang tua memang betul-betul harus menjaga dan melindungi anak-anak sehingga tidak menjadi homoseksual. Masalahnya, anak-anak saat ini begitu mudah mendapatkan informasi, termasuk tontonan di televisi.

"Kalau mereka penasaran, pasti akan bertanya ke orang tuanya. Kalau orang tua tidak pintar menjelaskan bisa berdampak buruk bagi anak," pungkasnya. ***4***


(Disiarkan LKBN Antara pada Minggu, 2 Agustus 2015 pukul 18.25 WIB)

Tidak ada komentar: