Selasa, 10 Juli 2012

CAGUB “OGAH” SENTUH ISU KORUPSI DALAM KAMPANYE

Oleh Dewanto Samodro

     Masa kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 untuk penyampaian visi, misi dan program para calon telah berakhir. Kini, masa depan Jakarta ditentukan para pemilih untuk menentukan siapa yang akan memimpin Jakarta lima tahun ke depan.
     Namun, meskipun semua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sudah menyampaikan visi, misi dan programnya, peneliti ICW Bidang Korupsi Politik Abdullah Dahlan menilai tidak ada satu pun yang menyentuh isu korupsi secara konkret.
     “Visi, misi dan program mengenai agenda reformasi birokrasi dan korupsi menjadi penting karena DKI merupakan barometer pengelolaan birokrasi di Indonesia,” katanya.
     Menurut dia, merupakan hal yang wajar bila saat kampanye para calon gubernur menyampaikan slogan dan janji sesuai agenda kampanye masing-masing calon.
     Namun, Abdullah mengatakan visi, misi dan program yang disampaikan para calon gubernur selama kampanye masih pada dimensi generalis dan belum menggambarkan ide dalam kerangka teknis. Hal itu dikarenakan metode yang dilakukan hanya kampanye terbuka.
     “Dalam kampanye terbuka, gagasan yang disampaikan tidak bisa konkret,” ujarnya.
     Karena itu, program dan janji yang disampaikan para calon gubernur belum bisa dinilai apakah riil atau hanya janji belaka. Sebab, kata Abdullah, belum bisa dilihat detail agenda politik masing-masing calon bila terpilih menjadi gubernur.
     Seharusnya, menurut dia, para calon memilih kampanye dialogis sehingga lebih bisa menyampaikan gagasannya dalam membangun Jakarta. Bagi pemilih, kampanye dialogis juga akan lebih mengena.
     “Saat kampanye, isu yang diangkat masih sama. Belum tergambar bagaimana kebijakan yang akan diambil bila terpilih nanti,” katanya.
     Padahal, kata Abdullah, DKI Jakarta memiliki kekuatan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) hingga Rp36 triliun lebih dan menjadi yang terbesar di Indonesia memerlukan desain pengelolaan kebijakan yang konkret untuk meminimalkan terjadinya korupsi. 
     Karena itu, ICW akan mengkaji agenda kebijakan siapa pun calon yang nantinya akan terpilih.
     “Kalau tidak ada desain agenda pencegahan praktek korupsi yang konkret, aset besar yang dimiliki Jakarta tidak akan membawa hal yang positif bagi warganya,” katanya.
     Yang pasti, menurut dia, janji dan program para calon saat kampanye telah menjadi dokumen perencanaan  pembangunan Jakarta. Karena itu, dia mengajak warga Jakarta untuk  mencatat janji-janji politik dan melihat implementasi kebijakan gubernur terpilih.
     Senada dengan Abdullah, pengamat politik Andrinof A. Chaniago menilai para calon gubernur tidak memiliki program jelas yang disampaikan dalam kampanye. Bahkan, direktur eksekutif Cirus itu mengatakan janji-janji kampanye para calon gubernur hanya mimpi saja.
     “Belum ada yang berbentuk program kerja, hanya daftar mimpi. Yang lebih penting sebenarnya bagaimana cara mewujudkan mimpi-mimpi itu,” katanya.
     Dalam kampanye, kata Andrinof, para calon gubernur tidak mengangkat cara menyelesaikan masalah-masalah penting yang dihadapi Jakarta. Kampanye seolah-olah hanya menjadi pesta politik dan ajang bisnis saja.
     Karena itu, dia mengaku pesimistis Jakarta akan menjadi lebih baik setelah gubernur terpilih. Sebab, tidak ada calon gubernur yang memiliki program substansial yang bisa menyelesaikan permasalahan Jakarta.

Kampanye Tak Bermutu
     Selain itu, Andrinof juga menilai kampanye yang dilakukan para calon gubernur masih bermutu rendah. Sebab, kampanye hanya dilakukan secara searah, didominasi penggunaan simbol-simbol dan tidak membawa manfaat bagi pemilih.
     “Hampir tidak ada yang melakukan kampanye interaktif yang dialogis. Kalaupun ada, tidak bermutu karena menjelek-jelekkan calon lain,” katanya.
     Bukannya adu program, menurut dia para calon justru terkesan adu simbol dalam kampanye. Misalnya dengan simbol kumis, batik, dan kotak-kotak.
     “Warga diajak mencintai kumis, coblos kumisnya, coblos batiknya, coblos kotak-kotak. Tidak ada program konkret sama sekali,” ujarnya.
     Seharusnya, kampanye menjadi ajang para calon kampanye untuk beradu program. Ketika ada calon yang mengritik program calon lain, dijawab dengan program yang lebih konkret.
     Namun, meskipun menilai hanya mimpi, Andrinof mengakui sebagian program yang ditawarkan calon penantang lebih baik daripada yang ditawarkan calon petahana. Program-program yang cukup baik itu biasanya berpijak pada penggunaan anggaran yang jelas.
     Beberapa program alternatif, termasuk dari calon independen, menjanjikan penggunaan sumber daya dan anggaran yang lebih bermanfaat. Misalnya rencana pembangunan rumah susun dan pasar tradisional yang jelas-jelas diperlukan warga kota.
     “Tidak ada apa-apanya kalau yang dijanjikan hanya sekolah gratis tetapi tidak dijelaskan pengelolaan anggarannya seperti apa,” katanya.
     Menanggapi hasil survei yang lebih banyak mengunggulkan calon petahana, Andrinof mengatakan hal itu merupakan gambaran karakter pemilih di Indonesia. Menurut dia, pemilih belum mendapat pendidikan politik yang baik.
     Selama ini, sosialisasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta hanya sebatas hal-hal teknis mengenai pengambilan suara, tetapi tidak ada sosialisasi mengenai dampak dari pemilihan.
     Pendidikan politik yang benar, kata Andrinof, akan menghasilkan pemilih yang cerdas dan memilih secara rasional. Itu juga akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan gubernur.
     Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2007 yang dimenangkan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto, jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 5.725.767 orang. Namun, hanya 3.737.059 orang saja yang menggunakan hal pilihnya.
     Itu berarti, 2.112.248 orang atau 34,59 persen tidak menggunakan hak pilihnya alias memilih menjadi golongan putih (golput).
     Sebagaimana kebanyakan proses pemilihan umum lain di Indonesia yang perolehan suara pemenangnya lebih rendah dibandingkan angka golput, jumlah suara pasangan Fauzi Bowo-Prijanto saat itu hanya 2.109.511 orang.
     “Seharusnya KPU dan pemerintah melalui kesbangpol memberikan pendidikan politik kepada pemilih. Bukan hanya sosialisasi tentang teknis pemilihan saja,” kata Andrinof.

Tidak ada komentar: