Jumat, 01 Juni 2012

OBAT KERINDUAN TERHADAP PEMIMPIN YANG MULTIKULTUR HUMANIS

Oleh Dewanto Samodro
Poster Film "Soegija"
(Courtesy of 21cineplex.com)
     Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul, bahasa dan adat istiadat, tetapi dipersatukan dalam satu keluarga besar.
     Meskipun seorang pribumi, Soegija berhasil menjadi Vikaris Apostolik dan Uskup Danaba yang berkedudukan di Semarang. Sejarah mencatat, dialah pribumi pertama yang diangkat Vatikan sebagai uskup di Hindia Belanda dan dikenal sebagai MonsigneurAlbertus Soegijapranata SJ.
     Sosok dan perjalanan hidup tokoh itulah yang  menjadi alur utama “Soegija”, film terbaru garapan Garin Nugroho. Nirwan Dewanto bermain secara apik dan berhasil mencitrakan Soegija sebagai sosok pemimpin yang berwibawa, kalem dan nasionalis.
     Menurut Garin, Soegija adalah sosok pemimpin nasionalis humanis dan mampu mengatasi krisis. Dia berharap film itu menjadi refleksi bahwa di masa lalu bangsa ini pernah memiliki sosok pemimpin yang berhasil mengatasi krisis multikultural dan kekerasan.
     Meskipun mengangkat sosok Katolik sebagai tokoh utama, Garin menegaskan “Soegija” bukanlah film tentang agama.
     “Film ini tentang kepemimpinan. Indonesia selalu mengalami era krisis sehingga diperlukan sosok seorang pemimpin,” katanya.
     Dia menilai masih banyak tokoh-tokoh nasional yang memiliki sikap kepemimpinan dan layak diangkat ke dalam film, di antaranya Wahid Hasyim, tokoh-tokoh Kristen di Jawa dan tokoh-tokoh Batak.
     “Yang paling saya kagumi adalah Tan Malaka. Tetapi untuk membuat film tentang Tan Malaka bagi saya masih sangat rumit,” katanya.
     Meskipun menampilkan Soegija sebagai sosok sentral, film berdurasi 115 menit itu tidak hanya menyajikan kisah tentang tokoh tersebut. Ada cerita kehidupan tokoh lain yang relevan dengan situasi saat itu.
     Alur cerita film dimulai dari sejak Soegija diangkat sebagai Vikaris Apostolik dan Uskup Danaba di Semarang pada masa Hindia Belanda, kedatangan Jepang hingga masa perang mempertahankan kemerdekaan ketika Yogyakarta menjadi ibukota Indonesia.
Nirwan Dewanto berperan sebagai Mgr Albertus Soegijapranata
(Courtesy of soegijathemovie.com)

     Garin mengakui sebagian tokoh dalam film itu adalah fiktif karena dia kesulitan menggambarkan tokoh-tokoh yang ada di sekitar Soegija.
     “Tokoh Lantip misalnya merupakan gabungan dari lima orang yang berinteraksi dengan Soegija saat itu,” katanya.
     Lantip (diperankan Rukman Rosadi) adalah tokoh pelopor Barisan Pemuda Semarang yang ikut pindah ke Yogyakarta ketika Keuskupan Semarang dipindahkan ke ibukota revolusi. Dia memimpin pemuda-pemuda Semarang untuk melucuti senjata tentara Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu.
     Kemudian ada tokoh Mariyem (Annisa Hertami Kusumastuti), seorang remaja yang bercita-cita menjadi perawat dan mencari kakaknya yang hilang, serta Hendrick (Wouter Braaf), fotografer Belanda yang terjebak dalam perang dan jatuh hati pada Mariyem.
     Ada juga tokoh Ling Ling (Andrea Reva), anak perempuan Tionghoa yang rumahnya diserbu, hartanya dijarah dan ibunya dibawa tentara Jepang. Tentang perlakuan tersebut, dia berkeluh kesah kepada Soegija.
     “Kenapa itu selalu terjadi pada saya? Apa karena saya Tionghoa?” keluhnya.
     Ada pula Nobuzuki (Nobuyuki Suzuki), komandan tentara Jepang yang tergetar hatinya mendengar alunan lagu “Bengawan Solo” melalui gesekan biola musisi gereja. Di kemudian hari, lagu ciptaan Gesang itu menjadi lagu Indonesia yang populer di Jepang.
     Di tengah cerita tentang perjuangan dan perang, film “Soegija” juga menampilkan sisi humor melalui tokoh Koster Toegimin. Butet Kartaredjasa yang memerankan pelayan Romo Soegija itu berhasil memicu tawa penonton melalui ekspresi dan kata-katanya yang khas.
     Bagi penggemar wayang, peran Toegimin di film itu mengingatkan pada tokoh Punakawan yang bertugas “ngemong” sekaligus menghibur para ksatria melalui celetukan dan kata-kata yang seenaknya sendiri.
     Lihat saja komentarnya ketika ditanya apakah Soegija terlihat gagah saat memakai jubah penahbisan uskup.
     “Seperti pemain ketoprak yang jadi bajak laut,” jawabnya.
     Pemicu tawa juga bisa muncul dari tokoh Banteng, remaja buta aksara yang memiliki dendam kepada tentara Belanda dan Jepang yang dia anggap mencuri sapi miliknya. Namun, dengan kepolosannya, dia berjuang mengangkat senjata dan bambu runcing.

Multikultur, Enam Bahasa dan Otokritik
     Sesuai dengan janji Garin, film “Soegija” menampilkan multikulturalisme. Meskipun bersetting di Semarang dan Yogyakarta, yang masyarakatnya mayoritas Jawa, film itu juga menampilkan orang-orang nonjawa.
     Itu terlihat dalam adegan ketika seorang pemuda Semarang mengumumkan bahwa Sukarno-Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di tengah keramaian orang yang merayakan kemerdekaan, terlihat orang-orang Papua dan Maluku.
     Multikulturalisme juga terlihat dari bahasa yang digunakan dalam film itu. Tercatat, ada enam bahasa yang digunakan para tokoh yaitu Indonesia, Jawa, Jepang, Belanda, Inggris dan Latin.
     Nirwan Dewanto yang berperan sebagai Soegija dituntut melafalkan bahasa-bahasa itu secara sempurna sesuai dengan konteks dalam film. Seperti ketika Soegija berkhotbah di depan umat dalam bahasa Belanda atau Jawa.
     Keragaman bahasa juga terlihat dalam musik dan lagu yang menjadi latar film. DjadukFerianto, yang juga menjadi produser, menyajikan lagu-lagu lama seperti “Tanjung Perak” dan “Bunga Anggrek” dalam bahasa Indonesia dan Belanda.
     Film “Soegija” sangat tepat untuk direkomendasikan kepada generasi muda, mahasiswa, serta para politikus yang saat ini menguasai pemerintahan. Sebab, film itu bisa menjadi otokritik bagi bangsa Indonesia yang disebut-sebut mengalami krisis kepemimpinan.
     Garin sendiri tidak menampik bila dalam film itu dia sengaja menampilkan kritik-kritik halus yang mengena. Contohnya ketika Soegija ditemui Lantip setelah perjuangan telah usai dan saatnya membangun negara dan melayani masyarakat melalui politik.
     “Kalau mau terjun ke politik, harus punya mental politik. Kalau tidak punya mental politik, politikus hanya akan menjadi benalu bagi negara,” katanya.
     Kata-kata Soegija kepada Lantip itu diucapkan dalam bahasa Jawa, namun dalam teks bahasa Indonesia, terlihat Garin ingin menonjolkan kata “mental” dan “benalu”.
     Maka, setelah menonton film yang dirilis resmi pada 7 Juni 2012, kita tak akan merasa pulang dengan tangan hampa. Ada sesuatu yang berharga, mungkin merupakan sebuah tamparan, bila direnungkan kembali.
     Apa artinya merdeka, kalau tidak bisa mendidik bangsa sendiri?

Tidak ada komentar: