Selasa, 10 Juli 2012

ATRIBUT KAMPANYE RUSAK LINGKUNGAN DAN ESTETIKA

 Oleh Dewanto Samodro
     Masa kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 telah usai. Sebagaimana kampanye pada pemilu yang sudah-sudah, para calon gubernur menggunakan spanduk, poster, stiker dan berbagai atribut yang menampilkan slogan, visi, misi, program dan janji-janji politiknya.
     Meskipun hampir seluruh calon gubernur berjanji membenahi Jakarta, tetapi hal itu ternyata tidak tercermin dalam kampanye yang mereka lakukan. Berbagai atribut kampanye yang mereka gunakan tidak ramah lingkungan dan justru merusak estetika kota.
     Aktivis lingkungan Azas Tigor Nainggolan menyatakan keprihatinannya melihat berbagai atribut kampanye para calon gubernur dipaku di pohon-pohon penghijauan kota. Menurut dia, paku-paku yang digunakan untuk menempel spanduk atau poster itu akan merusak pohon.
     “Pohon itu seperti manusia juga yang akan merasa sakit bila dicubit. Kalau dipaku, pohon bisa rusak dan proses penyembuhannya cukup lama,” kata mantan Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta itu.
     Atribut kampanye yang dipaku di pohon, kata Tigor, menandakan para calon gubernur tidak memahami permasalahan lingkungan di Jakarta. Dia berharap, hal itu menjadi pertimbangan warga Jakarta dalam memilih gubernur.
     Namun, dia menilai hal itu bukan murni kesalahan para calon gubernur karena pemasangan atribut kampanye dilakukan tim sukses. Meski begitu, program dan janji yang disampaikan dalam kampanye juga tidak ada yang bervisi lingkungan hidup.
     “Kita lihat saja nanti setelah terpilih siapa yang masih peduli dengan permasalahan lingkungan di Jakarta,” katanya.
     Menurut dia, para calon gubernur masih menggunakan metode kampanye yang konservatif dan tidak kreatif karena masih menggunakan spanduk, poster dan stiker dalam kampanyenya. Berbagai atribut itu selain merusak lingkungan dan keindahan kota, juga menghasilkan sampah.
     Hal itu, kata dia,  menunjukkan para calon gubernur tidak mengenal warga dan permasalahan Jakarta karena sampah dan kebersihan masih menjadi salah satu problem besar yang dihadapi ibu kota.
     “Janjinya membereskan dan memperbaiki Jakarta, tetapi malah merusak lingkungan dan keindahan kota,” katanya.
     Selain itu, Tigor juga menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta tidak memiliki kesadaran lingkungan. Menurut dia, seharusnya KPU dan Panwaslu mengatur serta mengawasi pemasangan atribut kampanye.
     “KPU dan Panwaslu seharusnya menegur. Tetapi selama kampanye itu tidak mereka lakukan,” ujarnya.
     Sebenarnya, kata Tigor, masih banyak media kampanye yang lebih kreatif dan ramah lingkungan, misalnya menggunakan jejaring sosial dan internet. Dia kemudian mencontohkan Barrack Obama yang memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat karena menggunakan Twitter dan Facebook.
     “Media sosial lebih efektif dan tidak perlu dana besar serta tidak menimbulkan sampah,” ujar Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) itu.
     Tigor mengatakan, hampir semua calon bersikap kritis dan menunjukkan kepeduliannya terhadap permasalahan yang dihadapi Jakarta. Namun sikap itu hanya terlihat saat mencalonkan diri sebagai gubernur.
     “Kalau tidak terpilih nanti apakah masih kritis dan peduli terhadap permasalahan Jakarta?” tanyanya.
     Karena itu, meskipun tidak berharap akan terpilih gubernur yang terbaik, dia mengajak warga Jakarta untuk memberikan kritik yang membangun dan ikut mengontrol pemerintahan Jakarta ke depan. Sebab, bagaimana pun gubernur Jakarta adalah pilihan rakyat.
     Sementara itu, pakar tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, permasalahan pemasangan atribut kampanye yang merusak lingkungan dan keindahan kota itu disebabkan lemahnya aturan dan pengawasan.
     “Sebenarnya sudah ada perda yang menjadi payung hukum. Namun sebaik apa pun aturan, fakta di lapangan tetap kacau balau, banyak pelanggaran,” katanya.
     Menurut Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, peletakan reklame harus memperhatikan etika, estetika, keserasian bangunan dan lingkungan sesuai dengan rencana kota.
     Atribut kampanye termasuk reklame yang diselenggarakan oleh organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan. Menurut perda tersebut, reklame jenis itu termasuk yang tidak memiliki kewajiban memperoleh izin.
     “Meski tidak perlu izin, tetapi perlu ada batasan sehingga tidak seolah-olah boleh di mana saja,” ujar Yayat.
     Pemasangan atribut kampanye yang merusak estetika kota, kata dia, dikarenakan tim sukses para calon berlomba-lomba untuk memasang spanduk, poster dan stiker di tempat-tempat strategis. Padahal, lokasi strategis di ruang kota terbatas.
     Menurut dia, seharusnya ada aturan yang disepakati oleh para calon mengenai ruang kota yang bisa digunakan untuk memasang atribut kampanye secara bersamaan. Aturan pemasangan atribut kampanye pun dibuat berdasarkan jenisnya.
     Yayat juga sepakat bila pemasangan atribut kampanye yang merusak keindahan kota itu bukan semata-mata kesalahan para calon gubernur. Sebab, pemasangan atribut itu dilakukan oleh tim sukses atau simpatisan yang memasang berdasarkan pesanan.
     “Mereka hanya ditarget untuk memasang sekian spanduk, sekian poster, tetapi tidak memahami aturan tentang pemasangan atribut-atribut itu,” katanya.
     Karena itu, seringkali mereka memasang atribut secara asal-asalan. Yayat juga tidak heran bila mereka semangat untuk memasang atribut tetapi tidak mau mencopoti meskipun kampanye sudah selesai dan memasuki masa tenang.
     “Mereka hanya diberi uang untuk memasang, tetapi tidak ada anggaran untuk mencopoti,” ujarnya.
     Karena itu, dia menyatakan keyakinannya bahwa calon yang paling banyak memasang atribut kampanye secara asal-asalan dan merusak keindahan kota adalah calon dengan modal kampanye terbanyak.
     Menanggapi masih adanya atribut kampanye yang masih tetap terpasang pada masa tenang karena tidak dicopoti oleh tim sukses, Yayat mengatakan karena jumlah personel dan anggaran satuan polisi pamong praja (satpol PP) terbatas.
     “Seharusnya KPU menyediakan anggaran kepada satpol PP untuk membersihkan atribut kampanye yang tidak dicopoti oleh tim sukses,” katanya.
     Dia juga mendorong Panwaslu mengevaluasi pemasangan atribut selama masa kampanye yang asal-asalan dan merusak estetika kota. Sebab, menurut dia, hal itu merupakan pelanggaran kampanye.
     Namun, dia sendiri menyangsikan Panwaslu berani dan mau melakukan itu meskipun pemasangan atribut yang asal-asalan jelas-jelas merupakan pelanggaran karena itu tidak ada sanksi yang kuat serta tidak jelas siapa yang bertanggung jawab.

Tidak ada komentar: