Rabu, 16 Mei 2012

UPAYA KENTHUS LESTARIKAN DAN KEMBANGKAN KESENIAN JAWA

Oleh Dewanto Samodro
Pementasan WO Bharata dibuka dengan Tari Gambyong
     Meskipun dalam keadaan sakit, Arjuna seketika berangkat ke Padepokan Widarakandang meninggalkan saudara dan istri-istrinya di Kesatriaan Madukara karena mendengar sayembara yang diadakan Patih Udawa memperebutkan Endang Larasati, adik patih Prabu Kresna dari Kerajaan Dwarawati.

     Adegan itu merupakan salah satu petikan pementasan Wayang Orang (WO) Bharata berlakon “Udawa Sayembara” yang dipentaskan di Jakarta, Sabtu malam, 12 Mei 2012. Berperan sebagai Arjuna adalah salah seorang bintang WO Bharata, Teguh “Kenthus” Ampiranto.
     Bagi penggemar kesenian Jawa seperti wayang orang dan ketoprak, nama Kenthus sudah tidak asing lagi. Nama dan karier seninya semakin bersinar saat bergabung dengan “Ketoprak Humor” yang disiarkan salah satu televisi swasta beberapa tahun lalu.
     Di “dunia pewayangan”, Kenthus dikenal sebagai seniman spesialis pemeran Arjuna, putra ketiga Pandawa yang digambarkan seorang ksatria gagah berani berparas tampan yang menjadi pujaan wanita sehingga dikenal sebagai “lelananging jagad”.
     “Memerankan Arjuna itu memiliki kesulitan karena sering terbelenggu dengan tokoh itu sendiri. Arjuna tokoh yang tenang, kalem dan bijaksana sehingga berdiri pun harus diam,” kata Kenthus saat ditemui sebelum tampil di Gedung WO Bharata.
Kenthus (kiri) berperan sebagai Arjuna dalam pementasan WO Bharata berlakon “Udawa Sayembara”
     Karier Kenthus yang lahir dari keluarga dengan komunitas wayang orang itu tidak semudah yang dibayangkan. Dia mulai aktif bermain wayang orang tahun 1994 dengan berperan sebagai prajurit dan raksasa.
     “Baru tahun 2000-an saya dipercaya memerankan Arjuna. Sutradara memilih pemain yang memerankan Arjuna itu kan harus yang pantas, bentuk tubuhnya proporsional, ‘cakep’ kalau didandani, suaranya halus, bisa nembang dan memainkan adegan perang,” katanya.
Kenthus sebagai Arjuna
     Menyadari sulitnya memerankan Arjuna dan tokoh alusan, Kenthus mengaku harus belajar dengan mengamati secara teliti penampilan pemain lain yang memerankan tokoh itu sebelumnya. Sebab, kata dia, tidak ada sekolah yang mengajarkan wayang orang.
     Bagi Kenthus, setidaknya ada dua orang yang menjadi tauladannya dalam memerankan Arjuna yaitu Sulistiyono, salah seorang seniornya di WO Bharata dan Sulistyo Tirtokusumo, seniman yang saat ini menjabat Direktur Seni Pertunjukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
     “Untuk gerakan dan tarian, saya mencontoh Pak Sulistyo Tirtokusumo. Sedangkan untuk karakter dan sikap Arjuna saya meniru Mas Sulistiyono,” kata Kenthus.
     Pembawaan dan karakter Kenthus memang cocok berperan sebagai Arjuna dengan cara bicara dan tutur kata yang halus serta wajah kalem. Namun, garis penuaan dan kerut yang ada di wajahnya mulai terlihat, apalagi bila tidak didandani. 
     Di usianya yang tidak lagi muda, laki-laki kelahiran Bandung tahun 1968 itu menyadari pentingnya regenerasi untuk menggantikannya sebagai bintang WO Bharata yang memerankan Arjuna. Karena itu, sebagian anggota muda WO Bharata mulai dipercaya memerankan Arjuna.
     Kalau pemain muda memerankan Arjuna, lalu Kenthus akan berperan sebagai apa?
     “Saya sekarang sering berperan sebagai tokoh gagahan seperti Baladewa, bahkan raja-raja jahat, raksasa dan Kresna. Saya kan sudah tua, masa Janaka yang menjadi idola para wanita orangnya jelek,” candanya.
     Menyadari pentingnya regenerasi, anak-anak Kenthus pun sudah dikenalkan dengan “dunia pewayangan”. Bahkan anak pertamanya, Aditya Widi Nugroho (23) sudah aktif memainkan tokoh gagahan.
     Meskipun sudah memiliki beberapa calon pengganti, tetapi dia tetap merasa prihatin. Sebab, tidak semua wayang orang bisa bernasib seperti WO Bharata yang memiliki manajemen dan regenerasi yang bagus dari komunitasnya.
     Kenthus mengatakan, pada 1970-an, wayang orang mengalami masa kejayaan dengan adanya ratusan komunitas di seluruh Indonesia. Kini, hanya ada tiga kelompok yang masih eksis yaitu WO Bharata Jakarta, WO Sriwedari Solo dan WO Ngesti Pandawa Semarang.
     Dari ketiga kelompok wayang orang itu, bisa dibilang hanya WO Bharata yang bernasib baik karena memiliki manajemen dan komunitas yang kuat serta mendapat perhatian berupa kucuran dana dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
     “Nasib komunitas wayang orang saat ini memang bisa dibilang hidup segan mati tak mau,” katanya.
     Menurut dia, kesulitan kelompok wayang orang karena tidak adanya regenerasi. Berbeda dengan sinetron atau film yang menjadi ajang para artis muda berlomba-lomba menjadi bintang, wayang orang hanya dimainkan oleh komunitasnya sendiri.
     Namun, tak bisa dipungkiri, masyarakat saat ini memang lebih suka menonton sinetron di televisi. Kenthus mengatakan, hal itu karena sinetron menampilkan artis dan bintang yang berganti-ganti sehingga selalu ada wajah baru.
     “Kalau wayang orang mau berkembang, masing-masing komunitas harus bekerja sama. Kami sering mengundang Sriwedari dan Ngesti Pandawa untuk tampil bersama, begitu pula sebaliknya saya membantu untuk tampil bersama mereka,” katanya.
     Dia mengatakan, dulu komunitas wayang orang sering bersikap tertutup terhadap komunitas lain karena merasa takut kalah tersaingi. Namun, sekarang kondisi itu sudah mulai berubah ketika komunitas wayang orang sudah mau bekerja sama.
     Kesulitan wayang orang juga tidak lepas dari minimnya kesejahteraan para pelakunya. Hal itu dibenarkan oleh Kenthus yang menyebutkan subsidi dari pemerintah dan penjualan tiket tidak cukup untuk menyejahterakan anggota WO Bharata yang mencapai 130 orang.
     Karena itu, dia sendiri menyiasati dengan mencoba mencari penghasilan di luar WO Bharata, tetapi masih di jalur kesenian. Mulai dari mengajar kesenian secara privat, bermain ketoprak dan ikut dalam misi kebudayaan ke luar negeri.
     “Saya juga belajar tari-tarian dari etnis lain di Indonesia. Seniman yang hidup di Jakarta memang harus bisa semua,” katanya.
     Selain itu, Kenthus juga aktif sebagai salah satu penggerak Sekar Budaya Nusantara (SBN), yang dipimpin Nani Sudarsono, mementaskan wayang orang dan disiarkan TVRI Pusat. Di SBN, dia menggandeng pelaku wayang orang dari komunitas lain.
     Dunia kesenian dan pewayangan memang sudah melekat kepada keluarga Kenthus, apalagi dia menikah dengan Aryati Ngatmi Widuri yang juga aktif berkesenian. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai empat orang anak.
      Meskipun prihatin dengan perkembangan kesenian Jawa, dia merasa cukup senang dengan adanya minat beberapa pejabat dan sosialita yang mau ikut memainkan wayang orang meskipun mereka sering kesulitan karena tidak bisa berbahasa Jawa.
     “Mereka tentu kami bebaskan dalam hal bahasa. Yang penting kami mendukung bila mereka mau ikut mementaskan wayang orang,” katanya.
     Karena itu, dia tetap berusaha menggairahkan minat masyarakat terhadap wayang orang dengan berbagai inovasi, termasuk menampilkan para sosialita dan pejabat-pejabat yang peduli dengan kesenian.
     “Supaya masyarakat lebih mengenal  dan tahu dulu dengan wayang orang. Kalau mau menonton wayang orang yang sesungguhnya, datang saja ke WO Bharata,” katanya.

Tidak ada komentar: