Selasa, 08 Mei 2012

PENTINGNYA JAMINAN PRODUK HALAL BAGI UMAT ISLAM

Oleh: Dewanto Samodro
     Bagi umat Islam, makanan yang halal sangat penting selain kelezatan dan kandungan gizinya. Halal tidaknya makanan sudah diatur dalam syariah agama mulai dari jenis bahan hingga cara memperoleh dan mengolahnya.
     Karena itu, sertifikasi halal produk bahan maupun makanan olahan menjadi sangat penting bagi umat Islam. Apalagi di era globalisasi perdagangan, berbagai makanan olahan dari luar negeri begitu mudah masuk ke Indonesia.
     Selama ini, sertifikasi halal untuk berbagai bahan dan makanan olahan dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Organisasi ulama itu memelopori penetapan halal tidaknya makanan sejak 23 tahun lalu.
     DPR RI saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang merupakan inisiatif legislatif periode 2004-2009. Namun, sebagian pihak mengkhawatirkan RUU itu akan mengurangi peran MUI setelah disahkan menjadi undang-undang.
     “Peran MUI tidak akan tereduksi melalui RUU itu. Sebagai pihak yang selama ini konsisten dengan permasalahan produk halal, peran MUI tidak akan dicabut,” kata anggota Komisi VIII Ledia Hanifa di Jakarta, Sabtu.
     Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan selama ini sertifikasi halal yang berjalan merupakan inisiatif dari MUI. Karena itu, negara perlu ikut memberikan jaminan sebagai implementasi pasal 28 dan 29 UUD 1945.
     “Negara berkewajiban melindungi hak warga negara dalam menjalankan keyakinan dan ajaran agama termasuk menjamin halal tidaknya produk yang beredar. Namun, RUU yang sedang dibahas ini juga tidak akan memaksa pihak-pihak yang tidak perlu jaminan,” katanya.
     Menurut Ledia, perlu ada sistem dari negara untuk ikut berperan dalam sertifikasi produk halal. Apalagi, selama ini sertifikasi halal yang dilakukan MUI tidak dibiayai pemerintah sehingga dananya juga terbatas.
     “Padahal sertifikasi halal MUI dilakukan di seluruh Indonesia. Karena itu, pembahasan RUU itu untuk menentukan sistem seperti apa yang akan diambil untuk menjamin halal tidaknya produk makanan,” katanya.
     Ledia mengatakan, belum ada pembicaraan bersama mengenai peran pemerintah dan MUI selama pembahasan RUU JPH. Saat ini, draft yang disusun DPR sudah diserahkan kepada pemerintah untuk dibahas bersama pada masa persidangan berikutnya, pertengahan Mei.
     “Saat menyusun draft RUU, panitia kerja sudah mengundang MUI sebagai pihak yang paling berkompeten dalam sertifikasi halal,” katanya.
     Ledia mengatakan, saat ini masih berkembang banyak wacana tentang pembagian peran antara pemerintah dan MUI. Salah satunya adalah MUI yang menentukan halal tidaknya suatu produk dan pemerintah yang mengeluarkan sertifikatnya.
     Ada juga wacana untuk membentuk badan baru yang akan menangani penentuan halal tidaknya suatu produk yang melibatkan pemerintah dan MUI. Badan baru itu memiliki laboraturium yang distandarisasi MUI sebagai pihak yang paling memahami standar halal tidaknya suatu produk.
     Karena itu, meskipun pemerintah sejauh ini menyatakan siap menjalankan RUU JPH setelah disahkan menjadi undang-undang, Ledia mengatakan masih ada kelemahan yang harus diperbaiki. Menurut dia, penetapan halal tidaknya suatu produk itu cukup rumit.
     “Itu terkait dengan penggunaan teknologi dan pemahaman mengenai syariah. Sistem, laboratorium dan mekanismenya seperti apa belum jelas sehingga pembahasan harus segera dituntaskan,” katanya.
     Kekhawatiran lain yang muncul bila RUU JPH disahkan menjadi undang-undang adalah bila sertifikasi halal dijadikan komoditas politik dan kepentingan sehingga menjadi lahan baru untuk korupsi. Namun, Ledia mengatakan yang penting adalah meminimalisir peluang munculnya korupsi.
     “Sebenarnya bukan hanya di pemerintahan saja peluang untuk korupsi bisa muncul. Di mana saja bisa terjadi korupsi,” katanya.
     Karena itu, menurut anggota DPR dari daerah pemilihan Bandung dan Cimahi itu, yang penting adalah standarisasi halal. Apalagi Indonesia sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar ingin menjadi standar jaminan halal seluruh dunia.

Kemenag Siap  Beri Jaminan Produk Halal
     Sementara itu, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Prof. Abdul Djamil mengatakan bila RUU JPH disahkan, pemerintah harus siap menjalankan amanat undang-undang karena jaminan halal dibutuhkan masyarakat.
     “Saat ini pembahasan RUU di DPR belum bersama kementerian. Karena itu, wajar bila ada berbagai pandangan,” katanya menyikapi adanya pandangan yang meragukan kesiapan pemerintah bila RUU itu disahkan.
     Menurut dia, pembahasan RUU sejauh ini mencapai kesepakatan bahwa undang-undang jaminan produk halal dibutuhkan sebagai perlindungan kepada masyarakat, khususnya umat Islam. Perlu ada kepastian  hukum dari sertifikasi halal yang selama ini sudah dilakukan MUI.
     Tentang kekhawatiran RUU itu akan mereduksi peran MUI yang selama ini sudah melakukan sertifikasi halal, Djamil mengatakan itu tergantung siapa yang melihat. Yang pasti, kata dia, bila RUU itu disahkan MUI akan tetap berperan menentukan halal tidaknya suatu produk.
     “Yang memiliki otoritas menentukan halal tidaknya suatu produk itu MUI,” katanya.
     Ketika ditanya apakah instrumen yang dimiliki sudah siap bila RUU JPH disahkan menjadi undang-undang, guru besar IAIN Walisongo Semarang itu mengatakan siap atau tidak, pemerintah harus siap.
     Apalagi, selama ini sudah ada beberapa lembaga yang bergerak di bidang sertifikasi halal dan kampanye produk-produk halal. Bila RUU itu disahkan, pemerintah hanya tinggal memaksimalkan lembaga-lembaga yang sudah ada itu.
     “Lebih baik tidak perlu membuat lembaga baru. Optimalkan saja yang sudah ada,” katanya.
     Djamil mengatakan, selama ini Kemenag sudah berjalan sinergis dengan MUI dalam hal mempromosikan produk-produk halal melalui salah satu unit kerja yang ada di bawah Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, yaitu Subdit Produk Halal.
     Subdit Produk Halal, kata dia, bertugas menyosialisasikan dan mengampanyekan produk-produk yang sudah dinyatakan halal oleh MUI. Terdapat 3.163 jenis produk yang ada dalam daftar produk halal yang dirilis Kemenag melalui laman Subdit Produk Halal.
     “Kami berpikir perlu ada upaya untuk memberikan edukasi dan penyadaran mengenai produk halal kepada masyarakat. Tugas itu dibebankan kepada Subdit Produk Halal,” katanya.
     Karena itu, dia mengatakan tugas Subdit Produk Halal tidak tumpang tindih dengan peran yang selama ini dilakukan MUI dalam menerbitkan sertifikasi halal.

Tidak ada komentar: