Kamis, 08 April 2010

NEWS: SEMINAR NETRALITAS PNS DALAM PEMILUKADA Netralitas PNS Terjebak Dalam Lingkaran Setan

Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) nampaknya telah terjebak dalam lingkaran setan. Tingginya syahwat politik PNS untuk mencalonkan diri dan mendukung salah satu calon nampaknya semakin membawa PNS ke dalam ketidaknetralan dalam menghadapi Pemilukada.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Nasional “Pemilukada di Tengah Tarik Ulur Netralitas PNS” yang diadakan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Propinsi Jawa Tengah di Vina House Kawasan Siranda Semarang, Kamis (8/4).
Ketua Umum Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri) Diah Anggraeni SH MM mengakui netralitas PNS yang terjebak dalam lingkaran setan. Menurutnya, calon incumbent dan calon dari PNS berpotensi pengaruhi netralitas PNS. Hal tersebut karena pembinaan karier PNS ada di tangan kepala daerah.
“Saat ini, pengangkatan, penggantian dan pemberhentian PNS ada di tangan kepala daerah. Kepala daerah memiliki kekuasaan untuk mengangkat, mengganti dan memberhentikan jabatan negeri PNS. Hal tersebut akhirnya pengaruhi netralitas PNS,” kata Diah.
Adanya PNS yang memiliki syahwat politik untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau mendukung salah satu calon untuk kepentingan pribadi dan kariernya disebutnya sebagai setan-setan yang membawa PNS ke dalam lingkaran ketidaknetralan.
Hal senada juga disampaikan Deputi Bidang Kinerja dan Perundangan Badan Kepegawaian Negara Kuspriyo Murdono yang juga hadir sebagai pembicara. Menurutnya, pengaruh politik terhadap netralitas PNS mengakibatkan adanya praktek balas jasa dan balas dendam yang dilakukan kepala daerah kepada PNS.
“Kepala daerah akan lebih mengutamakan PNS yang mendukungnya dalam pencalonan. Tidak heran setelah kepala daerah terpilih, akan terjadi pengangkatan, penggantian atau pemberhentian kepala SKPD. Hal tersebut tidak lepas dari praktek balas jasa dan balas dendam yang dilakukan kepala daerah,” kata Kuspriyo.
Pembicara lain, Direktur Fasilitasi Organisasi Politik dan Kemasyarakatan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri Dr Suhatmansyah mengatakan, otonomi daerah telah mengalami pergeseran makna. Seharusnya, otonomi daerah memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk mengelola pemerintahan di daerah, bukan memberikan kekuasaan kepada kepala daerah. Prakteknya, seringkali kepala daerah merasa sebagai penguasa di daerah sehingga bisa melakukan pengangkatan, penggantian dan pemberhentian SKPD sesuai kepentingannya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini MSi mengatakan, Bawaslu beserta jajaran Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) akan melakukan pengawasan terhadap PNS yang terlibat dalam kegiatan politik. Namun Hidayat mengatakan, sebagai pengawas, Bawaslu ibarat wasit tanpa peluit.
“Pengawas Pemilu ibarat hanya hakim garis dalam pertandingan sepak bola, yang hanya bisa mengangkat bendera bila terjadi pelanggaran, namun keputusan ada di wasit yang punya peluit. Bawaslu hanya berwenang memberikan rekomendasi kepada KPU dan penegak hukum. Keputusan bersalah atau sanksi yang dijatuhkan tidak ada di tangan Bawaslu,” kata Hidayat.
Untuk itu, Hidayat berharap adanya revisi terhadap kewenangan Bawaslu. Khusus keterlibatan PNS dalam kegiatan politik, kata Hidayat, Bawaslu akan menjalin kerja sama dengan Dewan Pengurus Nasional (DPN) Korpri untuk menindak PNS yang terlibat kegiatan politik. Ketua Umum Korpri Diah Anggraeni mengatakan, Korpri memiliki kewenangan terhadap PNS yang melanggar aturan, termasuk aturan tentang netralitas PNS dalam politik.
Pengamat Politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Susilo Utomo SU mengatakan, birokrasi seharusnya bersifat apolitis. Namun hal tersebut sulit terjadi karena birokrasi di Indonesia bersifat politis. Hal tersebut dikarenakan birokrasi dibentuk oleh kepala daerah sehingga kepentingan politik di balik kepala daerah ikut bermain dalam pembentukan birokrasi.
“Hal tersebut diperparah dengan sikap parpol di Indonesia yang hanya menjadi perahu politik. Parpol tidak mengusung kader partainya, namun mengusung orang lain, termasuk PNS, yang memiliki banyak dana untuk membeli perahu politik,” kata Susilo.

Tidak ada komentar: