Jumat, 05 Oktober 2012

MENENGOK SEJARAH TNI DI MUSEUM SATRIA MANDALA

Lambang Tentara Nasional Indonesia









Oleh Dewanto Samodro

Jakarta, 2/10 (ANTARA) - "TNI lahir karena Proklamasi 17 Agustus 1945, hidup dengan proklamasi itu dan bersumpah mati-matian hendak mempertahankan kesuciannya proklamasi tersebut." Kutipan penggugah semangat prajurit TNI itu tertempel di salah satu dinding Musem Satria Mandala, Jakarta.


Kutipan itu adalah ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang tertempel di ruangan khusus untuk menghormati Bapak TNI itu. Selain kutipan yang menggugah semangat prajurit TNI, di ruangan itu juga tersimpan sejumlah benda peninggalan Jenderal Soedirman.

"Tandu Jenderal Soedirman merupakan salah satu ikon yang ada di Museum Satria Mandala. Dengan tandu itu, Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya meskipun dalam keadaan sakit," kata Perwira Seksi Bimbingan dan Informasi Museum Satria Mandala Mayor Edy Bawono, Jumat (28/9).

Selain tandu, di ruangan itu juga terdapat sebuah lemari kaca yang memajang sejumlah peninggalan Jenderal Soedirman seperti pedang, tanda pangkat, tanda jabatan, telepon, dan sejumlah bintang penghargaan yang diperoleh Jenderal Besar pertama Indonesia itu, yaitu Bintang Republik Indonesia, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Yudha Dharma, Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra.

Museum Satria Mandala, yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta -kira-kira satu kilometer dari perempatan Kuningan- adalah museum sejarah TNI. Pada 5 Oktober mendatang -bertepatan dengan hari ulang tahun ke-67 Tentara Nasional Indonesia- museum itu akan memperingati ulang tahunnya yang ke-40.

"Museum Satria Mandala diresmikan Presiden Soeharto bertepatan dengan hari TNI, pada 5 Oktober 1972. Sebelumnya, bangunan museum merupakan Wisma Yaso, tempat peristirahatan mantan Presiden Soekarno," kata Mayor Edy.

Memasuki ruang pertama di museum itu, pengunjung akan disambut dengan panji-panji kebesaran keempat angkatan yang ada di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yaitu Kepolisian, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan Darat.


Edy menjelaskan saat diresmikan pertama kali, kepolisian masih bergabung dengan TNI di bawah ABRI. Hingga kini, panji-panji dan peninggalan sejarah kepolisian masih tersimpan di Museum Satria Mandala.

"Meskipun kepolisian sudah tidak bergabung lagi, kalau panji-panji kepolisian dihilangkan, akan ada penggalan yang hilang dalam sejarah TNI dan ABRI," kata Edy.










 


Ruang doktrin

Ruang panji-panji itu, kata Edy, merupakan ruang doktrin bagi prajurit ABRI yang memiliki motto "Catur Dharma Eka Karma" yang berarti "Empat Tugas Dalam Satu Perbuatan Suci". Catur Dharma atau empat tugas itu mengacu pada keempat angkatan yang ada di bawah ABRI.

Kepolisian memiliki motto "Rastra Sewakottama" yang berarti "Abdi Utama Nusa dan Bangsa", Angkatan Udara bermotto "Swa Bhuwana Paksa" yang berarti "Sayap Tanah Air", Angkatan Laut memiliki motto "Jalesveva Jayamahe" atau "Di Laut Kita Jaya" dan Angkatan Darat bermotto "Kartika Eka Paksi" yang berarti "Burung Perkasa dengan Satu Cita-Cita Mulia".

"Semenjak kepolisian lepas dari ABRI, TNI memiliki motto `Tri Dharma Eka Karma` yang menjadi salah satu doktrin bagi seluruh prajurit TNI," kata Edy.

Menjelajahi Museum Satria Mandala, setelah ruang panji-panji, pengunjung akan disuguhi dengan berbagai diorama yang menceritakan perjalanan sejarah TNI sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada awal berdirinya Republik Indonesia, negara yang baru merdeka itu belum memiliki tentara nasional.

Dalam panel yang terpasang pada salah satu diorama, dijelaskan bahwa rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 22 Agustus 1945 memutuskan tidak membentuk tentara nasional melainkan sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Keputusan pembentukan BKR diumumkan melalui pidato radio Presiden Soekarno pada 23 Agustus 1945 malam.

Pengumuman itu segera dikuti dengan pembentukan BKR di berbagai daerah oleh para pemuda sebagai wadah perjuangan yang dalam perkembangannya menjadi korps pejuang bersenjata yang memelopori perebutan kekuasaan dari tangan Jepang di berbagai pelosok tanah air.

Namun, keputusan pemerintah untuk tidak membentuk tentara nasional tidak memuaskan sebagian kelompok pemuda yang memutuskan tidak masuk BKR, melainkan membentuk badan-badan perjuangan lain.

Salah satu diorama menggambarkan kongres pemuda yang dihadiri 23 badan-badan perjuangan dari seluruh Indonesia pada 10-11 November 1945 di Balai Mataram, Yogyakarta, ketika delegasi Surabaya berpamitan untuk kembali ke medan perjuangan.

Setelah berusia satu setengah bulan, pemerintah merasakan perlunya sebuah tentara nasional sebagai aparat kekuasaan karena pasukan serikat telah begitu jauh merongrong kedaulatan Republik Indonesia. Pada 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno menyatakan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pengumuman itu diikuti dengan pembentukan TKR di seluruh pelosok tanah air. Tanggal berdirinya TKR kemudian dianggap sebagai tanggal lahir TNI, sebagai aparat pertahanan dan keamanan Republik Indonesia.

Selain diorama, Museum Satria Mandala juga memiliki ruangan khusus bagi para Jenderal yang dianggap berjasa bagi TNI. Selain Jendral Soedirman sebagai Bapak TNI, juga ada ruangan khusus bagi Jenderal Oerip Soemohardjo.

"Bagi TNI, Jenderal Oerip Soemoharjo merupakan orang kedua setelah Jenderal Soedirman. Pada awal pembentukan TKR dan TNI, Jenderal Oerip yang menjabat sebagai administrator organisasi, sedangkan Jenderal Soedirman yang memimpin perjuangan di medan tempur," jelas Mayor Edy Bawono.

Saat itu, kata dia, Jenderal Soedirman berusia 32 tahun, sedangkan Jenderal Oerip berumur 52 tahun. Jenderal Soedirman merupakan tentara lulusan Pembela Tanah Air (Peta), sedangkan Jenderal Oerip dari Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Sedangkan ruangan yang lain dikhususkan bagi kedua Jenderal Besar selain Jenderal Soedirman, yaitu Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dan Jenderal Besar Soeharto. Jenderal Besar adalah pangkat kehormatan di TNI yang ditandai dengan tanda pangkat bintang lima.

Selain mendapat penjelasan tentang sejarah TNI, pengunjung Museum Satria Mandala juga dapat menyaksikan sejumlah senjata yang pernah dan masih digunakan oleh TNI. Terdapat ruangan khusus untuk memamerkan berbagai senjata, mulai dari senjata ringan perorangan, senjata mesin ringan, senjata mesin sedang dan senjata mesin berat.

Menurut Edy, salah satu senjata yang dipamerkan di Museum Satria Mandala dan memiliki nilai sejarah cukup tinggi adalah meriam 40 milimeter bernama Banteng Blorok. Meriam buatan Swedia yang dirombak Pabrik Senjata Kedung Banteng, Solo.

Meriam itu pertama kali digunakan Tentara Kerajaan Hindia Belanda pada 1940 untuk menghadapi serangan udara tentara Jepang pada Perang Dunia II. Setelah direbut dari tentara Jepang pada 1945, meriam ini pernah digunakan TNI dalam berbagai operasi tempur seperti penumpasan PKI di Madiun dan agresi militer Belanda II.

Museum Satria Mandala juga memiliki koleksi senjata mesin M-16 buatan Amerika Serikat dan AK-47 buatan Rusia. Bagi masyarakat awam, kedua senjata itu merupakan yang paling populer, apalagi AK-47 sebagai senjata yang sering digunakan teroris.

"AK-47 memang sering digunakan kelompok militan di negara-negara konflik dan kelompok teroris karena banyak beredar di pasar gelap. Saat ini, AK-47 masih digunakan TNI untuk latihan," terang Edy.

Museum Satria Mandala juga memiliki koleksi berbagai kendaraan tempur dan angkut lapis baja. Salah satu kendaraan lapis baja yang cukup monumental adalah sebuah gerbong yang digunakan mengawal rangkaian kereta api dari gangguan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat.

"Gerbong itu buatan Bengkel Induk Angatakan Darat Bandung, dilengkapi satu pucuk senapan mesin ringan," kata Edy.

Selain kendaraan darat, museum itu juga memiliki koleksi kendaraan tempur udara berupa 12 pesawat dan dua helikopter yang pernah digunakan keempat angkatan di ABRI.


Siswa beruntung

Stanley Khung dan Michael Darsono, siswa kelas XI Gandhi Memorial International School yang sedang mengadakan kunjungan ke Museum Satria Mandala, Jumat (28/9), mengatakan merasa lebih beruntung setelah mengunjungi museum itu.

"Merasa beruntung karena sekarang kita tidak usah perang lagi. Dari museum ini juga kita jadi lebih tahu tentang sejarah dan senjata-senjata yang digunakan saat perang," kata Michael.

Stanley mengakui bila selama ini kurang tertarik untuk mengunjungi museum. Kunjungan mereka saat itu merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, yang kebetulan sedang membahas tentang sejarah perjuangan Indonesia.

"Meskipun tidak terlalu suka museum, tetapi Museum Satria Mandala bagus juga dan menarik," katanya.

Perwira Seksi Bimbingan dan Informasi Museum Satria Mandala Edy Bawono mengatakan selalu berusaha menyisipkan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme kepada pengunjung yang didominasi rombongan pelajar. Dia juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kejadian tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta.

"Sekolah adalah tempat menimba ilmu dan menambah wawasan. Semua rakyat Indonesia adalah satu bangsa sehingga satu sama lain adalah saudara," katanya.

Karena itu, dia meminta kepada pelajar dan generasi muda, dari pada terlibat tawuran, lebih baik mempersiapkan diri sedini mungkin bila memiliki keinginan untuk menjadi anggota TNI.

"Tetapi persiapan yang perlu dilakukan bukan melalui jalan tawuran," ujarnya. ***1***

(T.SDP-49/B/A011/A011) 


Disiarkan Perum LKBN ANTARA pada 2 Oktober 2012 pukul 07:10:41

Tidak ada komentar: