Oleh:
Dewanto Samodro
Bagi umat
Islam, makanan yang halal sangat penting selain kelezatan dan kandungan
gizinya. Halal tidaknya makanan sudah diatur dalam syariah agama mulai dari
jenis bahan hingga cara memperoleh dan mengolahnya.
Karena
itu, sertifikasi halal produk bahan maupun makanan olahan menjadi sangat
penting bagi umat Islam. Apalagi di era globalisasi perdagangan, berbagai
makanan olahan dari luar negeri begitu mudah masuk ke Indonesia.
Selama
ini, sertifikasi halal untuk berbagai bahan dan makanan olahan dilakukan oleh
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM MUI). Organisasi ulama itu memelopori penetapan halal tidaknya makanan
sejak 23 tahun lalu.
DPR RI
saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH)
yang merupakan inisiatif legislatif periode 2004-2009. Namun, sebagian pihak
mengkhawatirkan RUU itu akan mengurangi peran MUI setelah disahkan menjadi
undang-undang.
“Peran
MUI tidak akan tereduksi melalui RUU itu. Sebagai pihak yang selama ini
konsisten dengan permasalahan produk halal, peran MUI tidak akan dicabut,” kata
anggota Komisi VIII Ledia Hanifa di Jakarta, Sabtu.
Politisi
dari Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan selama ini sertifikasi halal yang
berjalan merupakan inisiatif dari MUI. Karena itu, negara perlu ikut memberikan
jaminan sebagai implementasi pasal 28 dan 29 UUD 1945.
“Negara
berkewajiban melindungi hak warga negara dalam menjalankan keyakinan dan ajaran
agama termasuk menjamin halal tidaknya produk yang beredar. Namun, RUU yang
sedang dibahas ini juga tidak akan memaksa pihak-pihak yang tidak perlu
jaminan,” katanya.
Menurut
Ledia, perlu ada sistem dari negara untuk ikut berperan dalam sertifikasi
produk halal. Apalagi, selama ini sertifikasi halal yang dilakukan MUI tidak
dibiayai pemerintah sehingga dananya juga terbatas.
“Padahal
sertifikasi halal MUI dilakukan di seluruh Indonesia. Karena itu, pembahasan
RUU itu untuk menentukan sistem seperti apa yang akan diambil untuk menjamin
halal tidaknya produk makanan,” katanya.
Ledia
mengatakan, belum ada pembicaraan bersama mengenai peran pemerintah dan MUI
selama pembahasan RUU JPH. Saat ini, draft yang disusun DPR sudah diserahkan
kepada pemerintah untuk dibahas bersama pada masa persidangan berikutnya,
pertengahan Mei.
“Saat
menyusun draft RUU, panitia kerja sudah mengundang MUI sebagai pihak yang
paling berkompeten dalam sertifikasi halal,” katanya.
Ledia
mengatakan, saat ini masih berkembang banyak wacana tentang pembagian peran
antara pemerintah dan MUI. Salah satunya adalah MUI yang menentukan halal
tidaknya suatu produk dan pemerintah yang mengeluarkan sertifikatnya.
Ada juga
wacana untuk membentuk badan baru yang akan menangani penentuan halal tidaknya
suatu produk yang melibatkan pemerintah dan MUI. Badan baru itu memiliki
laboraturium yang distandarisasi MUI sebagai pihak yang paling memahami standar
halal tidaknya suatu produk.
Karena
itu, meskipun pemerintah sejauh ini menyatakan siap menjalankan RUU JPH setelah
disahkan menjadi undang-undang, Ledia mengatakan masih ada kelemahan yang harus
diperbaiki. Menurut dia, penetapan halal tidaknya suatu produk itu cukup rumit.
“Itu
terkait dengan penggunaan teknologi dan pemahaman mengenai syariah. Sistem,
laboratorium dan mekanismenya seperti apa belum jelas sehingga pembahasan harus
segera dituntaskan,” katanya.
Kekhawatiran
lain yang muncul bila RUU JPH disahkan menjadi undang-undang adalah bila
sertifikasi halal dijadikan komoditas politik dan kepentingan sehingga menjadi
lahan baru untuk korupsi. Namun, Ledia mengatakan yang penting adalah
meminimalisir peluang munculnya korupsi.
“Sebenarnya bukan hanya di pemerintahan saja peluang untuk korupsi bisa
muncul. Di mana saja bisa terjadi korupsi,” katanya.
Karena
itu, menurut anggota DPR dari daerah pemilihan Bandung dan Cimahi itu, yang
penting adalah standarisasi halal. Apalagi Indonesia sebagai negara dengan
jumlah Muslim terbesar ingin menjadi standar jaminan halal seluruh dunia.
Kemenag Siap
Beri Jaminan Produk Halal
Sementara
itu, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Prof. Abdul Djamil
mengatakan bila RUU JPH disahkan, pemerintah harus siap menjalankan amanat
undang-undang karena jaminan halal dibutuhkan masyarakat.
“Saat ini
pembahasan RUU di DPR belum bersama kementerian. Karena itu, wajar bila ada
berbagai pandangan,” katanya menyikapi adanya pandangan yang meragukan kesiapan
pemerintah bila RUU itu disahkan.
Menurut
dia, pembahasan RUU sejauh ini mencapai kesepakatan bahwa undang-undang jaminan
produk halal dibutuhkan sebagai perlindungan kepada masyarakat, khususnya umat
Islam. Perlu ada kepastian hukum dari
sertifikasi halal yang selama ini sudah dilakukan MUI.
Tentang
kekhawatiran RUU itu akan mereduksi peran MUI yang selama ini sudah melakukan
sertifikasi halal, Djamil mengatakan itu tergantung siapa yang melihat. Yang
pasti, kata dia, bila RUU itu disahkan MUI akan tetap berperan menentukan halal
tidaknya suatu produk.
“Yang
memiliki otoritas menentukan halal tidaknya suatu produk itu MUI,” katanya.
Ketika
ditanya apakah instrumen yang dimiliki sudah siap bila RUU JPH disahkan menjadi
undang-undang, guru besar IAIN Walisongo Semarang itu mengatakan siap atau
tidak, pemerintah harus siap.
Apalagi,
selama ini sudah ada beberapa lembaga yang bergerak di bidang sertifikasi halal
dan kampanye produk-produk halal. Bila RUU itu disahkan, pemerintah hanya
tinggal memaksimalkan lembaga-lembaga yang sudah ada itu.
“Lebih
baik tidak perlu membuat lembaga baru. Optimalkan saja yang sudah ada,”
katanya.
Djamil
mengatakan, selama ini Kemenag sudah berjalan sinergis dengan MUI dalam hal
mempromosikan produk-produk halal melalui salah satu unit kerja yang ada di
bawah Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, yaitu Subdit Produk
Halal.
Subdit
Produk Halal, kata dia, bertugas menyosialisasikan dan mengampanyekan
produk-produk yang sudah dinyatakan halal oleh MUI. Terdapat 3.163 jenis produk
yang ada dalam daftar produk halal yang dirilis Kemenag melalui laman Subdit
Produk Halal.
“Kami
berpikir perlu ada upaya untuk memberikan edukasi dan penyadaran mengenai
produk halal kepada masyarakat. Tugas itu dibebankan kepada Subdit Produk
Halal,” katanya.
Karena
itu, dia mengatakan tugas Subdit Produk Halal tidak tumpang tindih dengan peran
yang selama ini dilakukan MUI dalam menerbitkan sertifikasi halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar