Oleh Dewanto Samodro
Poster Film "Soegija" (Courtesy of 21cineplex.com) |
Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul, bahasa dan adat
istiadat, tetapi dipersatukan dalam satu keluarga besar.
Meskipun
seorang pribumi, Soegija berhasil menjadi Vikaris Apostolik dan Uskup Danaba
yang berkedudukan di Semarang. Sejarah mencatat, dialah pribumi pertama yang
diangkat Vatikan sebagai uskup di Hindia Belanda dan dikenal sebagai MonsigneurAlbertus Soegijapranata SJ.
Sosok dan
perjalanan hidup tokoh itulah yang menjadi alur utama “Soegija”, film terbaru
garapan Garin Nugroho. Nirwan Dewanto bermain secara apik dan berhasil
mencitrakan Soegija sebagai sosok pemimpin yang berwibawa, kalem dan nasionalis.
Menurut
Garin, Soegija adalah sosok pemimpin nasionalis humanis dan mampu mengatasi
krisis. Dia berharap film itu menjadi refleksi bahwa di masa lalu bangsa ini
pernah memiliki sosok pemimpin yang berhasil mengatasi krisis multikultural dan
kekerasan.
Meskipun
mengangkat sosok Katolik sebagai tokoh utama, Garin menegaskan “Soegija”
bukanlah film tentang agama.
“Film ini
tentang kepemimpinan. Indonesia selalu mengalami era krisis sehingga diperlukan
sosok seorang pemimpin,” katanya.
Dia
menilai masih banyak tokoh-tokoh nasional yang memiliki sikap kepemimpinan dan
layak diangkat ke dalam film, di antaranya Wahid Hasyim, tokoh-tokoh Kristen di
Jawa dan tokoh-tokoh Batak.
“Yang
paling saya kagumi adalah Tan Malaka. Tetapi untuk membuat film tentang Tan
Malaka bagi saya masih sangat rumit,” katanya.
Meskipun menampilkan
Soegija sebagai sosok sentral, film berdurasi 115 menit itu tidak hanya
menyajikan kisah tentang tokoh tersebut. Ada cerita kehidupan tokoh lain yang
relevan dengan situasi saat itu.
Alur
cerita film dimulai dari sejak Soegija diangkat sebagai Vikaris Apostolik dan
Uskup Danaba di Semarang pada masa Hindia Belanda, kedatangan Jepang hingga
masa perang mempertahankan kemerdekaan ketika Yogyakarta menjadi ibukota
Indonesia.
Nirwan Dewanto berperan sebagai Mgr Albertus Soegijapranata (Courtesy of soegijathemovie.com) |
Garin
mengakui sebagian tokoh dalam film itu adalah fiktif karena dia kesulitan
menggambarkan tokoh-tokoh yang ada di sekitar Soegija.
“Tokoh
Lantip misalnya merupakan gabungan dari lima orang yang berinteraksi dengan
Soegija saat itu,” katanya.
Lantip
(diperankan Rukman Rosadi) adalah tokoh pelopor Barisan Pemuda Semarang yang
ikut pindah ke Yogyakarta ketika Keuskupan Semarang dipindahkan ke ibukota
revolusi. Dia memimpin pemuda-pemuda Semarang untuk melucuti senjata tentara
Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu.
Kemudian
ada tokoh Mariyem (Annisa Hertami Kusumastuti), seorang remaja yang
bercita-cita menjadi perawat dan mencari kakaknya yang hilang, serta Hendrick
(Wouter Braaf), fotografer Belanda yang terjebak dalam perang dan jatuh hati
pada Mariyem.
Ada juga
tokoh Ling Ling (Andrea Reva), anak perempuan Tionghoa yang rumahnya diserbu,
hartanya dijarah dan ibunya dibawa tentara Jepang. Tentang perlakuan tersebut,
dia berkeluh kesah kepada Soegija.
“Kenapa
itu selalu terjadi pada saya? Apa karena saya Tionghoa?” keluhnya.
Ada pula
Nobuzuki (Nobuyuki Suzuki), komandan tentara Jepang yang tergetar hatinya
mendengar alunan lagu “Bengawan Solo” melalui gesekan biola musisi gereja. Di
kemudian hari, lagu ciptaan Gesang itu menjadi lagu Indonesia yang populer di
Jepang.
Di tengah
cerita tentang perjuangan dan perang, film “Soegija” juga menampilkan sisi
humor melalui tokoh Koster Toegimin. Butet Kartaredjasa yang memerankan pelayan
Romo Soegija itu berhasil memicu tawa penonton melalui ekspresi dan
kata-katanya yang khas.
Bagi
penggemar wayang, peran Toegimin di film itu mengingatkan pada tokoh Punakawan
yang bertugas “ngemong” sekaligus menghibur para ksatria melalui celetukan dan
kata-kata yang seenaknya sendiri.
Lihat
saja komentarnya ketika ditanya apakah Soegija terlihat gagah saat memakai
jubah penahbisan uskup.
“Seperti
pemain ketoprak yang jadi bajak laut,” jawabnya.
Pemicu
tawa juga bisa muncul dari tokoh Banteng, remaja buta aksara yang memiliki
dendam kepada tentara Belanda dan Jepang yang dia anggap mencuri sapi miliknya.
Namun, dengan kepolosannya, dia berjuang mengangkat senjata dan bambu runcing.
Multikultur,
Enam Bahasa dan Otokritik
Sesuai dengan janji
Garin, film “Soegija” menampilkan multikulturalisme. Meskipun bersetting di
Semarang dan Yogyakarta, yang masyarakatnya mayoritas Jawa, film itu juga
menampilkan orang-orang nonjawa.
Itu
terlihat dalam adegan ketika seorang pemuda Semarang mengumumkan bahwa Sukarno-Hatta
telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di tengah keramaian orang yang
merayakan kemerdekaan, terlihat orang-orang Papua dan Maluku.
Multikulturalisme juga terlihat dari bahasa yang digunakan dalam film
itu. Tercatat, ada enam bahasa yang digunakan para tokoh yaitu Indonesia, Jawa,
Jepang, Belanda, Inggris dan Latin.
Nirwan
Dewanto yang berperan sebagai Soegija dituntut melafalkan bahasa-bahasa itu
secara sempurna sesuai dengan konteks dalam film. Seperti ketika Soegija
berkhotbah di depan umat dalam bahasa Belanda atau Jawa.
Keragaman
bahasa juga terlihat dalam musik dan lagu yang menjadi latar film. DjadukFerianto, yang juga menjadi produser, menyajikan lagu-lagu lama seperti
“Tanjung Perak” dan “Bunga Anggrek” dalam bahasa Indonesia dan Belanda.
Film
“Soegija” sangat tepat untuk direkomendasikan kepada generasi muda, mahasiswa,
serta para politikus yang saat ini menguasai pemerintahan. Sebab, film itu bisa
menjadi otokritik bagi bangsa Indonesia yang disebut-sebut mengalami krisis
kepemimpinan.
Garin
sendiri tidak menampik bila dalam film itu dia sengaja menampilkan
kritik-kritik halus yang mengena. Contohnya ketika Soegija ditemui Lantip
setelah perjuangan telah usai dan saatnya membangun negara dan melayani
masyarakat melalui politik.
“Kalau
mau terjun ke politik, harus punya mental politik. Kalau tidak punya mental
politik, politikus hanya akan menjadi benalu bagi negara,” katanya.
Kata-kata
Soegija kepada Lantip itu diucapkan dalam bahasa Jawa, namun dalam teks bahasa
Indonesia, terlihat Garin ingin menonjolkan kata “mental” dan “benalu”.
Maka, setelah
menonton film yang dirilis resmi pada 7 Juni 2012, kita tak akan merasa pulang
dengan tangan hampa. Ada sesuatu yang berharga, mungkin merupakan sebuah
tamparan, bila direnungkan kembali.
Apa
artinya merdeka, kalau tidak bisa mendidik bangsa sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar