Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah MA Semarang menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang gugatan sengketa Pemilu 2009 yang menolak gugatan dari pihak Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto, sudah bisa diduga sebelumnya.
Fitriyah, yang juga mantan ketua KPU Propinsi Jawa Tengah, mengatakan hal tersebut menjawab KR di Semarang, Jumat (14/8).
Menurut Fitriyah, alat bukti yang dimiliki KPU jauh lebih kuat karena lebih terdokumentasi daripada alat bukti milik Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto yang hanya mengandalkan data dari saksi-saksi. Padahal kualitas sumber daya manusia (SDM) saksi yang dimiliki para calon masih terbatas dan belum memiliki kemampuan dokumentasi yang baik.
“Dalam sejarah sengketa pemilu, penggugat memang tidak pernah menang. Apalagi selisih hasil akhir Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 terpaut jauh, sehingga tidak akan mengubah hasil. Kita perlu mengapresiasi positif MK yang telah mengakomodir gugatan tersebut,” kata Fitriyah.
Fitriyah berpendapat, proses gugatan dan keluarnya putusan MK tersebut sangat perlu sebagai evaluasi dan perbaikan untuk pemilu selanjutnya. Selain itu, putusan MK juga lebih melegitimasi hasil pemilu, karena banyak pihak yang tidak puas terhadap kinerja KPU. Putusan MK sebagai putusan tertinggi harus bisa diterima semua pihak dan pada kenyataannya memang pihak-pihak yang menggugat menerima putusan MK.
Terkait tudingan terhadap KPU yang dinilai tidak netral dan memihak, Fitriyah mengatakan hal tersebut akibat kurang profesionalnya KPU dalam menyelenggarakan pemilu. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu tentunya terikat dengan sumpah dan sistem yang berlaku di lembaga tersebut. Kalaupun terdapat anggotanya yang partisan, KPU secara kelembagaan tetap akan netral.
Fitriyah mencontohkan kasus spanduk sosialisasi Pilpres 2009 yang terdapat tanda contreng pada gambar pasangan nomor dua. Kasus tersebut terjadi bukan karena keberpihakan, tetapi karena kurangnya profesionalitas KPU. Bila KPU profesional tentu tidak akan menerbitkan spanduk seperti itu, bahkan spanduk sosialisasi bisa diterbitkan KPU daerah dengan desain dan bahasa yang lebih bisa diterima masyarakat di daerah.
“Karena kurang profesional, maka sebagian pihak menafsirkan KPU berpihak,” tambah Fitriyah.
Tentang permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), Fitriyah menilai dari awal data yang diperoleh KPU memang sudah bermasalah. Hal tersebut akibat masih lemahnya pencatatan kependudukan di Indonesia. Tetapi permasalahan tersebut sebenarnya bisa diatasi bila KPU mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan dengan pihak penyedia data dalam proses pemutakhiran DPT.
“Terdapat hal-hal yang di luar wewenang KPU dalam permasalahan DPT, seperti adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama atau warga yang belum memiliki NIK. Maka dari itu pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) di daerah seharusnya bisa menfasilitasi pemutakhiran DPT,” tutur Fitriyah.
Fitriyah juga menilai, permasalahan-permasalahan yang mucul pada Pemilu 2009 tidak lepas dari masih kurangnya kualitas SDM pelaksana di lapangan, baik Kelompok Penyelenggara Pemunutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) hingga para saksi dari peserta pemilu. Lemahnya kualitas pelaksana lapangan tersebut menyebabkan masih kurangnya pemahaman pihak-pihak yang terlibat tentang proses pemunutan suara.
“Banyak hal-hal yang seharus dilakukan tetapi tidak dilakukan. Misalnya, seharusnya KPPS menyerahkan DPT kepada para saksi, tetapi tidak dilakukan karena baik KPPS maupun saksi tidak mengerti,” kata Fitriyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar