Selasa, 25 Agustus 2009

NEWS : TARI PENDHET DIKLAIM MALAYSIA Turnomo Raharjo: Hanya Soal Jual Parwisata


Pakar Komunikasi Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr Turnomo Raharjo mengatakan bangsa Indonesia jangan hanya merasa terusik dan marah bila kebudayaan Indonesia diklaim negara lain, seperti kasus Tari Pendhet yang ditampilkan dalam iklan pariwisata Malaysia. Menurutnya, bangsa Indonesia juga harus introspeksi terhadap kebudayaan yang dimiliki serta merawat dan melestarikan kebudayaan Indonesia.
“Selama ini Indonesia lemah dalam inventarisasi kebudayaan dan potensi pariwisata. Dari segi hukum pun kita lemah karena kebudayaan kita banyak yang belum dipatenkan,” kata Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Undip yang akrab disapa Harjo ketika ditemui di Semarang, Selasa (25/8).
Kelemahan Indonesia tersebut, menurut Harjo, menyebabkan Malaysia leluasa untuk mengklaim kebudayaan Indonesia dengan dalih Indonesia-Malaysia merupakan bangsa serumpun sehingga memiliki kebudayaan yang sama. Hal tersebut dimanfaatkan Malaysia untuk mempromosikan pariwisatanya.
“Saya memandang hal tersebut hanya sebagai persoalan jualan pariwisata Malaysia. Hal tersebut karena Malaysia tidak memiliki kebudayaan yang beragam seperti Indonesia, sehingga dalam iklan pariwisatanya Malaysia mengambil kebudayaan Indonesia. Dari segi etika komunikasi tentu hal tersebut layak dipertanyakan, ” tutur Harjo.
Harjo juga menilai Indonesia masih lemah dalam menjual potensi pariwisata dan kebudayaannya. Hal tersebut nampak dalam rancangan pariwisata yang masih kurang menjual eksotisme Indonesia. Harjo mencontohkan kawasan wisata Dieng yang memiliki eksotisme yang tinggi namun tidak dikemas dan dijual secara bagus sehingga kawasan wisata tersebut kurang dikenal wisatawan.
“Manajemen pariwisata Indonesia memang masih kurang profesional, berbeda dengan Malaysia yang lebih profesional, lebih tertata dan lebih bagus,” tambah Harjo.
Tentang saling klaim antara Indonesia-Malaysia mengenai kebudayaan, Harjo mengusulkan adanya dialog kebudayaan untuk membicarakan klaim kebudayaan antara dua negara. Namun untuk menghadapi Malaysia dalam dialog tersebut, Indonesia harus menyiapkan dokumentasi dan dasar hukum yang kuat agar bisa mengklaim kebudayaan Indonesia. Harjo melihat persoalan saling klaim tersebut tidak lepas dari sejarah konflik Indonesia-Malaysia yang dimulai Presiden Sukarno pada tahun 1960-an. Konflik tersebut telah menjadi konflik laten antara dua negara dan terus berkembang serta fluktuatif.

Jumat, 21 Agustus 2009

NEWS: Joyo NS Gono: Tommy Bukan Sosok Istimewa

Merupakan hal yang wajar bila Hutama Mandala Putra atau Tommy Suharto berniat mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar, karena setiap orang berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin sepanjang tidak melanggar hukum.

Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Joyo NS Gono MSi mengatakan hal tersebut ketika ditemui di Semarang, Kamis (20/8).

“Tetapi peluang Tommy sangat kecil karena dia bukan sosok yang istimewa, selain dia putra Suharto. Di kancah politik dia tidak berpengalaman dan tidak terlalu dikenal,” kata dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip yang akrab disapa Gono ini.

Munculnya Tommy dalan bursa calon ketua umum Golkar, menurut Gono, bisa terjadi karena adanya kesepakatan-kesepakatan antara Tommy dengan sejumlah pihak di internal Golkar, baik secara individu maupun kelompok. Kesepakatan tersebut tentu berupa dukungan politik terhadap Tommy dan dukungan ekonomi kepada pihak-pihak yang mendukung Tommy.

Namun bila melihat karakter Golkar, langkah Tommy akan mendapat ganjalan karena Golkar merupakan partai kader dan banyaknya kelompok-kelompok yang berambisi menjadi ketua umum di internal Golkar.

Meskipun aktif di dunia bisnis, tambah Gono, Tommy bukanlah ikon di dunia tersebut. Selama ini kiprah Tommy di dunia bisnis tidak lepas dari peran ayahnya, Suharto, ketika menjabat sebagai presiden. Hal itu tentu berbeda dengan Aburizal Bakrie yang dikenal sebagai ikon pengusaha.

Terkait tentang kekhawatiran sejumlah pihak tentang masuknya Tommy dalam bursa ketua umum Golkar sebagai upaya untuk menghidupkan kembali trah Cendana dan Orde Baru, Gono menyangsikan hal tersebut. Menurutnya, motivasi Tommy terjun ke politik lebih karena motif pribadi daripada motif keluarga.

“Bisa dibilang trah Cendana sudah tidak ada, karena keluarga tersebut sudah tercerai berai. Seandainya Cendana memang ingin mengembalikan nama di panggung politik, justru Tommy bukan calon yang tepat. Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana) atau Bambang Trihatmojo justru lebih berpeluang karena lebih berpengalaman,” tutur Gono.

Namun, Gono mengatakan belum bisa membaca motif pribadi Tommy. Sebagai anak mantan presiden Suharto, Tommy tentunya mengincar posisi politik. Hanya saja motif dibalik kekuasaan yang mungkin didapat belum bisa

Jumat, 14 Agustus 2009

LETTER : Fenomena Citizen Journalism

Citizen Jurnalism (CJ) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai jurnalisme warga sebenarnya bukanlah hal baru, namun baru beberapa tahun terakhir ini dikenal di Indonesia. CJ sendiri oleh Shayne Bowman dan Chris Willis didefinisikan sebagai “the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”.

Jadi CJ bisa diartikan kegiatan jurnlisme yang meliputi proses pencarian, pengolahan, pelaporan, penganalisaan berita dan informasi oleh warga (non-jurnalis) dimana warga memiliki peran yang aktif dalam kegiatan tersebut.

Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis. Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan CJ? Perbedaannya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi. Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya sama, yaitu mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.

Lalu darimanakah asal mula CJ? Di Amerika Serikat ketika Pemilihan Presiden tahun 2004, dua calon presiden , George W Bush dari Partai Republik dan John Kerry dari Partai Demokrat bersaing ketat. Banyak warga Amerika yang bosan dengan berita-berita yang disampaikan oleh media konvensional seperti koran, karena media tersebut dikuasai oleh partai politik. Akhirnya, dari mana orang memperoleh berita dengan perspektif yang berbeda? Dari Weblog.

Mungkin inilah contoh konkrit CJ. Inti CJ adalah masyarakat menjadi obyek sekaligus subyek berita. Bisa dikatakan bahwa CJ lahir dari perkembangan teknologi. Sekarang, berita-berita di media cetak sudah mulai didampingi oleh internet, bahkan setiap orang bisa menjadi penulis. Hal ini bukan merupakan bentuk persaingan media, tapi justru merupakan perluasan media.

J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003), mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe, yaitu:

* Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
* Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
* Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
* Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
* Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
* Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).

Perkembangan CJ di Asia sendiri diawali di Korea dengan adanya OhmyNews.com pada 2002. OhmyNews.com berkembang sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Korea yang terlalu mengatur dan mengontrol pemberitaan di media massa. Bisa dibilang, kebebasan pers di Korea kurang terjamin. Dengan adanya OhmyNews.com ini, warga Korea bisa mendapat alternatif media karena pemerintah belum melakukan kontrol ketat terhadap media internet. Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah Korea saat ini pun mulai melakukan kontrol terhadap media internet.

Perkembangan CJ di Indonesia masih belum lama. Yang mengawali mungkin adalah detik.com, yang menampilkan berita-berita segar dan tidak terkungkung. Tetapi situs ini dibuat oleh insitusi untuk banyak orang. Berbeda dengan blog, blog disiapkan oleh banyak orang untuk dibaca orang banyak pula. Bisa dibilang, keberadaan blog di Indonesia saat ini sudah sangat banyak, salah satu blog terbaik adalah perspektif.net sebagaimana masuk dalam 10 blog terbaik pilihan Majalah Tempo.

Ditanya mengenai akuntabilitas berita di blog, bagaimana caranya mengatur supaya tidak ada SARA, pornografi, dll serta diperlukan atau tidak adanya aturan terhadap blog. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah crime-nya, bukan mediumnya (blog). Pengaturan perilaku itu perlu, tapi jangan apriori, karena kalau segala sesuatunya diatur, orang malah tidak ada inisiatif. Blog yang baik itu memiliki fasilitas jawab dan melakukan fungsi moderator. Tidak perlu ada UU khusus yang mengatur blog seperti UU Pers, karena bagaimanapun Etika pribadi tiap-tiap orang itu jauh lebih kuat daripada berbagai macam UU.

Dikaitkan dengan masalah politik, blog di Indonesia yang bernuanasa politik secara kuantitas masih kecil, namun kualitasnya sangat bermutu. Sebagian besar blog di Indonesia isinya masih merupakan masalah pribadi, hal ini wajar saja, karena blogger umumnya berusia 20-35 tahun. Hal ini bagus, karena dapat menunjukkan bagaimana dinamika masyarakat dan dapat menjelaskan juga bagaimana pemikiran masing-masing orang tentang banyak hal. Terkait dengan masalah politik, sebenarnya blog bisa juga dijadikan alat kampanye yang baik. Substansi sebuah kampanye bisa dimuat diblog. Kalau seseorang ingin berkampanye lewat media cetak mungkin ruangnya bisa terbatas, tapi lewat blog, hal itu menjadi tidak terbatas.

Lalu apa isu dan implikasi dari berkembangnya CJ? Beberapa diantaranya yang dapat diamati adalah sebagai berikut:
1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.

2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku CJ

3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memposisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup CJ menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media konvensional.

4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani.

5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku CJ bisa disebut wartawan? Kenyataannya, CJ mengangkat slogan ‘everybody could be a journalist!’ Apakah blogger bisa disebut sebagai ‘the real journalist?’.

6. Isu etika: apakah setiap pelaku CJ perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.

7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku CJ? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.

8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku CJ yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.

9. Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor CJ memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka. Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.

Referensi :

http://lunjap.wordpress.com/2008/06/03/citizen-journalism-sebuah-fenomena/

http://daisyawondatu.wordpress.com/2006/10/11/citizen-journalism/

NEWS : Fitriyah: Putusan MK Sudah Bisa Diduga

Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah MA Semarang menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang gugatan sengketa Pemilu 2009 yang menolak gugatan dari pihak Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto, sudah bisa diduga sebelumnya.
Fitriyah, yang juga mantan ketua KPU Propinsi Jawa Tengah, mengatakan hal tersebut menjawab KR di Semarang, Jumat (14/8).
Menurut Fitriyah, alat bukti yang dimiliki KPU jauh lebih kuat karena lebih terdokumentasi daripada alat bukti milik Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto yang hanya mengandalkan data dari saksi-saksi. Padahal kualitas sumber daya manusia (SDM) saksi yang dimiliki para calon masih terbatas dan belum memiliki kemampuan dokumentasi yang baik.
“Dalam sejarah sengketa pemilu, penggugat memang tidak pernah menang. Apalagi selisih hasil akhir Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 terpaut jauh, sehingga tidak akan mengubah hasil. Kita perlu mengapresiasi positif MK yang telah mengakomodir gugatan tersebut,” kata Fitriyah.
Fitriyah berpendapat, proses gugatan dan keluarnya putusan MK tersebut sangat perlu sebagai evaluasi dan perbaikan untuk pemilu selanjutnya. Selain itu, putusan MK juga lebih melegitimasi hasil pemilu, karena banyak pihak yang tidak puas terhadap kinerja KPU. Putusan MK sebagai putusan tertinggi harus bisa diterima semua pihak dan pada kenyataannya memang pihak-pihak yang menggugat menerima putusan MK.
Terkait tudingan terhadap KPU yang dinilai tidak netral dan memihak, Fitriyah mengatakan hal tersebut akibat kurang profesionalnya KPU dalam menyelenggarakan pemilu. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu tentunya terikat dengan sumpah dan sistem yang berlaku di lembaga tersebut. Kalaupun terdapat anggotanya yang partisan, KPU secara kelembagaan tetap akan netral.
Fitriyah mencontohkan kasus spanduk sosialisasi Pilpres 2009 yang terdapat tanda contreng pada gambar pasangan nomor dua. Kasus tersebut terjadi bukan karena keberpihakan, tetapi karena kurangnya profesionalitas KPU. Bila KPU profesional tentu tidak akan menerbitkan spanduk seperti itu, bahkan spanduk sosialisasi bisa diterbitkan KPU daerah dengan desain dan bahasa yang lebih bisa diterima masyarakat di daerah.
“Karena kurang profesional, maka sebagian pihak menafsirkan KPU berpihak,” tambah Fitriyah.
Tentang permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), Fitriyah menilai dari awal data yang diperoleh KPU memang sudah bermasalah. Hal tersebut akibat masih lemahnya pencatatan kependudukan di Indonesia. Tetapi permasalahan tersebut sebenarnya bisa diatasi bila KPU mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan dengan pihak penyedia data dalam proses pemutakhiran DPT.
“Terdapat hal-hal yang di luar wewenang KPU dalam permasalahan DPT, seperti adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama atau warga yang belum memiliki NIK. Maka dari itu pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) di daerah seharusnya bisa menfasilitasi pemutakhiran DPT,” tutur Fitriyah.
Fitriyah juga menilai, permasalahan-permasalahan yang mucul pada Pemilu 2009 tidak lepas dari masih kurangnya kualitas SDM pelaksana di lapangan, baik Kelompok Penyelenggara Pemunutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) hingga para saksi dari peserta pemilu. Lemahnya kualitas pelaksana lapangan tersebut menyebabkan masih kurangnya pemahaman pihak-pihak yang terlibat tentang proses pemunutan suara.
“Banyak hal-hal yang seharus dilakukan tetapi tidak dilakukan. Misalnya, seharusnya KPPS menyerahkan DPT kepada para saksi, tetapi tidak dilakukan karena baik KPPS maupun saksi tidak mengerti,” kata Fitriyah.

NEWS : Prof Eko: Kesenian Masih Terpinggirkan

Pemerintah Propinsi (Pemprop) Jawa Tengah dinilai masih setengah hati dalam mengembangkan kesenian di Jateng. Hal tersebut terbukti masih ada kesan kesenian dipinggirkan dibanding bidang yang lain, seperti olahraga.

Budayawan dan akademisi Prof Ir Eko Budihardjo MSc menyampaikan hal tersebut ketika dihubungi di Semarang, Kamis (13/8). “Dibanding olahraga yang sering mendapat kucuran dana hingga miliaran rupiah, kesenian hanya mendapat dana sekitar Rp 250 juta setahun. Padahal kesenian memiliki berbagai macam jenis yang semuanya harus dilestarikan,” kata Eko.

Di tengah minimnya anggaran untuk neguri-uri kesenian, Prof Eko yang mantan Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) dan mantan Rektor Undip, menyatakan masih bersyukur dengan tetap eksisnya kantong-kantong kesenian yang masih peduli dengan kesenian, seperti pameran The Java Heritage di Hotel Ciputra Semarang beberapa waktu yang lalu. Para seniman pun dinilai tidak pernah berhenti melestarikan dan mengembangkan kebudayaan.

“Meskipun terpinggirkan, para seniman tidak pernah berhenti berjuang. Ibarat foto atau lukisan, pinggirannya itu pigura. Kalau piguranya bagus, foto atau lukisan tersebut juga menjadi bagus,” kata

Tentang pelayanan publik, Eko mengatakan Pemprop Jateng bisa belajar dan berkaca dari propinsi lain. Eko mencontohkan yang terjadi di Kalimantan Timur, pengurusan perizinan hanya berlangsung 36 menit. Hal tersebut masuk ke dalam Museum Rekor Indonesia (Muri), dan waktu dihitung sendiri oleh penggagas Muri Jaya Suprana.

Eko juga mengusulkan adanya forum yang melibatkan para kepala daerah untuk menyampaikan keberhasilan dan kegagalannya serta berbagi pengalaman antar kepala daerah. Bahkan bila perlu forum tersebut diadakan hingga tingkat kepala desa dan kelurahan karena kades dan lurah merupakan ujung tombak pembangunan, sesuai dengan semangat Bali Desa Mbangun Desa.

Eko melihat masih ada ketimpangan pembangunan dan kesenjangan antara desa-kota dan antara wilayah utara-selatan. Eko sangat apresiatif dengan pembangunan jalur selatan, karena hal tersebut akan mengurangi kesenjangan.

“Kejasama antar wilayah juga perlu ditingkatkan, terutama yang melibatkan berbagai daerah seperti wilayah Semarang-Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Purwadadi), Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Klaten) dan wilayah lain,” kata Eko.

Kerjasama antar wilayah tersebut tidak bisa dihindari karena daerah satu tidak bisa lepas dari daerah lain. Eko mancontohkan, penanganan banjir di Kota Semarang perlu melibatkan daerah lain seperti Kabupaten Semarang. Agar kerjasama tersebut bisa terlaksana dengan baik, menurut Eko perlu adanya pemberian insentif dari Kota Semarang untuk Kabupaten Semarang agar Pemkab Semarang bersedia mempertahankan hutan dan jalur hijaunya.

“Seperti halnya Indonesia yang diminta mempertahankan hutan tropisnya agar pemanasan global dapat dicegah, Indonesia mendapatkan insentif dari negara-negara industri untuk melestarikan hutan,” kata Eko.

Tentang isu terorisme yang seringkali pelakunya ditangkap di wilayah Jateng, Eko berharap para kepala daerah mulai dari bupati/walikota hingga gubernur bisa mengayomi masyarakat dengan rumus PPH, yaitu Peace (damai), Prosperity (sejahtera) dan Happiness (bahagia).

“Kepala daerah harus mampu menjamin kedamaian, kesejahteraan dam kebahagiaan masyarakatnya. Kalau itu semua tercapai, masyarakat tidak akan terlibat terorisme dan Jateng menjadi aman,” demikian Eko Budihardjo.

Sabtu, 08 Agustus 2009

NEWS : MERIAHKAN HARI JADI JATENG Pementasan Matra Babad Demak Bintara




Sutawijaya manantang Arya Penangsang (dok. Dewanto Samodro)





Sedikit ragu, Sutawijaya muda menantang Arya Penangsang. Dengan usus terburai karena luka tusukan tombak, Arya Penangsang meladeni tantangan Sutawijaya. Rupanya Sutawijaya memang bukan tandingan Arya Penangsang, sehingga dia terdesak. Arya Penangsang pun bermaksud membunuh Sutawijaya, namun sayang ketika mencabut keris pusaka Kyai Brongot Setan Kober,ususnya putus. Arya Penangsang pun tewas karena pusakanya sendiri.
Itulah klimaks dari pertunjukan Drama Tradisi (Matra) Babad Demak Bintara yang ditampilkan Sekar Budaya Nusantara (SBN) dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Propinsi Jawa Tengah di halaman Kantor Gubernur Jateng Jalan Pahlawan Semarang, Jumat (7/8) malam lalu.
Menurut pimpinan SBN Nani Soedarsono, Matra merupakan pengembangan dan inovasi dari ketoprak. Yang membedakan Matra dengan ketroprak antara lain alat musik, kostum dan bahasa yang digunakan.
“Matra tidak menggunakan kentongan seperti ketoprak, namun gamelan layaknya pertunjukkan wayang orang. Bahasa yang digunakan pun bahasa Indonesia agar bisa diterima segala lapisan masyarakat,” kata Nani kepada wartawan dalam jumpa pers di Hotel Santika Premiere Jalan Pandanaran, Kamis (6/8) malam.
Matra Babad Demak Bintara sendiri mengambil latar belakang sejarah tentang berdirinya kerajaan Demak, kejayaan Demak dan peralihan Demak ke Pajang. Untuk lebih menguatkan unsur sejarah, penulisan naskah direvisi hingga empat kali dan melibatkan sejarahwan dari UI Jakarta, Universitas Surabaya dan UGM Yogyakarta.
Menurut Sutradara Matra Babad Demak Bintara Pong Hardjatmo, pementasan tersebut melibatkan 92 pemain termasuk mahasiswa dan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI dan ISI Surakarta. Seluruh pemain baru berkumpul pada gladi kotor, setelah sebelumnya berlatih di daerah masing-masing.
“Agak sulit menyatukan pemain yang sebelumnya berlatih secara terpisah, namun hal tersebut bisa diatasi,” kata Pong.
Pelaku budaya Jawa Setyadji Pantjawidjaja yang turut menyaksikan pementasan mengaku sangat apresiatif dengan adanya terobosan baru pertunjukkan ketroprak. “Biasanya saya antipati bila kesenian Jawa menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi setelah menyaksikan sendiri pementasan dari SBN, saya sangat terkesan,” kata Setyadji.
Secara khusus, Setyadji menyampaikan apresiasinya terhadap Nani Soedarsono, Menurutnya, sebagai mantan Menteri Sosial yang saat ini sudah berusia 81 tahun, Nani masih sangat perhatian terhadap budaya nasional. Bahkan karena keluwesannya, Nani masih sigap menjalin kerjasama dengan Gubernur Jateng sejak 2004 untuk menampilkan kesenian dan budaya tradisi pada Hari Jadi Propinsi Jateng setiap tahun. Bahkan, Setyadji mensejajarkan Nani Soedarsono dengan Ki Nartosabdho di zaman modern.
“Ki Nartosabdho banyak melakukan terobosan-terobosan dalam kebudayaan Jawa. Hal itu tercermin pada Tri Karsa Kebudayaan, yaitu menggali, mengembangkan dan melestarikan,” kata Setyadji.

Berikut ini petikan adegan yang berhasil didokumentasikan:



Arya Penangsang menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pengangkatan Hadiwijaya sebagai raja Demak menggantikan Sultan Trenggono kepada Sunan Kudus. (dok. Dewanto Samodro)









Sunan Kudus memberi nasehat kepada Arya Penangsang. (dok. Dewanto Samodro)









Pembunuhan Sunan Prawoto, putra Sultan Trenggono, yang menyebabkan huru-hara di Demak. (dok. Dewanto Samodro)







Sultan Hadiwijaya menghadap Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa tanpa busana untuk menerima permintaan pembalasan dendam dengan membunuh Arya Penangsang. (dok. Dewanto Samodro)

Rabu, 05 Agustus 2009

NEWS: KEMESRAAN SBY-KIEMAS HAL BIASA Yulianto: PDIP Harus Tinggalkan Politik Keturunan

Kemesraan yang ditunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Taufik Kiemas bisa dimaknai positif sebagai upaya rekonsiliasi politik antara Partai Demokrat (PD)-PDIP. Namun, hal tersebut juga bisa dimaknai hanya sebagai pertemanan politik yang biasa saja antara keduanya dan wajar bila hal tersebut terjadi.
Pengamat politik Undip Semarang M Yulianto MSi menyampaikan hal tersebut di Semarang, Rabu (5/8).
Terkait dengan kemungkinan rekonsiliasi antara PD-PDIP, Yulianto mengatakan hal tersebut sangat kecil karena perbedaan ideologi antara kedua partai dan sejarah hubungan SBY-Megawati yang tidak baik. Dia juga menyarankan PDIP tetap mengambil posisi sebagai oposisi dalam pemerintahan agar tercipta keseimbangan antara pemerintah dan parlemen.
“Dari awal berdirinya, PDIP sudah mengambil sikap sebagai partai oposisi. Lebih baik hal tersebut diteruskan dalam pemerintahan mendatang,” kata Yulianto.
Yulianto juga menyarankan, PDIP tidak lagi melakukan praktek politik keturunan yang selama ini dilakukan dengan menfigurkan Megawati sebagai keturunan Sukarno. Figur Megawati harus segera digantikan oleh kader-kader lain yang selama ini tenggelam dalam bayang-bayang Megawati.
“Hal tersebut harus dilakukan karena dalam pemilu mendatang Megawati sudah tidak mungkin berkiprah. Bila hal tersebut tidak dilakukan, saya kira kemunduran PDIP tinggal menunggu waktu,” tutur Yulianto.
Kebesaran PDIP selama ini, menurut Yulianto, tidak lepas dari ideologi kerakyatan yang diusung partai sebagai penerus ideologi Sukarno. Ideologi dan citra kerakyatan tersebut membuat PDIP dekat dengan rakyat dan menjadi partainya wong cilik.
“Dengan ideologi tersebut, PDIP memiliki pendukung yang loyal. Hal tersebut juga tidak lepas dari figur Megawati sebagai anak Sukarno. Bila PDIP masih tetap ingin bertahan dengan politik keturunan Sukarno, saya rasa bisa menokohkan anak-anak Sukarno yang lain atau anak Megawati, Puan Maharani,” kata Yulianto.
Anak-anak Sukarno, menurut Yulianto, banyak yang memiliki potensi di bidang politik. Hal tersebut nampak pada Sukmawati dan Rahmawati yang juga terjun ke politik dengan kendaraan partai masing-masing. Sebagai upaya menyelamatkan PDIP sebagai partai besar, keluarga Sukarno harus bersatu dan tidak terpecah-pecah.

SBY All Out
Tentang kabinet yang akan disusun SBY sebagai calon presiden terpilih, Yulianto mengatakan SBY akan all out dalam menyusun kabinet karena perolehan suaranya yang cukup signifikan, apalagi cawapres Boediono yang bukan dari kalangan parpol. Meskipun begitu, Yulianto memprediksi SBY tetap akan lebih mengakomodir kader-kader dari partai pendukungnya agar kebijakan pemerintahannya tidak deadlock di parlemen.
Yulianto juga memprediksi, apa pun keputusan SBY soal kabinet, tidak akan membuat koalisi partai pendukung SBY pecah. Hal tersebut juga terlihat ketika SBY memutuskan mengambil Boediono sebagai cawapres. Partai-partai pendukung SBY seperti PKS dan PKB akan tetap setia dalam koalisi.
“PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar sejak dari awal sudah hidup-mati mendukung SBY, begitu pula PKS. Justru PPP perlu diwaspadai karena menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 lalu sempat terombang-ambing antara mendukung SBY atau tidak,” tutup Yulianto.

NEWS: MAHASISWA KOREA KKN DI SUSUKAN Pelajari Budaya dan Masyarakat Jawa

Sebanyak 17 mahasiswa dari Chon Buk National University Korea melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Susukan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang selama sembilan hari, mulai (28/7) hingga (3/8). Kegiatan tersebut merupakan kerjasama Chon Buk National University dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro.
Menurut Dekan FISIP Undip Drs Warsito SU, kerjasama tersebut berawal dari kerjasama pribadi antara Dosen FISIP Undip Yuwanto PhD dengan Chon Buk National University yang merupakan doktor lulusan univeritas tersebut. Oleh Yuwanto, kerjasama tersebut kemudian dikembangkan menjadi kerjasama dengan FISIP Undip.
Assistant Professor Jeon Je Seong, ketika ditemui KR pada kunjungan penutupan di Kampus FISIP Undip mengatakan, dalam kegiatan tersebut mahasiswa tinggal berbaur dengan masyarakat dan mempelajari budaya masyarakat, salah satunya tarian.
“Di Susukan, tari dipelajari segala umur mulai dari anak-anak hingga dewasa. Hal tersebut tidak ada di Korea, karena di Korea tarian dipelajari oleh para profesional,” kata Jeon.
Salah satu mahasiswa, Yioon Jeon, mengatakan masyarakat Indonesia, terutama Susukan sangat ramah, karena selalu tersenyum.
“Bila kami menyapa mereka, selalu dibalas dengan senyum lebar. Hal tersebut tidak kami temui di Korea,” kata Yioon.
Menurut Jeon Je Seong, kerjasama tersebut akan ditindaklanjuti menjadi kerjasama antar universitas. Menurut rencana, dua bulan mendatang, Rektor Chon Buk akan datang ke Undip dan melakukan penandatanganan Memorandum or Understanding (MoU) dengan rektor Undip. Kerjasama tersebut akan membahas pertukaran mahasiswa dan pemberian beasiswa bagi mahasiswa Undip untuk melanjutkan studi ke Chon Buk, serta kemungkinan menjalin sister university antara Chon Buk dan Undip.